All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 81 - Chapter 90
118 Chapters
81. Double Date
Sakti duduk di kursi taman tidak jauh dari kantor Gendis berada. Sudah 15 menit dia berada di sana menunggu Gendis keluar dari kantornya. Tak lama kemudian seperti perkiraan Sakti gadis itu muncul di antara beberapa orang yang juga keluar dari pintu itu. Gendis melambaikan tangan padanya, hingga Sakti melihat sosok lain juga datang menghampiri kekasihnya itu. "Mas Arya," ucap Gendis terkejut melihat kehadiran Arya di sana. Pandangan mata Gendis beralih pada Sakti yabg berjalan menuju tempat dia berdiri. "Aduh," batin Gendis. "Hai, Dis," sapa Arya. Gendis melemparkan senyum tipis pada lelaki itu. "Pulang?" "Iya, Mas. Mas Arya—" "Sayang," panggil Sakti yang berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Arya ikut menoleh ke asal suara, tak di sangkanya Sakti juga berada di sana. "Sudah siap?" tanya Sakti. "Hei, Arya," sapa Sakti basa basi. "Apa kabar?" "Baik," ucap Arya. "Ada di Jogja?" "Iya, biasalah. Hubungan jarak jauh ini harus sering-sering di tengok.
Read more
82. Bertemu Hanna
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kayu. Di luar sana sudah terdengar suara Bapak dan Sakti sedang berbincang. Hari ini rencananya Sakti meminta izin kepada orang tua Gendis untuk membawa Gendis ke Jakarta beberapa hari. "Jadi gabah ini atau bulir padi ini sebelum di giling yan harus di jemur dulu," ujar Hendro. "Oh gitu. Saya kira Gunung Kidul itu daerah yang gersang, Pak. Selain di kelilingi pantai kata supir saya di sini rawan air." "Iya dulunya, air bersih susah sekali di sini. Sampai sekarang pun meski mengalir setiap hari tapi tetap harus di endapkan karena mengandung banyak kapur,"ujar Hendro sambil menebar gabah memenuhi terpal untuk di jemur. "Kalo sawah, kebetulan ada yang masih bisa di garap." "Bapak senang banget tinggal di sini, ya." "Iya, tapi masa saat merantau di Jakarta itu masa paling yang tidak bisa Bapak lupakan. Bertemu dengan berbagai macam orang dan watak. Melihat dunia ternyata tidak itu-itu saja. Kalo di desa seperti ini kan
Read more
83. Isi Amunisi
Sakti mengendap-endap ke ruang tengah dimana kamar tamu berada. Saat itu pukul satu malam, ini hari kedua Gendis menginap di kediaman Anggara dan selama dua hari pula Gendis hanya milik Hanna dan Tari. Kemanapun ibunya pergi Gendis selalu diminta untuk ikut, ada baiknya juga karena Hanna kembali seperti sediakala. Hanya saja, hati Sakti yang tak menentu menahan rindu meski saling bertemu. Beberapa kali ketukan di pintu akhirnya menyadarkan Gendis. Meski berat membuka matanya, gadis yang mengenakan piyama di tas lutut itu pun melangkah menuju pintu kamar. "Sayang," sapa Sakti sambil tersenyum. "Eh, ngapain?" tanya Gendis menahan tubuh Sakti yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Mau tidur sama kamu," ujar Sakti melepaskan tangan Gendis. "Sakti, jangan gila! Kalo mama kamu liat gimana?"Gendis buru-buru menutup pintu kamarnya. "Kalo liat berarti bakal cepet di nikahin," kata Sakti menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Sini," ujarnya menepuk sisi tempat tidur. "Udah sini, aku ng
Read more
84. Kecewa
