All Chapters of Ternyata Kaya Raya Setelah Disia-siakan Mertua: Chapter 11 - Chapter 20
42 Chapters
Jodoh
PoV Dian. "Dian, temenin yuk. Aku mau minta uang sama Kakakku. Nanti tak tlaktir deh," ajak Shinta waktu itu. Awal pertemuanku dengan Mas Akbar. Yah... Memang sebelumnya juga sudah bolak-balik lihat sejak aku masuk di SMA.Kuturuti saja, permintaan temanku yang paling akrab. Ya... Shinta adalah teman pertamaku di sekolah ini. Sejak masuk di SMA dialah orang yang tanpa malu memintaku berteman. Bersyukur kami memilih jurusan yang sama dan satu kelas. "Mas, bagi duit dong, aku mau jajan tlaktir temanku," bisik Shinta pada sosok yang saat itu berseragam putih. Sejurus dia menatapku tapi setelahnya dia membuka dompet dan memberikan satu lembar uang ke Shinta. Sejak saat itu aku selalu menemani Shinta bertemu kakaknya, kadang aku juga ikut meronta membujuk Mas Akbar agar sekedar di beri uang jajan. "Ayo, Mas. Bagi uang buat jajan," rengekku kala itu ketika Shinta tak masuk sekolah. Seolah aku tengah meminta pada kakakku sendiri."Boleh, tapi ada syaratnya!" Aku terkejut. Segera kulepask
Read more
Pertemuan
"Dek, Ayolah pulang saja Kerumahku!" Mas Akbar masih terus membujukku. Aku yang memang sudah bulat tak lagi mengubrisnya. "Kamu mau ngontrak di mana? Ayolah... Jangan ngambek terus. Aku bingung kalau kaya gini. Di sisi lain ada ibuku dan di sisi ini ada kamu. Mengertilah, agar aku tak di buat bingung." Mas Akbar terus saja ngedumel. "Antar aku kerumah Elsa!" perintahku ketika semua sudah siap. "Ka-kamu mau ngontrak di sana?" tanya Mas Akbar kaget. Dia juga kenal dengan Elsa, pernah datang saat resepsi pernikahan. Dia sahabatku waktu SMA. Ibunya terkenal dengan seorang yang menjual jasa PSK. Mungkin Mas Akbar berfikir kalau aku akan terjerumus atau di jerumuskan oleh ibunya dalam dunia malam. Aku tak senaif itu. Hanya di sana aku bisa mengontrak rumah tanpa bayar dulu. "Iya, apa salahnya. Aku hanya mengontrak tak lebih dari itu! Kamu mau antar apa nggak?" tanyaku kemudian. Mas Akbar bergegas langsung berjalan mengambil kontak di saku dan memarkir motor."Dek!""Hemmm.... ""Pikirk
Read more
Bersama
Faza menangis histeris, aku mencoba mencari apakah ada yang terluka atau sakit. Aku sendiri merasa nyeri pada dengkul sepertinya luka terkena aspal. Beruntung aku dapat mengimbangi tubuhku hingga Faza tak sampai menyentuh tanah. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil, Faza sudah sedikit tenang. Aku mencoba memegangi lututku. "Kamu ngga papa, Dek?" tanya laki-laki yang mungkin sekitar berumur kurang dari lima puluh tahun. "Ngga papa, Om. Mungkin dia cuma ketakutan." Aku berbicara sambil melonggok mobilnya. Ada goresan di sana. Jantungku jadi berdegup kencang. Bagaimana kalau dia minta ganti rugi. Duh! Dilihatnya Faza dari atas sampai bawah, aku diam saja memperhatikannya, sambil memegangi lututku yang sakit. "Kamu terluka sepertinya," ucap laki-laki itu. "Ngga papa kok, Om. Cuma nyeri saja tadi sedikit kena aspal," jawabku. "Coba di lihat. Tuh berdarah seperti itu!" Seketika aku melihat lututku yang tertutup celana kulot warna putih. Terlihat jelas darah mengecap pada celanak
Read more
Keputusan
