All Chapters of Dendam Permaisuri yang Terbuang: Chapter 71 - Chapter 80
134 Chapters
71. Keluarga Raja Arkha
Rengganis berpikir keras, Ki Chandra salah satu anak dari saudara sang ayahanda, tidak mungkin pula orang kepercayaan sang ayah berkhianat. Rengganis menepis semua pemikiran tidak baiknya. Toh, dalam kurun selama ini Ki Chandra tidak pernah berbuat jahat, lelaki tua tersebut orang penyayang. Sejak kepergian kedua orang tuanya, Rengganis merasa asing pada saudara sendiri. Dulu dia bisa nyaman berada di dekat mereka. Namun, nampaknya saat ini sedikit berbeda, usai penobatan Abra menjadi Raja. Bukan hanya dari keluarga yang di mana Abra selalu membatasi gerak-gerik Rengganis. Segala sesuatu tampak sulit, semakin sering berperang, adanya raja yang mungkin tidak kompeten membuka peluang kerajaan lain menyerang. Pemungutan pajak lebih mahal pada warga miskin, sedangkan pejabat memonopoli dan menggelapkan pajak. Banyak kejahatan sering terjadi, baik serangan penyamun, rampok mau pun pemerkosaan. Belum lagi jika yang melakukan tidak kejahatan adalah para prajurit yang memiliki hubungan d
Read more
72. Ajian Paku Jiwo
“Sabar Le, ada apa?” Ki Chandra bangkit dari duduk lalu melangkah mendekati pemuda yang baru saja lari terbirit-birit bak dikejar demit. “Ada Ki Kastara dan anak buahnya,” jawab pemuda itu. “Gawat!” keluhnya, “Monggo untuk para sesepuh lewat pintu belakang sekalian pergi menjenguk Permaisuri Rengganis, tetap hati-hati. Para pemuda tetap di sini,” ujarnya. Mereka bergerak cepat tanpa di siuru, sepersekian derik Ki Kastara sudah berada di ambang pintu. Lelaki tua itu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu mata berpendar ke segala penjuru ruang. Beberapa muda-mudi berada di sana. Mereka terlihat tengah bercengkerama agar Ki Kastara tidak menaruh curiga. “Adai ramai apa ini Ki Chandra?” tanya Ki Kastara. “Ah, saya sedang mengadakan jamuan untuk para pemuda Ki, seperti silaturahmi. Untuk memperkenalkan putri saya, Roro Gendis,” terang Ki Chandra. “Ah, pantas saja kau sangat bersemangat ketika para kerabat lainnya mengajukan putri mereka untuk menikah
Read more
73. Abdi Dalem
Rengganis berjalan membuka jendela, dia menghela napas panjang. Sengaja menampakkan diri. Nyi Gendeng Sukmo sebelumnya sudah memberitahukan bahwa ada penyusup yang memata-matai. Udara terasa dingin menyentuh kulit, Rengganis tidak peduli hal tersebut. Dia tetap bertahan di tempat. Menghidu rakus udara sebagai reaksi protes rasa tak nyaman. “Siapa dia, Nyi?” beberapa saat lalu Rengganis bertanya. “Hanya seekor lalat kecil, berikan saja apa yang dia inginkan Rengganis. Maka kita akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Kawan atau lawan kita tidak tahu, aku hanya merasa aura orang tersebut tidak berubah, dan dia minim bergerak. Bisa dipastikan dia hanya mengintai saja, memata-matai,” jelas Nyi Gendeng Sukmo. Karena hal tersebut akhirnya Rengganis mengikuti saran Nyi Gendeng Sukmo untuk memperlihatkan diri. Namun, Rengganis malah menghirup aroma bunga mawar segar dari pekarangan rumah. Kerongkongan terasa kering seketika, air liur menggenang di ujung mulut, ah ras
Read more
74. Musuh dalam Selimut
