All Chapters of MENCINTAI ABANG ANGKAT : Chapter 81 - Chapter 90
103 Chapters
Part 81
"Kenapa mendadak begini? Abang bilang istirahat saja dulu. Kita ke dokter sekarang!""Chaca nggak butuh dokter. Chaca cuman butuh istirahat." Aira kembali melangkah dan meletakkan gelas minuman di atas meja, lalu berlalu pergi. "Abang merindukanmu," ucapnya lirih. Hatiku semakin perih dibuatnya. Dia mendekat dan ingin memelukku, namun seketika aku mundur dan menjauh darinya. "Ada apa?" tanyanya terheran-heran. "Pulanglah, Chaca udah bilang ingin istirahat." Aku tak ingin terlihat menangis di depannya. Aku segera melangkah meninggalkannya dan menuju ke kamar serta langsung menguncinya."Buka pintunya Chaca, berhenti bersikap seperti ini." Ia mengetuk pintu dengan sabar.Aku meluapkan tangisku membelakangi pintu. Suaranya terdengar jelas di telinga."Buka pintunya, Chaca. Kenapa terus menghindar. Kita bisa bicarakan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Suara ketukan terdengar menjadi lebih keras. Aku masih diam tak menjawab, hanya menutup mulut agar suara tangisan tak terdengar k
Read more
Part 82
"Benar. Chaca hanya butuh semua itu. Tadinya Chaca pikir bisa hidup tenang dengan menjadikan Abang kekasih. Tapi nyatanya, menjadi adik atau kekasih Abang tidak ada bedanya. Chaca tetap tidak akan mendapatkan apa pun.""Apa Mama yang mengatakan semua omong kosong itu?" Ia mulai berpikir yang bukan-bukan. Apa aku salah bicara? Apa aku akan membuat dia lebih menyalahkan mamanya? Tidak, ternyata aku salah bicara."Kalau kamu butuh uang, kamu tidak perlu takut. Abang punya segalanya. Sudah berapa kali Abang katakan, uang Abang tidak ada hubungannya dengan Mama.""Berhenti membicarakan soal uang!" Aku berteriak histeris."Abang berjanji tidak akan marah-marah lagi sama kamu, tidak akan pernah membentakmu lagi, tidak akan melarangmu pergi dengan Haikal, tidak akan membatasi hubunganmu dengan Jaka dan ibunya. Apa pun itu akan Abang lakukan, asal jangan pernah tinggalkan Abang. Abang benar-benar menyayangimu." Dia sampai berlutut lemas menatapku. Sedalam itukah dia takut kehilanganku? Buka
Read more
Part 83
Pekan Baru 2020Sudah setahun aku tinggal di kota ini. Kota yang konon katanya tempat kelahiran Bang Malik. Ya, setidaknya itu yang selalu dia ucapkan padaku."Abang ini putra melayu asli, dari keluarga Said," serunya penuh semangat kala itu. Lahir di Pekan Baru, kemudian dititipkan di panti asuhan karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Begitulah surat yang ditinggalkan bersamaan dengan kehadirannya. "Kalau Abang punya darah melayu, berarti Chaca juga?" tanyaku polos."Tentu saja, kamu kan adik Abang. Lupakan orang tua yang sudah membuangmu. Anggap mereka sudah mati seperti orang tua Abang. Kalau pun mereka masih hidup, berdoa saja agar mereka cepat mati." Begitulah kata-kata kasar yang sering kami ucapkan. Tak pernah tahu caranya bertutur kata yang sopan. Sebab kata-kata umpatan tersebut juga sering diucapkan para pengurus panti.Dengan alasan nama itulah aku menambahkan nama Sayyida di belakang namaku, agar mengingatkanku bahwa Bang Malik benar-benar kakakku. Namun kenyataan
Read more
Part 84