Aku masih berfikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang harus kulerai dari ayah? Mungkinkah Mas Akbar? Tapi tak mungkin kalau Mas Akbar bukankah pasti Dian ngomong itu. Sepanjang perjalanan aku hanya Diam tak mau bertanya takut menganggu kosentrasinya. Cukup sekitar tujuh menit aku telah sampai didepan rumah. Mobil itu? Terdengar suara kegaduhan dari dalam sana. "Enak sekali kamu! Apa minta maafmu dapat mengembalikan nyawa Resti, Hah.... " Suara Ayah dapat kudengar sampai pintu. Bukk... Bogem mentah kembali Ayah layangkan. "Ayah, sudah... Sudah, Yah!" Ibu mulai menangis. Aku yang baru saja masuk di buat bingung. Si... Siapa orang itu? Om-om yang tadi telah menolongku. "Ada apa ini, Bu?" aku berusaha bertanya pada Ibu. "Ada apa ini, Yah?" aku berusaha mendekat pada ayah walau takut.Sorot mata ayah masih tajam menatap laki-laki itu yang sudah babak belur di buatnya. Aku yang masih bingung tak dapat menemukan jawaban. Ayah dan Ibu tak mau memjawab apa yang kutanyak
Read more
Bingung
PoV Akbar"Dek, siapa temanmu yang sering sama kamu itu?" tanyaku pada Shinta saat di rumah."Yang mana, Kak?" "Itu loh yang sering ikut-ikutan kalau kamu minta uang.""Oh, Rian, Mas. Dia anak sebelah desa." Aku mengangguk anguk mengerti. Sebenarnya aku sedikit suka padanya. Dian anaknya cantik dan tak malu-malu. Terbukti ketika Shinta tak masuk sekolah karena sakit, dia tanpa ragu meminta uang layaknya Shinta. Sayang kalau aku pacaran sama dia itu artinya aku tak dapat serius dengannya. Padahal usiaku sudah mapan dan ingin segera menikah. "Kenapa, Mas? Mas naksir sama dia?" tanya Shinta membuat aku yang tengah melamun tersadar dan tersenyum. "Ngga tau nih, Dek." aku garuk kepala yang tak gatal. Ternyata Shinta justru mendukungku. Dia sangat setuju kalau aku pacaran sama Dian. Pikirnya pasti asik punya temen sekaligus pacar Kakaknya. Akhirnya kutembak Dian. Kami pun jadian, kulihat mereka makin dekat bagai kakak dan adik. Cuma ya itu, anak masih labil kadang lebih egois. Ngga ma
Read more
Kembali
"Indah!" panggil Ayah ketika aku di dalam tengah bermain dengan Faza, setelah tadi aku berkata dan masuk kedalam. "Ya, Yah. " Aku keluar dengan mengendong Faza. "Kamu siap-siap, nanti sore kita akan ikut dengan Beni kekota!" ucap Ayah membuat mataku membulat. 'Oh, jadi dia namanya Beni, orang yang mengaku Ayah biologisku!' gumamku dalam hati. "Untuk apa, Yah, kita kekota?" tanyaku penasaran. "Ikut saja," jawab Ayah santai. "Terus siapa saja? Cuma aku dan... " tanyaku tak mampu menyebutnya Ayah dan memanggil namanya juga segan. "Akan Ayah temani!" Seketika Ayah menjawab. "Aku ikut ya, Yah? " tiba-tiba Dian menyela. Ayah menatap sekilas. "Aku juga ingin kekota, Yah, Pliss!" bujuk Dian. "Iya, nanti kita mampir kerumah Mbak Rian juga. Kebetulan searah." Ayah berkata santai. Aku masih enggan untuk bertanya lebih lanjut. Kulihat sekarang ayah sudah berdamai dengan Beni. Tak ada lagi kemarahan di matanya. Sesekali mengobrol tentang bisnis yang saya sendiri tak mengetahuinya. "Ind
Read more
Bertamu
"Bagai istana, Mbak rumahnya. Lihatlah lukisan guci dan sofa semua yang kelas atas. Dian tahu karena sering lihat di internet semua furniture ini." Cerocos Dian sambil sesekali memegang Guci dan mengelus sofa. "Kalau kalian mau istirahat, itu kamarnya." Beni menunjuk beberapa kamar yang ada di ruangan depan. Mungkin itu kamar tamu. Jumplahnya tak hanya satu ada sekitar empat pintu.Aku yang memang sudah capek menggendong Faza segera berjalan menuju kamar yang di tunjuk. "Eh, Indah. Kamarmu tidak di situ. Mari ikut Ayah keatas." laki-laki bernama Beni itu berhasil menghentikan langkahku. "Tapi, Pak! Biarkan aku satu kamar saja dengan Dian," jawabku dengan sedikit segan. "Indah... Rumah ini nantinya akan jadi milikmu, masa pemilik rumah tidur di kamar tamu. Kalau kamu merasa takut sendirian ajak Dian kekamar atas."Seketika Dian membesarkan mata dan mengangguk setuju. Aku tak dapat lagi menolak. Pak Beni memanggil ART-nya untuk mengantar kami kekamar atas. Aku baru bisa memanggil Pa
