All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 101 - Chapter 110
118 Chapters
101. Buah Kebaikan Hanna
Sakti dan Gendis bergandengan tangan berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Baru beberapa jam yang lalu Sakti tiba dari Bandung dan melepaskan rindunya pada sang istri yang tiga hari dia tinggal untuk keperluan bisnis. Dan tiba-tiba saja mendapatkan telepon dari Tari menjelang fajar tadi mengatakan Hanna kolaps dan terjatuh saat menuruni tangga untuk mengambil minum. "Mas," lirih Tari. Satyo menoleh saat Tari menyebutkan nama Sakti. "Sakti," ujar Satyo. "Mama kenapa, Pa?" Gendis memeluk Tari yang masih terisak, karena saat itu dia yang menemukan Hanna sudah tergeletak di anak tangga terakhir. "Tari menemukan mama pingsan subuh tadi. Papa sendiri nggak tau kenapa mama bangun sepagi itu." "Beberapa hari ini mama memang kurang fit, Mas. Aku ajakin ke dokter, mama nggak pernah mau. Aku takut mama kenapa-kenapa," ujar Tari. "Apa kata dokter?" tanya Sakti khawatir. "Belum keluar dari ruangan, Papa harap mama baik-baik saja," ujar lelaki itu dengan wajah sedih. "Mama pasti ba
Read more
102. Balas Budi Tari
Satyo menggenggam tangan dingin itu erat, sesekali dia tersenyum sedangkan wanita paruh baya itu masih terkulai lemas di ranjang pesakitan. "Mau minum lagi?" tanya Satyo pada Hanna. "Enggak, cukup ...," ujar Hanna lalu terbatuk lagi. "Makan yang banyak, Han. Kamu harus cepat sehat, setelah recovery kita ke Singapura. Sakti sudah menemukan rumah sakit terbaik di sana." Sakti memberikan segelas air putih untuk Hanna minum. "Memangnya rumah sakit di sini kenapa? di sini juga bagus kok, Mas ... dan aku pasti sembuh kok. Tari mana?" tanya Hanna saat dia membuka mata tadi, dia tidak menemui satu anaknya pun berada di sisinya. "Sakti? Gendis?" "Sakti dan Gendis baru saja pulang setelah kamu di pindahkan ke ruang perawatan, aku suruh mereka pulang." Satyo berdiri mengambilkan buah jeruk untuk dia kupas dan diberikan pada Hanna. "Tempat tidurnya mau aku naikkan?" tanya Satyo dan Hanna mengangguk. "Lalu Tari?" Hanna kembali bertanya dimana anak gadisnya itu. "Tari belum datang, mungkin m
Read more
103. Sampai Jadi
Napas mereka terengah-engah, Sakti bahkan masih mengerang saat buncahan rasa itu terasa ingin menyeruak masuk. Gendis melenguh, tubuhya meremang, tangannya mencengkram erat lengan kokoh milik Sakti. Kedua lututnya menekuk, bokongnya sedikit terangkat, Sakti mendorong lebih dalam hingga rahang lelaki itu mengeras saat cairan itu memenuhi rahim Gendis. Sakti mengayunkan tubuhnya perlahan, ritme gerakan cepat itu pun berkurang. Peluhnya jatuh di atas dada Gendis, desiran darah mengalir begitu cepat, Sakti menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Gendis. Napas mereka tersengal, bahkan lutut Gendis yang tertekuk itu pun seakan enggan untuk kembali di luruskan. Sakti memeluk Gendis erat, wajahnya terpaut masuk ke ceruk tulang selangka Gendis. Ini adalah kali kedua mereka melakukan selama malam ini. Saat pulang bekerja malam tadi, baru saja Gendis meletakkan tasnya, Sakti sudah memeluknya dari belakang hingga mereka berakhir di atas ranjang. Dan saat ini menjelang fajar, Sakti terbangun memeluk
Read more
104. Cinta Pertama Ami
Jogja siang itu sedang di guyur hujan lebat, angin pun bertiup kencang, Arya masih asyik mengotak-atik sepeda motornya. Entah mengapa lelaki itu tidak berniat menjual motor itu, sayang katanya jika semua orang menyuruhnya untuk menjual motor itu. Sedangkan Bayu, anak remaja itu sudah di belikan motor baru oleh Sakti, Bayu sendiri masih tinggal di rumah Arya. Hendro belum berani melepas Bayu hidup seorang diri tanpa ada yang memantaunya. Mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan rumah Arya yang memang tak berpagar. Arya tersenyum ketika dia tahu siapa yang datang mengunjunginya. Cepat-cepat lelaki itu mengambil payung yang tergeletak tak jauh dari tempat duduk. "Hujannya kenapa jadi lebat banget sampe sini," ujar Ami berlindung di bawah payung serta di rangkul oleh Arya agar tak terkena air hujan. "Masuk." Arya masuk lebih dulu mengambilkan handuk bersih untuk Ami. "Keringkan pakai ini." "Bayu dimana?" tanya Ami melihat rumah itu sepi. "Pergi nonton sama teman-temannya. Kamu uda
Read more
105. Penantian Yang Manis
