All Chapters of Janji Setia : Chapter 71 - Chapter 80
157 Chapters
Partner Ghibah
Kelas yang terlambat karena kesalahan Dayyan digeser jam pulangnya. Nuwa menarik napas panjang, dia kira nanti akan pulang seperti biasa. Padahal wantia bermata besar dan bulat itu ingin belanja kebutuhan dapur yang hancur tercerai berai di lantai. “Yang terlambat dia, kita disuruh menanggungnya,” gumam wanita Suku Mui itu perlahan. “Ada yang tidak senang?” tanya Dayyan. “La, Syeikh, laaa,” jawab semuanya termasuk Nuwa. Killer memang Dayyan, tapi demi siswi di dalam kelas cepat bisa bahasa Arab, terutama Nuwa yang perkembangannya agak lambat. Dayyan meminta semua membuka buku dan mencari halaman selanjutnya. Ada sebuah cerita yang cukup panjang dengan tingkat kesulitan yang mampu mengasah kemampuan berbahasa jadi lebih baik. “Karena sulit, silakan bentuk kelompok sendiri, satu kelompok empat orang, kerjakan dengan tenang, jangan ada ghibah atau dihukum. Mengerti sampai di sini, ukhti-ukhti semuanya?” tanya Dayyan dari mejanya. “Na’am, Syeikh,” jawab semuanya serempak seperti an
Read more
Xie Xie
“Masak?” Nuwa tak sadar. “Coba kau ucapkan, ulang lagi sendirian.” Padma ikut-ikutan. “Xie xie, Syeikh, xie xie, Syeikh, xie xie Syeikh.” Begitu terus diulang-ulang oleh Nuwa sampai tiga temannya ikutan tertawa. Kelompok paling ribut di antara yang lain. “Kerjakan dengan tenang di meja atau berdiri di depan kelas!” teguran datang lagi dari Dayyan. “Kerjakan dengan tenang, Syeikh, afwan.” Fani minta maaf. Jangan harap Nuwa mau melakukannya. Suasana kelas kembali hening seperti semula. Dayyan bisa fokus membaca berita. Tik tok tik tok tik tok, hanya suara detak arloji yang terdengar di dalam kelas. Dayyan izin keluar sebentar karena harus menelepon seseorang. Pesannya kerjakan dengan baik dan benar atau jam belajar akan dikali dua, tugas dikali tiga. “Akhirnya dia keluar juga.” Wanita bermata besar itu mengembuskan napas lega. Waktu terasa lama berjalan padahal perutnya sudah lapar lagi. “Nuwa, kau benar menonton film India?” Pertanyaan Anjali tadi yang tertunda. “Hmm, daripada
Read more
Fitnah
Sultan—penjinak bom senior itu merasa khawatir mengapa Naima dan Rizki belum juga pulang. Padahal sebentar lagi sudah memasuki jam haram berada di luar bagi wanita dan anak-anak. Kata istrinya tadi hanya sebentar keluar mencari barang yang dibutuhan. Ternyata sebentar itu memakan waktu setengah jam lebih juga. Ingin mencari tapi ada tiga anak lain pula yang harus dijaga Sultan di rumah. Lelaki yang menggunakan alat bantu dengar itu sudah mengirim pesan, tapi tidak ada yang membalas.“Ke mana perginya ibu dan anak ini?” Sultan melirik jam di dinding, sepuluh menit lagi jam malam dan patroli akan dimulai. Naima membeli banyak barang untuk kebutuhan selama satu minggu. Dia tahu perintah jam malam sangat serius, hingga untuk ke depannya tak mau sering-sering ke luar rumah. Namun, ia kalap dalam berbelanja dan kesulitan membawa barang. Untungnya, Rizki sudah jauh lebih kuat fisiknya sejak ditempa habis-habisan oleh gurunya. “Ibu biar aku saja yang bawa.” Sultan mengambil belanjaan Naima
Read more
Kembaran