Hari ini ulang tahun Fatma. Pak Yaz mengadakan acara kecil-kecilan hanya dengan para karyawan. Kami semua mengambil foto berjajar dengan Fatma berada di tengah-tengah antara aku dan Pak Yaz. "Mirip keluarga, ya. Apa perlu aku crop nih fotonya biar jadi foto bertiga aja?" goda salah satu dari mereka."Posting dong, jangan lupa tag aku ya," sahut yang lainnya. "Iya, iya. Tenang.Kalian semua aku tag," balas Runi. Kemudian kami semua diajak makan di luar oleh pak Yaz. Kami kembali mengambil foto di berbagai tempat di sebuah restoran terkenal. Sesekali pak Yaz melirikku dan melempar senyuman sambil menunduk. Sudah seperti itu, sejak di awal-awal aku mulai bekerja padanya. Apalagi putri tunggalnya, Fatma juga sangat dekat denganku. Tapi tentu saja aku berpura-pura tidak ngeh dan bersikap biasa saja. Aku tak ingin membuatnya merasa, kalau aku juga menaruh perhatian.Selesai acara makan-makan, karyawan yang lain pada bubar, sementara aku dan Runi ikut pulang ke ruko. Fatma sangat senang
Read more
Part 85
Aku membaringkan diri di ranjang setelah toko tutup, mengamati foto Bang Malik yang kusimpan waktu itu. Rasa rindu kembali menyeruak. Membayangkan wajah, serta berbagai macam perlakuannya padaku.Sedang apa dia sekarang? Dia bahkan tak pernah aktif di sosial media, meski hanya untuk membagikan kesehariannya. Berulang kali aku mengecek akun fesbuknya dari akun fake yang aku buat setahun yang lalu. Sebuah foto, atau kata-kata ungkapan pun tak pernah dia post. Aku sengaja tidak memakai akunku yang lama agar tak seorang pun bisa melacak keberadaanku. Termasuk Aira dan Vera. Sahabat-sahabat terbaik yang juga sangat aku rindukan. Aira kini sudah memiliki seorang bayi. Hanya sebuah foto yang dia posting beberapa bulan yang lalu dengan caption 'Keponakanmu sudah lahir, tidakkah kamu ingin melihatnya?'Air mataku tumpah seketika, begitu paham kalau status itu sengaja ditujukan khusus untukku. Kemudian akun tersebut sama nasibnya seperti milikku. Tak pernah lagi memberitahu sesuatu. Sengajak
Read more
Part 86
Perlahan dia mulai mendekat, membuat kedua tungkai kakiku gemetaran. Tak berkedip sedikit pun mataku, saat kini dia berada tak sampai selangkah di depanku. Dekat sekali."Kenapa? Kaget?" sapanya, sembari membuka kacamata hitam yang dari tadi bertengger di atas hidung mancungnya. Aku masih terdiam, tak sanggup mengatakan apa pun. Karena apa? Takutkah? Tidak. Aku hanya memastikan dia benar-benar nyata dan bukan bayangan. Kemudian kami berdua mematung saling menatap saat sebuah suara menyadarkanku."Maaf, anda siapa?" tanya pak Yaz. "Tanyakan pada gadis yang bersama anda," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Chaca? Kamu kenal orang ini?" Kali ini pak Yaz mencari jawaban kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Siapa?"Secara bergantian aku memandang pak Yaz, kemudian kembali menatapnya, memastikan ini bukanlah sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir."Bang Malik!""Bang Malik?" ulangnya. Aku kembali mengangguk. "Abang saya," ucapku penuh keyakinan."Oh...." Suara pak Yaz ter
Read more
Part 87
"Uwak buatin minum, ya?" tawarnya. "Nggak usah, Wak. Masih ada minuman botol di kulkas atas," sahutku, sambil berlalu dan pria itu mengekor dari belakang. Kebetulan di lantai tiga kami diberi fasilitas lemari es dan dispenser sendiri agar tak repot-repot bila hendak minum atau menyimpan camilan. Hanya dapur yang berada di lantai dua, karena aku dan Runi juga ikut makan bersama keluarga pak Yaz.Aku mengajak Bang Malik masuk ke kamar yang aku tempati bersama Runi. Dia menyisir setiap sudut ruangan, kemudian menghempaskan diri di ranjang yang kebetulan milikku. Ada dua ranjang kecil di kamar ini. Masing-masing untuk aku dan Runi. Masing-masing diberi satu lemari pakaian mini di setiap sudutnya. "Abang merindukan bau tubuh ini." Dia memeluk guling yang biasa aku pakai. "Bagaimana kalau itu bukan ranjang Chaca?""Tidak. Ini memang milikmu. Biarkan Abang berbaring sebentar. Abang capek menyetir semalaman. Kemudian baru Abang akan memelukmu."Apa? Semudah itu dia bicara? Apa penyakit g