Read more
Persetujuan
"Oh, Maaf, Mbak. Saya tidak tahu," jawab pemuda itu dengan sopan. "Mari ikut saya ke resto itu. Pak Beni dan Pak Bowo sudah menunggu."Kami segera mengikuti kemana pemuda itu melangkah, menuju sebuah rumah besar tapi dengan ruangan lebar hanya ada kursi dan meja. Di jauh belakang sana seperti bale kecil dengan nuansa jawa layaknya joglo. "Nduk, Sini! Kemana aja kalian. Jangan jauh-jauh tanpa ada yang memberi arahan takut tersesat." Pak Beni berkata. Aku hanya mengangguk. Dianlah yang mengatakan kalau kita memang sudah tersesat jauh. Beruntung secepatnya bertemu dengan Asisten Pak Beni. Pak Beni tertawa, mendengar cerita Dian yang bercerita dengan nada kesal dan memanyunkan bibirnya. "Oh, Ya perkenalkan ini Santo. Orang kepercayaan Ayah." Pak Beni memperkenalkan pemuda tadi. Dia mengelurkan tangan. "Indah." "Dian!" Masih bermuka jutek si Dian padanya. Pemuda itu tersenyum, "Santo."Akhirnya kami pun duduk dan menikmati minuman hanyat. Satu poci kecil terbuat dari tanah liat da
Read more
Bagaimana nantinya
"Apaan si, Mbak!" Dian melempar bantal padaku yang tengah rebahan. Kutangkis dengan satu tangan takut kena pada Faza dan akhirnya bangun. Dian membanting badanya sendiri pada tempat tidur, aku kaget dan kesal karena tingkah Dian membuat Faza kembali terbangun karena getaran di atas kasur. "Ih! Apa-apaan si kamu, Yan," dengusku kesal. Dia tak mendengarkan kata-kataku justru asik menatap keatas langit-langit. "Masa sih, aku jatuh cinta sama si Santo itu?" gerutunya. Aku malah mengkerutkan kening. Ternyata ucapanku di anggap serius. "Dia memang perjaka, belum menikah di umurnya yang sudah tiga puluh tahun." Lagi Dian mengedumel sendiri. Aku justru kaget mendengar semua penuturannya. "Dia tinggal bersama ibunya dengan sebuah rumah yang ia bangun sendiri dari hasil kerja bersama Om Beni." Wah! Sedetail itu Dian sudah tahu tentang Santo. Aku sendiri tak tahu menahu tentang Santo sejauh itu. "Kamu tahu Santo sudah sejauh itu?" aku mengeser tubuhku menatap Dian yang berada di samping
Read more
Sifat Asli
PoV MertuaNamaku Anti, ibu dari tiga orang anak. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu. Untuk menyambung hidup aku putuskan untuk berjualan aneka makanan dan jajanan yang kujajakan keliling. Beruntung Anak pertamaku laki-laki dan sudah bekerja sebagai Satpam di sebuah sekolah Menengah Atas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku ingin dia tak segera menikah, karena masih ada dua adiknya Shinta dan Dea yang masing-masing baru menginjak SMA dan SMP. Namun namanya lajang tak aku tentang ketika dia berpacaran dengan anak seumuran adiknya, teman satu kelas Shinta. Namanya Dian. "Bu, Mas Akbar sudah jadian sama temanku loh," Shinta mengadu padaku. "Iya? Anak mana?" tanyaku penasaran. "Itu loh, Bu, yang pernah aku ajak main kesini." Aku berusaha mengingat ingat teman Shinta yang pernah kesini. Memang beberapa kali Shinta pulang membawa temannya. "Yang namanya Dian, Bu!""Oh, yang sering main kesini itu, teman karibmu itu, Kok bisa?" "Ya ngga tahu, jadiannya aja pas aku ngga
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status