"Pulang sekarang?" tanya Arya pada Ami. Mereka semakin dekat setelah rencana konyol yang tiba-tiba Ami utarakan saat itu pada Gendis dan Sakti untuk makan malam bersama satu minggu yang lalu. "Makasih udah nyempetin jemput aku," ucap Ami. "Enggak masalah, lagian hujan kamu juga nggak bawa mobil. Jadi nggak ada salahnya aku jemput." Arya menoleh sebentar pada lawan bicaranya. "Banyak banget kerjaan sampe harus lembur?" tanya Arya yang melihat wajah kelelahan Ami. "Biasalah ada beberapa kontrak baru dengan perusahaan outsourcing yang menaungi sebagian karyawan yang belum diangkat sebagai permanen staf." "Meeting?" "Iya, lama belum lagi pembahasan dengan owner hotel," ujar Ami sambil memijat keningnya. "Gendis ada?" tanya Arya tanpa sadar membuat ekspresi wajah Ami berubah. "Maksud aku Gendis juga ikut meeting?" "Hanya level manager ke atas," jawab Ami kali ini datar. "Oh." Arya semakin merasa bersalah, dia merasa tak enak hati pada gadis itu karena masih sering menanyakan Gendi
Read more
85. Niat Baik
Sakti dan Hanna duduk di kursi panjang ruangan itu, sementara Satyo duduk di antara tim pengacaranya. Mereka menunggu ketuk palu Hakim untuk memberikan keputusan atas perkara yang di tuntutkan oelh Billy pada Satyo. "Maka dengan ini, Saudara Satyo Anggara dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan penipuan maupun pencemaran nama baik. Bukti-bukti yang dijadikan acuan tuntutan Saudara penuntut tidak dapat menjerat Saudara Satyo Anggara di mata hukum. Dengan ini sidang saya nyatakan di tutup." Ketukan palu sebanyak tiga kali itupun akhirnya mampu membuat Satyo Anggara bernapas lega. Setelah menjalani persidangan sebanyak tiga kali dan di akhiri dengan gebrakan dari pengacara muda yang tidak pernah dia sangka-sangka. "Selamat, Pak Satyo," ujar Windu menjabat tangan Satyo. "Sama-sama, terimakasih atas kerjasamanya," jawab Satyo. "Untuk kasus ini apa kita akan menuntut balik?" tanya Windu. "Tidak usah, kalaupun mereka ingin mengajukan banding. Entah apalagi yang ak
Read more
86. Percakapan Sepasang Kekasih
Acara hari ini berjalan sesuai dengan harapan Sakti dan Gendis, meski senyum sangat jarang menghiasi wajah Satyo. Lelaki itu memang belum sepenuhnya menerima Gendis namun karena harus menepati janjinya pada Sakti, mau tak mau dia harus melakukannya. "Jadi, rencana setelah ini apa?" tanya Hanna pada Gendis sebelum mereka pulang ke Jogja. "Sakti bilang, aku harus ikut dia ke Jakarta, Tante," jawab Gendis. "Bolehkan, Bu?" tanya Gendis pada ibunya. "Tapi memang seharusnya gitu Mbak Wati, biar nggak ada celah yang aneh-aneh," kata Hanna. "Kalo saya ini sebenarnya terserah aja, Mbak Hanna. Asal Gendis merasa nyaman, di sana nanti kerja lagi, Dis?" "Iya, Bu. Rencananya di perusahaan Sakti yang baru di kembangkan." Gendis malu-malu menatap Hanna. "Nah itu lebih baik, Mama setuju," ucap Hanna. "Tari panggil Mas-mu kemari," titah Hanna pada Tari. Sakti yang duduk bersama Hendro dan Satyo di teras depan akhirnya ikut masuk ketika Tari memintanya untuk masuk ke dalam. "Kenapa?" tanya Sakti
Read more
87. Pamit
Gendis melenggang masuk ke kantor pagi itu, masih sama dengan hari-hari sebelumnya dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir Gendis bekerja, entah mengapa lebih dari hampir enam bulan dia bekerja di hotel ini rasanya begitu nyaman. "Pak Bowo," ucap Gendis di depan pintu ruangan atasannya. "Hei Gendis, masuk," ujar Bowo lelaki feminim itu. "Duduk." Bowo mempersilahkan Gendis untuk duduk. "Gimana? Apa yang bisa aku bantu?" "Mm ... mengenai surat pengunduran diri saya. Pak Bowo sudah terima dan ini hari terakhir saya bekerja di hotel ini," kata Gendis. " Pekerjaan-pekerjaan saya sudah saya selesaikan. Terimakasih atas bimbingan Bapak selama saya bekerja di sini sudah sangat membantu sekali." "Sama-sama Gendis, semoga kamu semakin sukses, lancar acaranya. Tapi serius, saya kaget saat tau kalo ternyata kamu calon mantu salah satu orang terkaya di Indonesia." "Bapak bisa aja." Gendis tersenyum. "Saya jadi inget sama salah satu pepatah, jodoh itu emang ngg
