All Chapters of Pesanku di Grup Chat Keluarga Tak Pernah Dianggap: Chapter 41 - Chapter 50
74 Chapters
Bab 41
KEMELUT HATI FIZASetelah sekian lama aku selalu sabar dan tak sekalipun melawan pada keluarga Bang Rafi yang suka seenaknya berbuat padaku dahulu, kali ini aku harus bisa bersikap. Bukan terhadap Mba Zara ataupun Mba Tia yang dulu aku lakukan, tetapi kepada Bang Rafi. Suamiku.Aku masih belum memahami secara utuh apa yang ada dalam hatiku. Sakit? Tentu. Hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bermain api di belakangnya? Berubah menjadi orang yang berbeda dari biasanya. Bang Rafi yang dulu tak pernah bermain-main api dibelakangku, kini ia sudah mulai berani menunjukkan sikapnya itu.Memang belum ada bukti valid akan dugaanku itu. Walau hanya sekedar sebatas rekan kerja, aku tau persis Atika itu pasti bakal berbuat macam-macam terhadap suamiku. “Kalau dulu kita jadi menikah, mungkin ceritanya tidak begini ya, Raf?”Kalimat Atika saat itu terngiang dibenakku. Apa benar, disaat seperti sekarang ini wanita itu mulai menyukai Ba
Read more
Bab 42
POV Mama MertuaSebagai orangtua, aku bisa dikatakan kurang mampu mendidik ketiga anak-anakku. Terutama Zara dan Tia. Mereka berdua ini, entahlah dari mana bisa berkelakuan sangat buruk. Aku sampai-sampai ikut arus dengan mereka berdua yang selalu mengatakan Fiza, mantuku, adalah sosok mantu yang tak mandiri. Bahkan kata Tia, Fiza hanya bisa menghabiskan uang anakku saja, yaitu Rafi.Jika untuk urusan makan anak istri, tak apalah Rafi harus mengeluarkan uang. Tapi jika meminta uang untuk berobat Putra cucuku yang sakit, hingga mencapai puluhan juta, aku tak terima. Karena kata Zara, Fiza hendak meminjam uangnya yang akan dipakai untuk acara ulang tahun cucuku Kiya. Makanya aku ikut tak menyukai Fiza saat itu. Bahkan sering tak kuanggap sebagai bagian dari keluarga.Ternyata aku salah, semua yang Zara dan Tia bilang adalah kepalsuan belaka. Aku baru tersadarkan ketika kedua anak perempuanku itu tak ada yang mau merawatku yang sering sakit-sakitan.
Read more
Bab 43
Aku tahu jika Bang Rafi pastinya kebingungan dengan sikapku, yang meminta ia untuk memilih. Aku melakukan itu adalah untuk memastikan semuanya memang tidak ada apa-apa. Tapi itu jika Bang Rafinya mau jujur dan terbuka padaku.Ketika ia memilih jujur untuk hal-hal aneh yang ia sembunyikan dariku, kurasa aku bisa legowo apapun kejadiannya. Namun jika Bang Rafi hanya memilih bungkam, itu artinya memang ada sesuatu yang tak ingin aku ketahui darinya.Aku memilih pergi dari sini bukan karena aku tak mencintai suamiku, justru itu adalah cara agar ia dengan hati lapang bercerita semuanya. Tapi jika malah ia tak melarangku pula pergi dari sini, hanya karena bisnis yang ia rintis baru seumur jagung, itu artinya suamiku itu rasa egonya memang masih tinggi.Tak mengapa, aku ingin lihat sejauh mana dia tanpaku. Bukannya aku sombong. Tapi setidaknya ia menghargai semua yang kulakukan selama ini bukan untuk saling tinggi-tinggian ego, tapi karena kami pasangan suam
Read more
Bab 44
“Oh … jadi, semua ini rencana kamu, Bang? Sengaja gitu, suruh kakak kamu tinggal disini tanpa sepengetahuan ku?” “Halah, sudahlah Fiza. Jangan tanyain soalan itu lagi! Pokoknya, Mba Tia seminggu disini, seminggu disitu, titik!”“Maaf Bang, kau tau sendiri kan kalau Mba Tia itu tak suka padaku? Jadi sebaiknya dia ikut Abang, bukan bersamaku!”Tut! Langsung aku matikan panggilan Bang Rafi. Benar-benar egois! Aku sudah tak bisa menolerir kemauan suamiku itu. Mengapa Bang Rafi jadi begini, sih? Apa yang dia inginkan sebenarnya?*** Hari ini aku akan ngantor. Karena Sisil sudah mulai menyuruhku untuk aktif kembali. Waktu tetap fleksibel, jadi anak-anak masih bisa aku jemput selepas pulang dari bekerja, atau Pak Didin yang menjemput jika aku ada kerjaan yang menyita waktu.“Welcome home!” Sisil menyambutku dengan pelukan hangat.“Makasih …” Aku tersenyum bahagia menyambut pelukan Sisil yang begitu hangat.
