Semua Bab Bahagia Setelah Terusir: Bab 41 - Bab 50
76 Bab
Kampung Nyamuk (2)
Mobil meluncur bebas. Hujan semakin deras. Beberapa lokasi, lampu jalanan mati, membuat jalanan bertambah gelap. Penerangan lampu mobilnya yang cukup ditambah jalanan sepi membuat Sanad lebih leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.“Hati-hati, Pa. Pelan-pelan saja. Tuh badan kita tidak basah,” ucap Kaayat sambil memeluk bayi Evan yang tertidur. “Iya, Sayang."Di sebuah belokan, tiba-tiba sebuah mobil muncul dari belakang mobil yang berlawanan arah dengannya. Seketika Sanad panik. Ia menekan klakson secepat dan sekuat mungkin. Lampu dari mobil lawan arah tepat di depannya. Ia membanting setir. Namun yang terjadi ia menabrak sebuah pohon besar. Sanad terlonjak. Ia terjaga dari mimpinya. Matanya mengerjap beberapa kali. Napasnya memburu.Hayati ikut terbangun. “Kenapa? Mimpi buruk lagi?”Sanad mengangguk. Napasnya masih belum teratur. Keringat membanjiri badannya. Ia menengok ke arah AC yang ternyata masih nyala. 
Baca selengkapnya
Terusik
Sanad meletakkan dagunya di atas kepala, tangannya memeluk erat, sedang pikirannya entah ke mana. Sudah berapa kali dia mendesah, hingga membuat mata Evan terbuka.“Mama?!”“Heh?” Sanad menurunkan wajahnya, menatap Evan.“Mama?”“Mama?” ulang Sanad. Keningnya mengerut. “Oh, Evan merindukan Mama? Iya, nanti Minggu kita ke sana. In sya Allah.”Evan menggeleng. Kening Sanad makin menukik.“Mama?” Evan menunjuk ke arahnya dengan dagu.“Papa?”Evan mengangguk.“Mama.”“Papa ... Mama." Sanad menatap langit-langit, berusaha mencerna ungkapan Evan. "Papa kangen Mama?”Evan mengangguk sambil tersenyum nakal.“Ish, mikir apa sih?! Sudah tidur nggeh,” tukas Sanad sambil menenggelamkan wajah Evan dalam pelukannya.'Kangen?' Tiba-tiba Sanad mengeja kata dalam hatinya. Bohong jika ia tidak merindukan gadis itu. Namun, rindu seperti apa yang dimilikinya? ***
Baca selengkapnya
Terusik (2)
“Nggak mau nyala?"Tera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, ini. Mungkin karena lama nggak dihidupkan, jadinya gini,” keluhnya.“Sini aku coba.” Rudi mengambil alih gagang yang dipegang Tera. Hanya sekali tarikan, mesin langsung berbunyi. Seketika Rudi tertawa. “Tenagamu bukan seperti dulu lagi. Itu lihat, napasnya ngos-ngosan begitu.”Tera hanya memasang wajah merengut.“Memang di sana, benda yang paling berat kamu angkat apa?” tanya Rudi sambil mengangkat mesin dan meletakkan ke sampan.“Evan,” sahut Tera sambil mengikuti Rudi.“Itu bukan benda.”“Berat juga kan?”“Iya, tapi tetap saja beda. Manusia sudah secara alami memiliki keseimbangan jika diangkat. Coba kalau kamu angkat benda yang beratnya sama dengan Evan. Pasti beda."Rudi sudah kembali ke teras. “Mau ke danau?"Tera mengangguk.“Aku temani ya,” tawar Rudi.Tera memicingkan mata. “Nggak kerja?”“Sudah jam segini, masih ditanya kerja?”Tera memonyongkan bib
Baca selengkapnya
Tatapan Itu
