All Chapters of Ternyata Kaya Raya Setelah Disia-siakan Mertua: Chapter 21 - Chapter 30
42 Chapters
Batal
"Iya, Bu. Alhamdulillah kabar kami baik-baik saja, ada apa ya, Bu?" tanyaku penasaran kenapa tiba-tiba Ibu Mertua menelfon."Ngga boleh ya, tanya kabar menantu sama cucuku." Ibu mertua berkata seolah begitu perhatian padaku. "Ee... Boleh saja si, Bu. Cuma tak kira tadi mau minta persyaratan untuk mengajukan gugatan cerai." Kulirik Santo. Kulihat dia sedikit terkejut. "Mas Akbar sudah WA dari kemarin tapi memang belum sempat kubalas. Kesibukanku menyita banyak waktu, Bu. Bilangkan pada Mas Akbar ya untuk bersabar." "Eh, Anu... Ndah! Apa sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang perceraian ini. Kasian Faza loh kalau sekecil itu sudah jadi korban orang tuanya bercerai." Kata-kata Ibu mertua membuat aku kaget. Bukankah perceraian ini dia sendiri yang menginginkan. Bahkan sebelum-sebelumnya juga tak semanis ini. "Maaf, Bu. Kemarin Akbar bilang perceraian ini permintaan ibu. Jadi kenapa sekarang... ""Sudah, sudah ya, Ndah. Nanti aku bicarakan dengan Akbar. Biar batalkan saja gugatan cerainy
Read more
Tentang dulu
Aku terperanjat kaget, masih tak percaya apa yang baru kudengar. Bagaimana ini? Aku sama sekali tak ada pikiran jauh kesitu. Memang niatku untuk bercerai dengan Mas Akbar sudah mantap, tapi bukan berarti langsung mencari pengganti. Aku ingin membesarkan Faza terlebih dahulu. Entah nanti dapat jodoh lagi atau memilih untuk hidup sengan Faza saja semua aku pasrahkan pada yang maha kuasa. Pak Beni menatapku, seolah menunggu jawaban atas diriku. Tak terkecuali Ibu Santo yang juga seolah menanti aku untuk menjawab. Aku menggeleng cepat, rasanya ini terlalu mendadak. Jika tahu seperti ini saja mending tadi di rumah saja bersama Faza. "A-aku tidak pantas dengan Santo, dia terlalu baik. Sebaiknya carilah wanita yang sepadan dengan Santo. Permisi!" aku pamit keluar rumah. Ada rasa yang tak menentu di dalam hati ini. Pak Beni ikut keluar, mengejarku tanpa menghentikan langkahku. "Kita pulang saja, Nduk?" tanyanya kemudian ketika aku berada di samping mobil. "Iya, Pak," jawabku dingin tan
Read more
Sakit
Aku pulang kerumah dengan badan yang masih tak karuan, bahkan sempat di papah Santo karena jalanku yang sempoyongan. Rasanya kepalaku pusing tujuh keliling. Badan sakit semua dan perut yang melilit. "Kenapa dengan Indah?" tanya Pak Beni ketika melihat aku yang jalan di papah oleh Santo. "Dia sakit, Pak. Tapi tak mau di bawa ke Dokter." Santo menjelaskan. Memang aku tak mau ke Dokter karena aku rasa sakitku ini hanya karena sakit Maag yang kambuh. "Ngga papa, Pak. Cuma biasa sakit lambungku kambuh, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat." Kujelaskan pada Pak Beni agar dia juga tak terlalu khawatir. Sepertinya dia akan menyanggah tapi aku buru-buru masuk kekamar. Santo hanya mengantarku sampai pintu kedalamnya Pak Beni lah yang mengantar. Bik Siti datang membawa obat yang tadi kuminta, kuminum dan setelahnya aku segera merebahkan diri. "Besok kalau belum membaik akan Ayah antar kedokter. Sekarang istirahatlah!" ucap Pak Beni yang kujawab hanya dengan anggukan. Kupejamkan mata
Read more
Rapat