Read more
Bab 45
[Aneh kamu itu, Raf! Suka hati Mba, lah, mau kasih siapa aja. Bener kata Tia, jangan ngeribetin orang yang mau kirim makanan!] tulis Mba Zara pula, menanggapi.Memang secara tak langsung, chat Mba Tia ada benarnya. Mengapa juga harus menghalangi Mba Zara? Ini! Ini, yang menurutku aneh. Tapi Bang Rafi tak ingin dibilang dia itu ada masalah penyakit hati apa denganku jika minum kopi? Ah, sudahlah. Mungkin benar kata Sisil, suamiku itu kena syndrome paranoid kopi berlebihan.[Ya udah, Mba. Kirim ya? Kopi yang kayak Fiza ama cemilan! Oke Mba, aku tunggu!] balas Mba Tia yang benar-benar mengharapkan pemberian Mba Zara.[Kalo yang kayak Fiza ya gak bisa, Tia. Kedainya hanya ada disini. Kejauhan ngirim kesana. Aku kirim kopi yang lain, pesen yang dekat dengan rumah sana. Sekalian makanan buat Mama juga. Udah ya, jangan protes,] tulis Mba Zara lagi.[Makanya Mba Tia kerja lah! Biar bisa beli sendiri kalau mau apa-apa. Bikin repot kakak dan adeknya aj
Read more
Bab 46
“Mana liat sini potonya sih? Aku makin penasaran deh!” kataku lagi dengan sedikit memaksa, sambil mengguncang lengan Sisil.“Kau tak kan kenal sama dia, Sist. Dia itu jarang pulang ke Indonesia. Hanya adiknya saja yang udah pulang ke tanah air dalam tahun ini.”“Kok bisa? Jangan bilang gak cinta tanah air ya! Mana sini, coba liat potonya, warga pribumi gak mau balik itu tampangnya kek gimana sih!” cecarku makin penasaran.“Bentar. Dih nih anak kayak dia aja yang mau nikah! Aku aja biasa-biasa saja ngeliatnya. Cuma karena kata Mamaku, anaknya ini memang mau nyari orang Indo juga, baru deh balik tanah air. Dan Papanya langsung nawarin ke Papaku. Oke sih anaknya, baik, tapi usianya lebih tua dia empat tahun.”“Udah ah, mana sini liat potonya!” desakku lagi pada Sisil, yang pada akhirnya ia buka juga gallery di gawainya itu.Sisil memperlihatkan poto calon suaminya itu, aku memperhatikannya dengan seksama. Cakep, dan wajahnya sangat ber
Read more
Bab 47
“Lho? Ini perusahaannya Nak Putri?” Om Bram Muller tak kalah terkejut.Aku dan Fiza saling tatap. “Lha? Fiza Sucipto, kan? Disini juga sekarang?” lanjut Om Bram menatap kami bergantian.Ya benar. Om Bram adalah papanya Zachy Muller alias Zach. Beberapa tahun silam aku pernah bekerja di perusahaannya sebagai Analisa produk dan keuangan. Aku menjadi tim sepuluh bentukkan papanya Zach.Lalu, ternyata Om Bram juga mengenal Sisil? Tepatnya Sisil Putri Wijaya?“Om … kok … kok Putri gak sampai mengetahui kalo Om … haduh, maafkan ya Om. Maafkan Putri …” ujar Sisil yang dipanggil dengan nama kecilnya, Putri, oleh Om Bram.Om Bram langsung duduk sambil mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali. Lalu ia tersenyum, dan tertawa ringan. Pak Kris dan Pak Bambangpun ikut dibuat bingung pula. Sementara aku hanya bisa diam membeku, lebih nyaman tak bersuara. Jadi aku hanya diam. Karena jadi ingat perpisahan malam itu ketika dipanggil oleh ay
Read more
Bab 48