Sanad berjongkok. "Kita pulang dulu, ya. Nanti kita janjian lagi," bujuk Sanad. Evan tetap bersikukuh. Sanad beralih ke Bastiah. "Kami tunggu saja, Bu.""Iya, silakan masuk." Bastiah menyingkir. Sanad hendak menarik tangan Evan, tetapi anak itu malah menarik, lalu duduk di bangku panjang. "Kalau begitu, kami tunggu di sini saja, Bu. Maaf ya.""Iya, nggak apa-apa. Silakan. Saya ke belakang dulu," ucap Bastiah ramah.Sanad duduk di samping Evan, setelah Bastiah masuk ke rumah, Sedang Keane berdiri, bersandar ke sebuah tiang. “Cepat banget gerahnya ya,” keluh Keane sambil mengipas-ngipas kerah kemejanya. Ia membuka ponselnya. “Cuaca sama saja dengan Kandangan. Kenapa terasa cepat gerah?”“Itu karena posisi kita di atas air.  Uap air akan membuat suhu lebih panas. Ditambah air menjadi panas ketika kena matahari. Semakin panas suatu benda, maka semakin panas pula suhunya. Panasnya akan berkali lipat. Panas ini ak
Baca selengkapnya
Tatapan Itu (2)
Sanad tertawa ketika melihat bintik merah di wajah putranya akibat gigitan nyamuk. Ditambah dengan garukannya, akibat gatal. “Jangan digaruk!” Sanad mengambil tangannya yang hendak kembali menggaruk. “Kulitnya putih sekali, jadi merahnya nampak sekali. Di sini banyak nyamuk, Cu. Apalagi kalau malam,” ucap Bastiah. Tak lama terdengar bunyi mesin ketinting dari kejauhan. “Nah itu mungkin Tera,” seru Bastiah, lalu berdiri. Evan langsung berdiri, hendak mengikuti, tetapi ditahan Sanad. “Di sini saja!”“Tak apa. Masuk saja. Barangkali mau melihat Bangkau lebih luas lagi."Evan bergerak-gerak, menarik ayahnya. “Ayo, Nak.”Akhirnya Sanad berdiri, masih dengan memegang tangan putranya mengikuti Bastiah. Di tengah rumah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kamar dengan wajah kucel. Arbain terkejut ketika melihatnya.“Pak Sanad? Iya kan, Pak Sanad?” tanya Arbain.“Kamu mengenalnya?” tanya Bastiah. “Dia kan putra Bu Fatima, pemilik minimarket tempat saya bekerja.”“Benar, Nak?!” tanya
Baca selengkapnya
Keindahan Tiga Elemen
Tera menghela napasnya. Melihat sikap Tera, Sanad mendekat dan mengambil kertas yang dipegangnya. Ia mengelus rambut Evan. “Ada banyak yang harus dikerjakan Mama. Mama juga punya ibu yang harus dijaga, jadi Mama harus pulang. Evan ngerti ‘kan?” Evan mengangguk. Tera tersenyum haru. Matanya mulai mengembun. Evan kembali menulis dan menyerahkan pada Tera. [Evan juga akan jaga Mama jika sudah besar]Sontak Tera tertawa. Kali ini matanya berair. Diam-diam Sanad menatapnya. Betapa ia ingin menghapus air mata itu. Air mata yang mengalir untuk anaknya. Melihat Tera, ia selalu bertanya-tanya dalam dalam hati, benarkah perasaan sukanya murni dari hati? Jangan-jangan yang dirasakannya hanyalah bentuk terima kasih atas semua yang dilakukan Tera untuk putranya. Hari itu, anak dan bapak itu menghabiskan waktu seharian bersama Tera. Sore hari Bastiah menyuguhkan makanan khas Bangkau. Ikan kerapu goreng, ikan gabus panggang, tana
Baca selengkapnya
Keindahan Tiga Elemen (2)
Sesaat Bastiah termangu. Sebagai seorang ibu, ia pun turut bahagia mendengar pengakuan tulus itu. “San!”“Aku minta maaf jika pengakuan ini mengganggumu. Aku sadar, kalau aku laki-laki beristri. Karena itu, mulai sekarang aku tidak akan tidak mengganggumu lagi.”“San!” Tiba-tiba perasaan takut membekap Tera. Betapa ia terlanjur berharap banyak setelah kedatangan Evan kali ini. Ia terlanjur berharap Evan akan selalu mendatanginya, meski hanya sebulan sekali. Sanad berdiri. “Kalau begitu. Aku permisi. Aku banyak-banyak minta maaf, karena membuat Ibu, Tera dan mungkin juga sekeluarga merasa terganggu. Terima kasih atas kebaikan Ibu dan Tera. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian.Bastiah menyambut uluran tangannya dengan sedikit kikuk. “Maaf ya, Nak. jika ini menyinggungmu. Ibu melakukan ini ….”“Iya, saya mengerti, Bu. Saya mungkin juga akan melakukan hal yang sama jika saya di posisi Ibu. Terima kasih banyak.”Sanad