"Oh ya, Pak. Perkenalkan, dia Ayahnya Faza," ucapku kemudian yang melihat Pak Beni seolah bingung. "Oh, Ya. Beni, Ayah Indah." Senyum mengembang dari Pak Beni sambil mengulurkan tangan. "Akbar." Mas Akbar pun menjabat tangan Pak Beni. "Bagaimana kabar keluarga di kampung?" Kembali Pak Beni bertanya. "Alhamdulillah baik, Pak." Mas Akbar menjawab dengan segan. Pak Beni tersenyum, "Alhamdulillah.... ""Santo ikut aku!" perintah Pak Beni langsung di anggukan Santo. "Aku tinggal dulu ya, jaga Indah baik-baik!" Pak Beni keluar di ikuti oleh Santo. Kulihat Santo menatap Mas Akbar dengan raut tak suka. Sejurus kemudian hening, aku enggan untuk membuka percakapan terlebih dahulu dengan Mas Akbar. "Kapan kamu pulang?" tanya Mas Akbar memecah kesunyian. "Pulang?" tanyaku heran, "Oh... Nanti mungkin sidang terakhir perceraian kita, aku pulang sekalian mengambil akta cerai. Raut wajah Mas Akbar terlihat kaget, dia seolah baru saja mendengar berita duka yang tiba-tiba. "Cerai, Dek? A-aku
Read more
Nekad
"Mas Akbar bilang ingin mati saja, Mbak. A-aku takut dia nekad bunuh diri!" akhirnya Dian dengan jelas berkata. Aku tak kaget, paling itu cuma gertakan saja, agar aku tak menunutnya bercerai, juga mengetesku masih seberapa pedulinya aku padanya. "Dian, Dian! Dia itu laki-laki. Masa punya pikiran senekad itu. Jadi perempuan saja kalau kaya gitu!" jawabku masih cuek. Dian sudah tenang, tak sepanik tadi. Mungkin pikirnya aku akan ikut panik kalau dengar Mas Akbar akan bunuh diri. Ngapain aku peduli sama dia? Kalau memang laki-laki tak mungkin hanya karena bercerai memilih mengakhiri hidupnya, lagian bukankah dari awal saja dia tak mencintaimu. "Sana rayu kamu, Yan. Siapa tahu mau nurut!" ucapku memerintah pada Dian. Dian terlihat kaget. "Kok aku, Mbak!" "Lah emang siapa lagi? Mbak? Yang ada nanti di kira mau kabur dari rumah sakit." kujewel pipi cubby-nya. "Aduh, sakit tau, Mbak. Tapi bener juga, masa laki-laki secengeng itu. Udahlah, biarkan saja aku juga males." Akhirnya Dian ik
Read more
Duel
Aku lari tergoboh-goboh, kulihat Mas Akbar tengah berduel dengan Santo."Semua gara-gara kamu!""Kamu yang telah merebut istriku! Dasar pebinor!"Bukk! Santo benar-benar tak melawan sedangkan Pak Beni saja bingung untuk melerai, Dian dan Rian serta Ibu hanya dapat menjerit-jerit. "Hentikan...!" teriakku lantang. Seketika Mas Akbar menoleh. Juga Santo yang langsung berdiri walau terhuyung. "Apa yang kalian lakukan! Apa Mas yang kamu perbuat! Sepengecut inikah kamu hingga berbuat serendah itu? Hanya karena aku bersikukuh tak mau kembali padamu, kamu anggap aku sudah dapat tambatan hati yang lain!" Kali ini mataku memanas, butiran bening dalam telaga mataku luber memenuhi pipiku. "Aku memang hanya manusia biasa, bisa sakit hati ketika di perlakukan tidak adil padaku! Masih teringat jelas bagaimana ibumu memperlakukanku dengan hina, bahkan di depan semua orang! Semua itu kuterima karena kamu masih mau bersamaku tapi.... " Aku menangis tersedu-sedu hingga menghentikan ucapanku. Ibu men
Read more
Gurauan
Aku masih duduk menanti kedatangan Bu Anti, Faza sedikit rewel mungkin karena kuajak duduk. Memang sekarang Faza sedang aktif-aktifnya minta di titah. Terpaksa kuturunkan dia dan menitahnya berjalan di sekitar situ. "Eh... Indah, apa kabar?" terlihat raut sumpringah Bu Anti langsung mendekat. "Faza, Cucu ibu, sudah besar sekarang. Sini, Nenek gendong!" Tangan Bu Anti berusaha meraih Faza tapi seketika Faza langsung berontak berbalik. Seolah tak ingin di sentuh oleh Neneknya. "Baik, Bu. Gimana kabar Ibu?" tanyaku basa-basi. Bu Anti tetap memaksa akan mengendong Faza tapi sia-sia justru Faza memilih menangis. Bukankah dulu saja tak pernah mau mengendong cucunya ketika masih serumah? Mungkin itulah yang membuat Faza tak mau digendong sekarang. Tak ada ikatan yang terjalin sejak kecil hingga Faza peka. "Kenapa? Ngga kenal ya sama Nenek?" tanyanya kemudian, "udah enak tinggal di kota jadi ngga inget sama Nenek."Aku tersenyum menanggapi ucapan Bu Anti, "Bukan karena hidup di kota, Bu.
