All Chapters of Nafkah yang Keliru: Chapter 51 - Chapter 60
107 Chapters
Bab 51
“Aku tetap mau coba! Aku yakin bunda enggak mungkin secuek itu. Bunda aja masih mau menyiapkan makanan buat Ayah, walaupun ayah sama sekali enggak mau makan masakan bunda.”“Ayah bukannya enggak mau makan. Emang sibuk aja.”“Kita tuh udah dari dulu tinggal sama-sama. Sejak kapan jadwal kerja ayah jadi maju 1jam, kalau lembur aku masih bisa maklum. Ini kenapa tiba-tiba maju 1 jam dari biasanya. Kayak enggak mungkin banget.”Biasanya aku memang berangkat pukul 7 pagi, tetapi beberapa hari terakhir aku sudah keluar rumah sejak pukul 6 pagi.“Yang bilang kerjanya maju 1 jam siapa? Ayah emang pengen berangkat pagi aja.”“Alasannya apa? Jangan bilang buat menghindar dari bunda?”“Ayah mau latihan fisik buat pertandingan nanti. Ya, lari-lari kecil lumayan buat meningkatkan stamina. Biar enggak mudah capek.”Aku&
Read more
Bab 52
Saat itu aku memilih untuk meninggalkan percakapan dengan Lara. Bukan untuk pergi tidur melainkan pergi ke ruangan olahraga. Berada dalam jarak yang sedekat itu dengan Lara, benar-benar menyiksa. Setidaknya aku harus berolahraga sebentar demi mengalihkan perasaan yang tiba-tiba bergejolak tak terkendali.Lara sepertinya masih memperhatikanku sampai ke halaman belakang. Namun, bedanya ia tak lagi bertanya banyak hal. Mungkin sungkan atau entah. Aku hanya ingin membuatnya mengerti jika kebaikannya yang seperti ini hanya akan membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. Dia diam saja aku tidak sanggup melepaskan, apa lagi ia yang ia yang tiba-tiba menjadi begitu perhatian.Pukul 3 pagi aku baru selesai berolahraga. Entah mungkin karena saking lelahnya aku malah tak sengaja terlelap di matras. Sampai-sampai kalau Musa tidak membangunkan, hampir saja aku terlewat untuk menunaikan salat subuh.“Kok tidur di bawah, Yah? Nanti masuk angin loh. Mana badan udah cape
Read more
Bab 53
“Akang sengaja mau memanfaatkan hal itu demi mendapatkan hak asuh mereka?”“Buat apa juga Akang melakukan itu? Akang cuma belajar dari beberapa kasus perpisahan. Enggak peduli jika anak itu masih bayi atau sudah besar, jika mereka tahu kamu masih ketergantungan obat penenang mereka enggak akan menjatuhkan hak asuh sama kamu. Sekali pun Hafsah. Mereka akan menganggap kamu enggak akan mampu merawat anak-anak dengan baik, karena kesehatan kamu yang enggak stabil. Pikirkan itu baik-baik!”“Kalau enggak ada yang kasih tahu harusnya aman ‘kan?”“Tetap aja Ra, semua ada prosedur dan pertimbangan yang matang untuk memberikan hak asuh itu jatuh ke tangan ayah atau ibunya.”“Tolong kasih aku waktu.”“Sayangnya kita udah enggak punya banyak waktu. Kamu mungkin lebih mengerti jika kesehatan psikis jauh lebih sulit untuk disembuhkan. Akang tunggu keputusan kamu nanti malam.”&l
Read more
Bab 54