“Tapi aku tuh belum makan Ma dari pagi. Mana capek perjalanan dari sana kesini. Mama gimana sih …” rengek Mba Tia memelas.“Buruan kerjakan! Gak mau ya sudah, kamu pulang lagi aja kesana! Rapikan rumah disana, baru dapat uang lagi dari Rafi. Dan ingat, jangan makan kalau kamu gak kerja!” lanjut Mama benar-benar tegas.Aku terkikik sesaat, lalu langsung pamit berangkat jemput anak-anak. Mba Tia seakan ikut sebal melihat aku tertawa kecil barusan.Tak perlu lama menunggu dan menjemput anak-anak, aku telah sampai lagi dirumah. Masih kudengar ocehan Mama pada anak perempuannya itu yang tak sudah-sudah dari sejak aku belum berangkat. Mba Tia memohon pada Mamanya agar diberikan makan dahulu, baru ia kerjakan yang mamanya minta tadi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Mungkin maksud Mama baik, agat Mba Tia merubah sifat malasnya itu.“Ma, kasih aja dulu Mba Tia makan, kasihan litanya …” bisikku pelan ke telinga Mama.“Kalo dia i
Read more
Bab 49
“Kau mirip sekali dengan wanita dalam poto yang dikirimnya padaku saat aku masih di Amerika. Katanya, malam itu dia akan melamar wanita yang ada dipoto tersebut. Tapi sayang … wanita dipoto itu tak kunjung datang.” Kata-kata itu seolah membuat waktu terhenti berbutar seketika.Dimana waktu mengajakku untuk memutar rekaman berdebu yang tersimpan lama. Aku kembali mencoba mengulang ucapan Daniyal barusan dalam pikiran. Sebuah peristiwa masa lalu yang kini baru kuketahui. Sebuah cerita yang tak pernah aku berusaha untuk tahu. Sebuah cerita yang entah mengapa harus kuketahui sekarang. Namun hari ini, aku mulai memahami semuanya. Memahami mengapa malam itu Bang Rafi memaksaku ikut dengannya ketimbang menyetujuiku bertemu dengan Zack.Tubuhku masih bergetar. Aku mencoba menenangkan diri. Menenangkan hati. Mencoba mencerna dengan baik semuanya. “Fiza?” panggil Sisil yang telah membuatku tersadar kembali dari hentian waktu yang terhenti tadi.
Read more
Bab 50
Tak ada yang menghabiskan makanan yang dihidangkan ini, kecuali Dinda dan Putra. Mungkin karena lidah mereka cocok saja menerima jenis makanan selalin khas Nusantara. Tak lama, Bang Rafi terlihat seperti menunggu kedatangan seseorang. Karena wajahnya sibuk menoleh kearah pintu utama restoran ini. Aku masih sibuk dengan gawai, mengirim beberapa poto ke chat pribadi Mba Zara. Walaupun kami berdua tak mengobrol secara langsung, Mba Zara malah mengirim chat pribadinya ke gawaiku. [Mba kesel liat suamimu!][Betewe, undangannya cantik banget. Thanks ya Fiza!] tulis Mba Zara lagi sambil menyematkan emoticon senyum dan love.[Iya Mba, Fiza juga suka banget liat hasilnya dipoto itu,] balasku.Kami chit-chat panjang lebar, terutama Mba Zara yang banyak mengomentari adiknya hari ini yang memang terkesan lebay. Mungkin sangking sudah tak sabar, jalur chat pribadi menjadi jalan ninja. Termasuk Mama, lebih memilih jalan-jalan ke semua
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status