Sebelum masuk ke rumahnya. Wanita Suku Mui itu membereskan perlengkapan latihan yang ditinggalkan begitu saja. Tali temali yang diikat batu sebagai beban. Sudah dua minggu berlatih dengan senjata yang sama, ketiga muridnya ada perkembangan walau tidak secepat dirinya.Nuwa masuk ke dalam rumah ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Maira dan dia angkat langsung. Guru wing chun itu mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Maira. “Tidak, aku dari siang sampai malam ini di rumah saja tidak ada ke mana-mana. Jam malam juga berlaku, bukan? Aku patuh pada peraturan,” jawab Nuwa pada pertanyaan Maira di ponsel. “Ya, tidak mungkin juga aku menyerang Rizki tanpa alasan. Sudah cukup letih anak itu berlatih di sini. Kalau aku menantang orang, aku akan lakukan secara terbuka di depan umum, dan tidak sembunyi-sembunyi seperti pengecut.” Nuwa membela dirinya. Beberapa menit kemudian panggilan ditutup. “Sepertinya drama dimulai lagi. Aku harus latihan lebih keras, siapa tahu bertemu musuh
Read more
Serupa
“Fitnah lebih keji daripada pembunuhan. Cih, lucu sekali orang-orang ini. Padahal kalau dibunuh juga mereka akan minta ampun,” ucap Lili di salah satu rumah orang yang ia sandera. Di sana adik Xia He tinggal bersama dua bawahannya yang lain. Sisanya menyebar ke rumah-rumah warga. Bel rumah itu berbunyi, salah satu bawahan Lili mengintip dari gorden. Datang dua petugas polisi dan tentara lelaki serta perempuan datang melakukan pemeriksaan harian. “Nona, ada pemeriksaan,” ucap mata-mata Lili. “Sialan, pemeriksaan terus. Hei, kau, bangun!” Lili menodong pemilik rumah dengan pistol miliknya. Ibu dua anak itu ketakutan sudah kedatangan tamu yang memilih tinggal di rumahnya selama dua minggu. “Jangan buka mulut atau anakmu aku dor sampati mati, paham!” ancam Lili, dan wanita itu hanya mengangguk saja. Ia keluar rumah menyambut polisi dan tentara yang datang. Sebisa mungkin wanita itu mencegah mereka masuk, sebab dua anaknya yang sedang tidur diawasi oleh Lili. “Ibu benar tidak apa-apa
Read more
Tahanan Rumah
“Tuan hakim, barusan suamiku mendapat telepon kalau penyerang yang dianggap sebagai Nuwa melakukan aksinya di tempat lain. Ini bisa menjadi bukti kalau dia tidak bersalah.” “Nyonya Maira yang terhormat. Sampai penjahat itu dibawa kemari baru bisa dinyatakan kalau dia tidak bersalah.” “Tuan jangan lupa juga kami membawa banyak saksi sebagai penguat. Tidak bisa diabaikan atau Tuan akan menjadi hakim yang tidak adil,” sanggah Maira. “Iya, tentu akan kami tanyakan satu demi satu,” ujar satu dari tiga hakim di kursi mereka. Mulai dari petugas penjaga di dekat rumah Nuwa hadir sebagai saksi dan ditanyakan. “Jadi selama ini rumahku diawasi?” Nuwa baru tahu. Berlanjut pada saksi-saksi lain, teman-teman Nuwa yang ujian tadi dengannya. “Tapi setelah ujian tadi kau masih tinggal di kelas satu jam bukan, dan teman-temanmu sudah pulang. Satu jam itu cukup untuk berbuat onar, Ukhti Nuwa.” Hakim masih belum berani mengambil keputusan. “Ada saksinya aku di kelas,” balas Nuwa. Ia sebenarnya sud
Read more
Hamparan Pasir
Yang pertama kali dilakukan Dayyan ketika sampai ke rumah yaitu, menelepon salah satu kenalannya. Ia meminta temannya datang ke rumah dan membawa lagi jenis-jenis senjata sesuai yang ia butuhkan. Sore itu Bhani tidak latihan, jadi anak lelaki Dayyan bisa memperhatikan dengan baik ragam senjata yang dibawa oleh teman ayahnya. “Ini untuk apa, Ayah?” tanya Bhani. “Untuk menembak dari jarak jauh,” jawab Dayyan ketika anaknya melihat senapan laras panjang khusus untuk sniper. Lelaki bermata abu-abu itu dulunya penembak jitu sebelum diangkat menjadi kapten dan sampai sekarang kemampuannya tidak memudar. “Jangan asal pegang, nanti pelatuknya bisa tertarik!” tegur teman Dayyan pada Bhani. Sepertinya anak itu sudah memiliki ketertarikan sejak dini. Bagaimana tidak, darah militer mengalir deras pada dirinya. Ditambah telah mendapat latihan yang keras oleh Nuwa hingga tak cengeng lagi. “Bhani, kau temani adikmu dulu. Saat umurmu sudah cukup akan Ayah ajarkan semua benda-benda ini. Sekarang