Read more
88. Lupakan Masa Lalu
Gendis bersusah payah menggeret koper berukuran besar keluar dari area kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sementara Sakti menunggunya di luar dengan kedua tangan berada di saku celananya sambil tersenyum geli. "Bantuin," kata Gendis tanpa suara, Sakti hanya menggeleng. "Ish, jahat." Wajah Gendis berubah kesal. Tiba saat Gendis berada di hadapan Sakti, gadis itu mengusap peluh. "Capek ya?" tanya Sakti tanpa dosa. "Sini, aku bawa in," katanya sambil tertawa kecil. "Enggak usah, aku masih mampu," sungut gadis itu. "Nyesel aku," gerutunya. "Hah? Gimana?" Sakti mengambil alih koper Gendis. "Nyesel?" "Iya, nyebelin. Kesel!" umpat Gendis. Dengan cepat Sakti merengkuh pinggang Gendis. "Gita aja ngambek, aku kan cuma bercanda tadi." "Enggak lucu," ujar Gendis. "Sini," katanya sambil menarik pegangan koper besar itu. "Gitu, ngambek. Tambah cantik kalo ngambek," goda Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Kita kesana yuk. Nunggu mobil," ajak Sakti menggandeng tangan Gendis
Read more
89. Ide Dadakan
Gendis tergopoh-gopoh turun dari lantai dua mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Bik Sumi, pembantu rumahtangga yang diserahkan tanggung jawab oleh Sakti mengurus rumah ini sedang pergi membeli buah di depan gerbang komplek.Dengan rambut di balut oleh handuk dan menggunakan pakaian seadanya, Gendis membuka pintu rumah."Sakti ada?" tanya Satyo sambil masuk ke ruang tamu rumah itu."Sakti belum pulang, Pa. Biasanya sebentar lagi," jawab Gendis."Tinggal di sini dia?" Satyo duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya."Oh enggak, Pa. Biasanya kalo malam pulang, karena pasti makan malam di rumah."Gendis masih berdiri seperti seorang bawahan yang sedang berhadapan dengan atasannya. Sementara Satyo, sedari tadi mengamati rumah Sakti yang baru kali ini dia kunjungi. Suara mobil di luar membuat Gendis menarik sudut bibirnya. Dalam hati gadis itu dia dapat bernapas lega, Sakti akhirnya datang."Bik Sumi?" Gendis mendapati Bik Sumi datang bersama Sakti."Tadi ketemu di jalan, Mbak," ujar
Read more
90. Personal Asisten
Sepatu hitam berhak tinggi tujuh sentimeter berbunyi nyaring menuruni anak tangga pagi itu. Rok span berwarna hitam di padukan dengan kemeja baby pink dan tas kerja yang kemarin dibelikan oleh Sakti berada di pundak Gendis. Gadis itu terlihat anggun, pintar dan mandiri. Sakti yang menunggunya di ruang tamu melihat ke arah Gendis, ingin rasanya lelaki itu membawa kembali Gendis ke kamar dan menghabiskan waktu berdua walau hanya sekedar berbincang. Rasanya Sakti tak rela banyak pasang mata yang akan menatap kagum pada tunangannya itu. "Berangkat sekarang?" tanya Gendis menepiskan tangannya pada kemeja Sakti lalu merapikannya kembali. "Enggak jadi aja, gimana?" "Loh, kok nggak jadi? Kemarin kamu yang semangat minta aku kerja di kantor papa." "Aku nggak rela." Sakti meraih tas di pundak Gendis. "Enggak rela?" tanya Gendis bingung. "Nanti kamu banyak yang liatin." "Emang aku barang antik?" Gendis tertawa. "Kamu ada-ada aja. Ayo, nanti telat nggak enak sama papa dan staf yang lain."
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status