Read more
Memikirkan lagi
"Tunggu, Ndah! Aku mau bicara!" ucap Mas Akbar tepat di depan mobil. Mungkin dia pikir aku akan menolak dan menyuruh supir untuk melajukan mobilnya. Kuturunkan kata mobil berlahan, Mas Akbar beringsung menuju sebelah mobil di mana aku duduk. "Ada apa lagi, Mas?" tanyaku. "Tolong, Ndah. Pikirkan lagi! Kalau kita bercerai Faza bagaimana. Aku ayahnya, aku berhak menentukan kehidupannnya!" ucapan Mas Akbar membuat aku geram. "Tapi aku juga berhak hidup bahagia, Mas!" cetusku lagi. "Dengan mengorbankan kebahagian Faza!" potong Mas Akbar. Sekilas kutatap bocah yang tengah aku pangku. Wajah lugunya terulas senyum kepolosan. Bukan aku egois, tapi mungkin justru ini jalan yang terbaik bagi kita! Aku yakin Faza akan mengerti semua ini suatu saat nanti. "Aku yakin Faza bisa bahagia walau tanpa ayah! Suatu saat dia akan mengerti apa langkah yang kuambil hari ini adalah keputusan terbaik. Selamat tinggal." Aku segera menutup kaca mobil. Setelah setengah aku hentikan kembali."Kamu masih bis
Read more
Kejadian tak terduga
"Aduh! Bagaimana ini?" dengusku kesal. Bagaimana aku bisa keluar dengan kondisi gamis yang sobek sampai atas. Aku masih terus mencari, berharap menemukan seseorang yang kukena dan kumintai pertolongan. Laki-laki itu juga masih terlihat geligapan, mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk menutupi robekan gamisku ini. "Sebaiknya saya belikan dulu kamu baju di sebrang sana," ucapnya."Tak usah, biar aku pulang saja." Kurogoh tas kecilku, mengambil HP yang tersimpan dan langsung menghubungi Ayah Beni. Tersambung, tapi sialnya tak jua di angkat. Mungkin dering di HPnya tek terdengar oleh riuh suasana pesta ini, atau justru sengaja di silent. Aku terus mencoba tapi tetap saja tak diangkat. "Apa sebaiknya saya antar, Mbak?" Dia menawarkan diri. Sebenarnya aku ragu, tapi aku tak mungkin menunggu sampai acara usai dengan kondisi seperti ini. "Di mana rumahmu?" tanyanya kemudian yang melihatku masih bergeming. Kusebut saja alamat rumahku, dia mengangguk mengerti. "Ayukk... Ak
Read more
Menunggu
"Tapi, Pak... " Aku berusaha menolak."Udah, Ngga papa. Pak Beni itu orangnya baik. Pasti dengan senang hati mengijinkan. Apalagi, saya ajak kamu sebagai ucapan terima kasih karena saya sangat kagum akan presentase kamu yang sangat mudah di mengerti." ucap Riki. Sekilas aku dan Ayah Beni saling tatap. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Ah! Sebenarnya aku ingin menolak, tak enak hati pada Ayah. Dia pasti curiga kalau aku sudah memiliki hubungan khusus makanya aku menyuruhnya untuk berbohong tentang siapa aku. "Silahkan duduk!" Riki menarik satu kursi untuk kududuki. Dia seolah memperlakukanku layaknya kekasihnya. Aku sangat segan. Kami memesan beberapa makanan, entah kebetulan atau memang selera kita sama. Kita memesan makanan dan minuman yang sama, sampai akhirnya kita tersenyum bersama karena menyebutkan bebarengan. "Kamu sangat profesional dalam bidang itu, berapa lama kamu bekerja?" tanya Riki."Baru sekitar empat bulan," jawabku jujur. "Empat bulan? Pasti pengalaman kamu ba
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status