Read more
Asap Beracun
Dayyan sampai tak jauh dari rumah Nuwa yang kecil. Lelaki itu mengintai menggunakan senapan khsus sniper. Terlihat Nuwa berdiri di sisi kudanya sembari memegeng ponsel. Lalu dengan mata abu-abunya ia melihat tiga lapis petugas militer mulai meninggalkan tempat mereka berjaga.“Apa yang terjadi? Rasanya aku meninggalkan tempat ini baru beberapa jam saja?” tanya Dayyan pada mantan anak buahnya yang masih setia menunggu di sana. “Bom di beberapa titik vital, kereta cepat, masjid, rumah sakit, gedung pemerintah. Semua yang memakai seragam diminta bergerak. Termasuk aku, Kapten,” jawab bawahan tersebut. “Pergilah, aku akan di sini, dan dia tadi tidak ada bertemu dengan orang lain?” Yang dimaksud Dayyan adalah Nuwa. “Tidak ada, tapi aneh, dia dari tadi mematung memandang hamparan pasir, seperti sedang menunggu orang datang.” Setelah menjawab demikian bawahan Dayyan pergi. Tinggallah lelaki itu sendirian. Ayah Bhani masih mengawasi menggunakan teropong. Terlihat Nuwa keluar menggunakan
Read more
Pion Catur
Maira dan Fahmi mengintai rumah warga yang ia curigai sebagai sarang mata-mata Xin Hua. Menurut laporan salah satu bawahan mereka, bahwa ibu di dalam rumah itu berbelanja dalam jumlah yang banyak setiap hari. Padahal di dalamnya hanya tinggal tiga orang saja. “Pakai rompi anti peluru, cepat!” ucap Fahmi pada Maira. Wanita bermata biru itu tidak bisa diberi tahu untuk diam saja di dalam mobil, sama seperti dulu.“Sudah, puas?” tanya Maira kembali pada suaminya. Ibu Farhan memang kerap kali mengabaikan keselamatan diri sendiri ketika menangkap musuh. Fahmi mengambil alat komunikasi di mobilnya. Ia meminta yang lain menyebar dengan baik agar jangan sampai ada yang lolos satu pun sebab kejahatan mereka sudah di luar batas. “Ayo, kita mendekat.” Maira mengikat cadarnya lebih ketat, meski usianya 35 tahun sudah ia masih cekatan bergerak. “Aku duluan, kau di belakang.” Fahmi menarik tangan istrinya, hingga kalau ada apa-apa dia yang akan merasakannya lebih dulu. Ayah Farhan mengetuk pin
Read more
Tak Tahu Balas Budi
Liandi datang memasuki halaman rumah Nuwa. Rizki dipanggil oleh gadis itu. Liandi menantang anak Sultan untuk duel seperti waktu lalu. Merasa sedang diajar oleh guru mereka tentu saja Rizki memenuhi ajakan tersebut. Sayangnya perkelahian berlangsung terlalu keras. “Kenapa Nuwa jadi barbar begitu?” Dayyan mengintip dari kaca senapannya. Lalu ia teringat bukankah tadi Nuwa pergi membawa kuda dan mana kudanya? “Gawat! Tipuan lagi.” Lekas saja lelaki bermata abu-abu itu menarik pelatuk ia membidik sasaran tapi tak pernah tepat sebab posisi selalu berganti-ganti atara Rizki dan Nuwa palsu. Dor! Dayyan menembakkan tembakan peringatan. Pertarungan terjeda sejenak. Rizki berhasil lepas, Farhan yang menolongnya. “Kau bukan guru kami,” ucap Farhan yang mengenal pergerakan Nuwa. “Memang. Aku kembarannya.” Liandi mengeluarkan belati. Dia mengejar anak-anak itu. Untung Nuwa sudah membekali ketiganya ilmu yang cukup. Farhan membawa Bhani berlari. Berulang kali tembakan peringatan dilepaskan o
Read more
PREV
1
...
678910
...
16
DMCA.com Protection Status