Ami turun dari mobil, matanya memandangi pemandangan yang terpampang di depan sana. Sebuah lahan dengan rumput hijau yang terhampar, cuaca yang tak terlalu panas serta hawa dinginnya menjadi satu ciri khas daerah ini kata Arya. "Dingin?" Arya memeluk Ami dari belakang. "Sweater kamu kurang tebal, sebentar kayaknya ada syal di mobil." Tak lama Arya kembali membawa syal tebal dan melingkarkannya di leher Ami. "Dingin banget, tapi orang-orang di sini seperti biasa aja, ya." Ami memasukkan tangannya ke saku celana. "Kan mereka hidup dari kecil di sini jadi terbiasa. Ayo, kita turun ke bawah ... kamu pasti suka," ujar Arya mengulurkan tangannya meminta Ami menggenggamnya. Menyusuri hamparan rumput hijau dan di kelilingi perbukitan, sejauh mata memandang tempat ini begitu alami, asri. "Sepertinya belum terlalu banyak yang tau tempat ini ya?" tanya Ami dan Arya mengangguk. "Kalo sudah banyak yang tau sudah pasti tidak akan seindah ini," ujar Arya lalu merengkuh pinggang Ami mendekat pad
Read more
106. Berbagi Kabar
Sayup terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi, tak berapa lama pintu itu pun terbuka. Sakti mengenakan balutan handuk putih sambil mengeringkan rambutnya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Istrinya masih tergolek dalam balutan selimut di ranjang besar kamar hotel mereka, perjalanan panjang lebih dari 16 jam yang membawa mereka sampai di Milan Italia membuat Gendis mengalami jetlag, maklum saja ini adalah kali pertama Gendis berpergian keluar negeri apalagi Samapi benua Eropa. Wanita dengan paras ayu itu pun bergerak, baju tidur berbahan satin halus rasanya hanya sebagai pembungkus tubuh itu tidak berguna di mata Sakti. Bagaimana tidak, buah dada Gendis tak berpelindung bra itu menonjol seakan menantang Sakti untuk melakukan pergulatan di siang hari. "Sayang, bangun," ucap Sakti lembut sambil membelai pipi Gendis. "Hhmm ...." Gendis membuka matanya perlahan, meregangkan otot-otot tubuhnya. Sakti yang duduk di sisi tempat tidur dengan berbalut handuk itu tersenyum padanya.
Read more
107. Jangan-jangan ....
Gendis melenguh, suaranya begitu lirih, tubuhnya bergerak lembut bahkan dadanya membusung sambil dia pegangi kedua buah dadanya. Sakti mengerang, matanya terpejam menikmati setiap gerakan sang istri yang berada di atasnya. "Hhmm ... lebih cepat Sayang," lirih Sakti meremat kedua paha Gendis, menggerakkannya lebih cepat. Gendis mendesah, tangannya berada di pundak Sakti, mencengkeram erat saat buncahan itu datang untuk kedua kalinya bersamaan dengan Sakti mengerang dan mengeraskan rahangnya saat rasa itu terasa berdenyut. "Ugh," ucap Sakti. "Ya ampun." Napas Sakti terengah, sementara Gendis membenamkan wajahnya pada ceruk leher suaminya itu, menata debaran jantungnya, menetralisir desiran darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Wanita itu v lemas terkulai di atas tubuh Sakti, Sakti mengusap-usap punggung istrinya. "Berapa kali?" tanya Sakti sambil tersenyum di balik punggung Gendis yang memeluknya. "Enggak tau," jawab Gendis yang masih menyembunyikan wajahnya di leher Sakti. "Ma
Read more
108. Dia Nggak Sombong
Wati masuk ke kamar Gendis diikuti Hanna dan Tari tak lama setelah Sakti berangkat kerja. Malam tadi Wati memang langsung mengabari besannya itu tentang kecurigaan terhadap Gendis yang baru pulang dari Milan lalu terlihat pucat dan muntah. "Loh, ada Mama," ujar Gendis kaget melihat kedatangan ibu mertuanya itu apalagi dalam keadaan dia masih meringkuk di atas tempat tidur. "Iya, Mama di kabari kalo kamu semalam pulang malah muntah-muntah," ujar Hanna duduk di sisi tempat tidur diikuti Tari yang malah naik ke atas tempat tidur kakak iparnya itu. "Mbak, tes deh kali aja jadi. Sebelum kalian ke Milan jangan-jangan itu dedek bayi udah ada lagi." Tari mengusap-usap kaki Gendis yang masih berbalut selimut. "Ini, semalam bapak belikan ini buat kamu," ujar Wati memberikan tiga tespack dengan bermacam bentuk. "Banyak amat, Bu." Gendis meraih alat itu lalu menyingkap selimutnya. "Biar afdol, biar yakin tambah yakin. Coba dulu sana, jangan lupa berdoa." Wati tersenyum pada anaknya itu. Ras
Read more
109. Ngidam Yang Aneh
Mobil Sakti berhenti di pekarangan rumahnya, masih ada mobil Satyo terparkir di sana. Setelah makan siang bersama tadi, Sakti dan Gendis memutuskan untuk memeriksa kandungan, menanyakan dengan pasti keberadaan anak mereka di dalam sana. "Akhirnya kalian pulang," ujar Hanna. "Gimana?" Semua orang berkumpul di ruang keluarga, menunggu hasil pemeriksaan. Maklum saja, ini adalah cucu pertama untuk kedua keluarga ini. Apalagi cucu ini lah nanti yang akan mewarisi sebagian harta Satyo Anggara. "Sini, Sayang." Sakti meraih tangan Gendis untuk duduk di sebelahnya, barulah dia memulai pembicaraan. "Dokter bilang, janinnya berusia tujuh minggu, sehat, berada di kantung rahim." "Syukurlah." Semua orang bernapas lega. "Jadi, memang benar anak Sakti sudah ada di dalam sini sebelum kami berangkat ke Milan." Sakti tersenyum pada Gendis. "Iya, syukurlah dia kuat," celetuk Hanna, Sakti dan Gendis pun tertawa. "Mbak nggak ada niatan buat ngidam yang aneh-aneh, gitu?" Tari melirik pada Sakti iseng
Read more
110. Rujak Serut
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status