Para sesepuh melebarkan mata, tatapan bingung campur panik. Sedikit kegaduhan terjadi lantaran sambutan tidak hangat dari Rengganis. Mereka seperti melihat sosok berbeda. Wanita hangat ramah yang dulu ditemui hilang lenyap. “Apa maksud Permaisuri?” tanya Petapa Bagaspati heran. “Karena jika aku kembali, maka kesempatan bagi keluarga kerajaan untuk mencalonkan putri kalian menjadi istri Raja Abra pupus, maaf sekali mengecewakan.” Rengganis membenahi letak duduknya tanpa beralih pandang. ‘Oh, astaga aku baner-benar muak pada para musuh dalam selimut itu,’ keluhnya. Petapa Bagaspati menghela napas panjang dan mengangguk apa yang diungkapkan Permaisuri Rengganis tersebut tidaklah salah. Suara sumbang dari para sepuh yang tidak terima diperlakukan tidak sopan tersebut langsung gaduh. “Kami benar-benar kecewa pada sambutan tidak ramah ini, Permaisuri Rengganis!” cebik salah seorang lelaki tua yang mengenakan setelan pranakan (salah satu busana dinas abdi dalem lelak
Read more
75. Pembakaran Tempat Persembunyian
Lelaki bertubuh kekar tersebut masih menutup mulut Rengganis. Wanita itu memberontak sebentar lalu sedikit melemah saat menghirup aroma yang sangat dia kenal. Rengganis segera membalikkan badan ketika tangan kekar lelaki itu terlepas. “Kau mengagetkan diriku, Khandra,” ujar Rengganis. Lelaki tersebut tertawa kecil. “Ampun Permaisuri jika saya lancang, saya hanya tidak mau Permaisuri berteriak,” kata Khandra. “Yah, aku memang hampir berteriak, aura tubuhmu tidak terasa Khandra.” Rengganis berjalan mendekati ranjang lalu duduk di tepian. Wanita tersebut menepuk samping ranjang mempersilakan agar Khandra duduk. “Saya akan duduk di kursi sana,” ujar Khandra. “Tapi aku butuh pundak untuk bersandar Khandra,” ujar Rengganis seraya menelengkan kepala. Khandra melihat wajah lelah Rengganis, lelaki tersebut tersenyum lalu mengiyakan keinginan sang junjungan. Kaki itu melangkah mendekat kemudian duduk di samping Rengganis. Tanpa sungkan Permaisuri Kerajaan Bas
Read more
76. Mayat Permaisuri Rengganis?
Hyat! Hap! Kayana dan Petapa Bagaspati naik ke kuda. Mang Damar sendiri melepas salah satu kuda di pedati lalu menaikinya. “Kalian berhati-hatilah!” pesan Mang Damar. Ketiga lelaki beda usia tersebut langsung memacu kuda membelah jalan setapak nan gelap. Para wanita hanya memandang tubuh mereka yang semakin menghilang ditelan kegelapan. Cahaya rembulan hanya menyinari pada tempat-tempat terbuka, untuk jalan yang bagian samping masih ditumbuhi pepohonan besar, rasanya sangat gelap, suram dan dingin. Sajani mengambil damar dari dalam pedati, kemudian berjalan kembali ke arah Mbok Berek yang masih menangis mengkhawatirkan Rengganis. “Pada saat seperti ini, tidak ada Khandra di sini,” keluh Mbok Berek. “Sudah Mbak Yu, tidak apa. Khandra seorang senapati, dia pasti sangat sibuk saat ini,” terang Mbok Wiji. “Mari sekarang kita pelan berjalan untuk menyusul ke tempat Permaisuri Rengganis,” imbuhnya.*** Di tempat kejadian perkara, Bibi Larasati dan Roro Gendi
Read more
77. Mengungkap Pengkhianat
Beberapa saat sebelumnya, ketika Mang Damar, Petapa Bagaspati dan Kayana memacu kuda membelah jalan setapak nan gelap. Mang Damar menghentikan langkah mendengar ada suara kuda dari arah seberang. “Tahan!” Mang Damar mengangkat tangan, membuat Petapa Bagaspati dan Kayana spontan menarik kuda mereka untuk berhenti. “Kenapa Mang?” Kayana bertanya. “Ada pergerakan lain dari arah berlawanan, apa kita harus menepi?” Petapa Bagaspati menyahut. “Mereka seperti tergesa, ini mencurigakan,” keluh mang Damar. Tanpa berkomentar Kayana dan Mang Damar mengikuti Petapa Bagaspati untuk bersembunyi di balik pohon. Dalam hati berharap agar para kuda tidak berulah menimbulkan suara yang mencurigakan. Beberapa detik kemudian, suara kuda terdengar semakin dekat, mendekat. Mang Damar dapat mencium bau minyak tanah menguar ke udara. “Bau minyak tanah,” ungkap Mang Damar melebarkan mata dalam gelapnya malam. “Kejar mereka!” Petapa Bagaspati memberi titah. Hyat! H