Read more
Part 88
"Abang jahat, egois!" Aku memukul dadanya berulang kali. Kali ini pertahananku goyah. Aku percaya, dia mungkin bisa melakukan apa saja saat sedang marah. Benarkah saat ini om Jaka tidak bisa berjalan lagi? Aku menjauhkan diri darinya dan berusaha mengecek ponselku. Mencoba mencari nomor yang masih kusimpan, tapi tak pernah kuhubungi. Dengan cepat dia merampas benda pipih itu dari tanganku, lalu bergerak duduk di sisi ranjang. Memeriksa semua isi yang ada di dalamnya setelah kunci pola kubuka. "Hape Abang sita, sampai kamu ikut Abang pulang.""Hish.. balikin. Chaca mau nelpon nenek," protesku.Dia memasukkan ponselku begitu saja di kantong celananya, lalu kembali berbaring sambil memeluk gulingku. "Balikin, Bang." Aku masih cemas. Dasar psiko, laki-laki barbar, bipolar atau apa pun namanya. Dia sama saja seperti mafia atau orang gila. Seenaknya saja mematahkan kaki orang seperti tidak punya rasa kemanusiaan. Aku menarik guling tersebut kemudian mencoba mengambil ponsel yang tadi
Read more
Part 89
Aku membantunya merapikan sprei tempat tidur dan menyusun pakaiannya dengan rapi di lemari kecil yang serupa dengan kami. Kamar ini dulunya dipakai oleh karyawan lama, yang sekarang sudah berhenti bekerja dan menikah.Di atas lemari yang tidak sampai setinggi diriku itu, aku menyusun sisir, parfum dan beberapa perlengkapan lain yang ada di kopernya. Kulihat dia masih berbaring sambil menutupi matanya dengan lengan. Dia kembali terlihat seperti menahan beban berat. "Sampai kapan Abang mau tinggal di sini?" tanyaku seraya mendorong koper kosong nya ke bawah tempat tidur."Sampai kamu siap," jawabnya sambil sesekali menarik napas. "Siap untuk apa?""Untuk ikut pulang" Aku menghela napas. "Chaca lebih suka tinggal di sini," jawabku berbohong. Dia mencoba bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Mengucek matanya yang terlihat lelah dan mengantuk. "Bagaimana kalau toko ini tiba-tiba saja bangkrut, lalu tutup? Atau tiba-tiba terjadi kebakaran atau....""Berhenti menakut-nakuti," umpatku
Read more
Part 90
"Kamu kenapa,Cha?" Kurasakan Runi mengelus pundakku. Namun tangisku semakin pecah, tak mampu menjawab dan harus memulainya dari mana. Runi kemudian mencoba memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, tidak apa-apa. Menangis saja. Aku tidak akan bertanya." Runi berusaha menenangkanku. Aku kembali terisak di pelukannya.Jadi, mereka semua sudah tau keberadaanku saat ini? Aira? Haikal? Bahkan teman-teman di SunCo? Aku tak dapat lagi membaca komentar mereka satu persatu yang terus menerus menanyakan bagaimana keadaanku.Sekhawatir itukah mereka? Seketika aku mulai menyadari, aku tak benar-benar sendiri. Ada mereka yang selalu menemani dan menguatkanku. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir, hingga sesenggukan aku di dada Runi. .Keesokan paginya aku bekerja seperti biasa. Kamar Bang Malik masih tertutup rapat, kembali kubiarkan begitu saja. Mungkin kalau lapar dia akan keluar dengan sendirinya.Seperti biasa kami memulai aktivitas dengan bersih-bersih dan menghidupkan semua mesin
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status