Baca selengkapnya
Fatal
‘Jika itu definisi cinta, apakah aku juga mencintaimu? Entah sejak kapan, aku sangat suka melihat wajah judesmu tersenyum.’“Tera … Tera,” gerutunya sambil membenamkan wajahnya dengan bantal. Gelap semakin membuat wajah ayah dari Evan itu semakin jelas. ‘Aku hanya ingin kamu tahu, di dunia ini ada yang mencintaimu tulus. Jadi percaya dirilah. Kamu berhak menentukan pilihanmu. Kamu berhak mencintai dan dicintai.”“Aaa …,” erangnya. “Kenyataannya, untuk apa kamu mengungkapkannya? Pada akhirnya kamu juga meninggalkanku.”Bunyi ketukan pintu terdengar. Seketika ia menutup mulutnya, berharap di luar tidak ada yang mendengar gerutuannya. “Tera!” panggil ibunya.Ia meloncat dari ranjang, lalu membuka pintu. “Kenapa dikunci?” “Ibu lupa, kalau di rumah ini ada laki-laki lain?” singgung Tera.“Siapa? Arbain? Bukankah dia iparmu?”“Ibu lupa apa yang telah dia perbuat padaku?”“Pintar jawab ya
Baca selengkapnya
Fatal (2)
Sanad melajukan mobilnya membelah kota Kandangan mengarah ke Barabai. Ia lupa kapan terakhir mengendarai mobil sendiri. Setelah kecelakaan, kemana-mana selalu di kemudi seorang sopir, entah Pak Karni sopir yang mengantar ke kantor atau Keane yang sekarang menjaga Evan. Kini ia tak peduli lagi dengan trauma, hati remuk ditambah satu masalah membuatnya tidak sempat lagi memikirkan rasa takut. Mobilnya berhenti tepat berada di halaman rumah Rudi. Rudi langsung keluar, begitu mendengar bunyi mobil berhenti di depan rumahnya. Meski tidak hafal, ia sudah bisa menebak siapa yang akan datang. “Kenapa kamu membatalkan transaksi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Itu hakku. Apa mau kujual, kutarik atau kuberikan, itu terserahku," jawab Rudi sekenanya. Namanya saja sudah membuat emosi Rudi terpantik, apalah lagi dengan sikap kasar Sanad.“Tidak bisa begitu. Kamu tau berapa kerugian yang kami tanggung?!” Rudi tertawa sumbang. “Rugi? Bukankah
Baca selengkapnya
Berpaling Haluan
“San, berilah dia kesempatan sekali lagi,” bujuk Fatima. “Sudahlah. Aku capek. Keputusanku sudah bulat. Nanti besok, aku akan antar kamu ke orang tuamu.” Sanad berdiri.“SAN!” sergah Fatima. Tetapi Sanad berlalu, masuk ke kamar Evan.*** Hayati masih duduk di lantai, tangisnya makin menderu. Fatima merasa iba melihatnya. Ia  memegang kedua bahu Hayati, lalu membantu berdiri.“Kamu istirahatlah! Semoga setelah pikirannya mulai tenang, ia mau menarik ucapannya,” bujuk Fatima. Hayati mengangguk. “Terima kasih, Ma.”Fatima hanya menjawab anggukan kepala. “Istirahatlah!***Setelah beberapa malam, Rudi datang ke rumah Tera, tetapi tak kunjung ketemu, akhirnya ia memutuskan mendatangi Tera ke lantingnya. Tera hanya menatap sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Membetulkan hampang yang tak lagi berdiri tegak akibat ulah orang tidak bertanggung jawab. Rudi melonca
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status