Read more
78. Penghakiman
Bekas tempat yang terbakar kini dijaga ketat oleh prajurit pihak kerajaan. Penghuni rumah yang lain yang selamat juga kini dialihkan kembali ke kediaman Ki Chandra yang berada di dekat Kerajaan Baskara. Kabar bahwa Permaisuri Rengganis sempat tinggal di kediaman KI Chandra pun sampai ke telinga Raja Abra. Sudah pasti orang yang bergelar raja itu murka, dia memanggil Ki Chandra pagi-pagi sekali ke Istana Utama. Disaksikan para abdi dalem yang lain, suasana istana berubah hening mencekam, bernapas pun rasanya kesulitan. “Apa maksud dari perbuatanmu itu Ki? Mau menentangku?” Raja Abra mengintimidasi. Lelaki tersebut duduk dengan tatapan angkuh di singgasana kebesarannya. “Mohon sekiranya Gusti Prabu Abra yang berpengetahuan luas nan bijaksana memaklumi hamba yang hanya pesuruh ini.” Ki Chandra memberi jeda ucapan. “Saya bersua dengan Permaisuri baru siang kemarin. Saya hanya mengikuti perintah Permaisuri Rengganis yang masih ingin menenangkan diri,” imbuhnya. “A
Read more
79. Melarikan Diri
Sedangkan Istana Utama di mana Raja Abra berada bersama Ki Kastara dan Selir Madhavi. Ketiganya tengah meminum arak kualitas terbaik yang baru disuguhkan pelayan di ruang makan. Wajah mereka terlihat sumringah. “Mereka sungguh bodoh, bukan?” kekeh Raja Abra. “Biarkan saja mereka bertarung satu sama lain, kita tinggal menikmati hasil atas kekacauan yang sudah terjadi,” timpal Selir Madhavi. “Selanjutnya apa yang harus kita lakukan, Paman?” tanya Raja Abra pada Ki Kastara. “Aihihihi … Tentu saja kita harus melenyapkan Permaisuri Rengganis secepat mungkin lalu kita bakar mayatnya dan lempar ke air sungai!” cebik Ki Kastara. “Mereka begitu bodoh mengira kita tidak akan tahu apa rencana mereka.” Ki Kastara tersenyum menyeringai. “Kerajaan berdiri pasti akan banyak konflik, yang pandai menangkap situasi akan berkuasa. Banyak sekali para abdi dalem dan juga kerabat raja yang sebenarnya menginginkan Permaisuri Rengganis mati,” beber Selir Madhavi.
Read more
80. Perbatasan Kerajaan Bamantara
Rengganis maju selangkah, menatap air terjun dalam gua tersebut. “Aku akan masuk ke Kerajaan Bamantara, mengadu pada Raja Aratula,” kata Rengganis tersenyum menyeringai. ‘Sesuai yang aku harapkan,’ bisik Khandra dalam hati. “Permaisuri, tapi bagaimana jika Raja Arutala malah mendukung Raja Abra?” “Setidaknya aku tidak akan langsung dibunuh, kau bisa menyelamatkan diriku, menyusup seperti yang pernah kau lakukan dahulu saat menyelamatkan diriku di Istana Dingin,” kata Rengganis lalu kembali tertawa. “Baiklah, saya akan mengantarkan ---.” “Tidak perlu, aku bisa menyeberangi lautan dengan menumpang. Aku hanya butuh uang dan pakaian.” Rengganis memperhatikan kemben yang dikenakan berlubang di beberapa bagian. “Kau hanya perlu menghimpun pasukan kita di suatu tempat, Khandra. Akan aku pastikan Raja Aratula berada di kubu kita,” kata Rengganis yakin. “Saya paham, Permaisuri, saya percaya kita bisa melakukan kudeta atau penyerangan lain. P
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status