“Akang bawa motornya bakal pelan-pelan kok. Kamu tenang aja! Ayo naik! Kenapa kamu diem aja!” pintaku. Kami sudah berada di parkiran bukannya langsung sat set Lara malah menatapku sambil terkekeh. “Hm iya Kang, tapi kayaknya itu Hafsah aku aja yang gendong. Masa Akang mau nyetir sambil gendong bayi?” “Oh, iya. Astaghfirrullah Akang lupa. Ini kamu yang bawa.” Saking semangatnya pulang, aku bahkan hampir saja mengabaikan keselamatan anakku sendiri. Sepanjang perjalanan kami bahkan nyaris tak bicara apa pun. Sampai kemudian kami melewati jalanan yang lumayan rusak parah mau tidak mau meski sudah sangat pelan, tetap saja tubuh Lara ikut terguncang. Saat itu aku baru saja ingin memberi peringatan pada Lara, sampai kemudian aku merasakan tangan Lara sudah melingkar di pundakku. Bahkan aku bisa merasakan pelukannya menjadi semakin kencang seiring dengan jalanan yang rusak parah. Ah, ternyata ada berkahnya juga jalanan rusak. Aku
Read more
Bab 55
Padahal kemarin saat di Garut juga sudah seranjang, tetapi kali ini tetap berbeda. Lara yang minta sendiri. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, tak ada yang terjadi pada kami berdua. Aku pikir Lara akan..., ah sudahlah. Kalau begini ceritanya alamat gagal dilecehkan. “Lara!” “Akang!” Ah, kami malah memanggil secara serempak. Memang kalau jodoh mau diterpa ujian sekeras badai atau halilintar tetap saja akan balik lagi. “Akang duluan aja!” “Hm kamu belum tidur?” tanyaku sembari membalikkan tubuh ke arahnya. Di tengah-tengah kami ada Hafsah. Anak itu bahkan begitu tenang ketika kedua orang tuanya tidur bersama. Beda sekali dengan saat kami belum tidur seranjang. Anak pintar. “Belum,” kata Lara yang juga berbalik ke arahku. “Enggak ngantukkah?” “Iya, mendadak hilang ngantuknya.” “Bagaimana kalau kita ngobrol aja.” “Boleh ngomong sama kamu.” “Bilang aja kali, Kang.” “Soal nama kamu.
Read more
Bab 56
“Buru-buru amat makannya Kang, mau ke mana sih?” tanya Zila.“Biasalah, ada temen yang ngajak ketemu.”“Siapa?”“Cowok.”“Oh.”“Musa lihat! Bunda kamu cemburu.”“Apa sih Akang, siapa yang cemburu. Wajah ‘kan tanya-tanya.”“Enggak wajar Bun, kecuali cemburu,” ucap Musa sambil terkekeh pelan.Anak itu memang bisa diandalkan, kalau begini tidak jadi kuhajar.“Kok malah jadi bela Ayah.”Saat itu aku tahu Zila kesal. Namun, ia juga tidak mampu mengelak tentang apa yang terjadi di dalam hatinya.“Cemburu itu tandanya, Sayang ‘kan?” tanyaku.“Khawatir aja.”“Khawatirin apa orang segede Akang enggak akan ada yang nyulik. Dagingnya juga udah enggak enak.”“Takut Akang diajak tanding lagi. Temen yang ngajak ketemuan pasti anak taekwondo
Read more
Bab 57
“Aku enggak mancing kok.” “Ini maksudnya apa bawa susu kambing?” “Ya ‘kan emang Akang suka susu.” “Enggak ah, biasanya juga Akang suka susu. Makanya aku inisiatif beli aja.” “Ya, tapi ‘kan kamu juga biasanya beli yang sapi.” “Tadi lewatnya kambing.” Entah kenapa Zila jadi pandai menjawab pertanyaan, padahal tinggal akui saja jika ia memang sengaja membeli susu kambing. “Kalau Akang engak suka ya sudah besok jangan beli lagi.” “Cie ngambek.” “Siapa juga yang ngambek.” “Enggak apa-apa ngaku aja! Sebenarnya Akang tuh lebih suka kamu kayak gini. Adem aja gitu lihatnya. Sini deketan!” Sembari menepuk-nepuk ranjang, Zila lantas perlahan mendekat dengan ekspresi malu-malunya yang menggemaskan. “Kamu tuh kalau kangen bilang. Akang lebih suka kamu jujur dari pada diem-diem.” “Iya.” “Beli susu di mana? Setahu Akang yang jual susu kambing ‘kan lumayan jauh. Harus naik motor, kamu per
Read more
Bab 58
“Ternyata gin iya rasanya punya istri,” ucapku. “Akang enggak usah ngomong aneh-aneh deh, kita teh nikah udah mau 20 tahun. Masih aja bilang gitu.” “Ih, kamu tuh enggak merasa apa bagaimana? kemarin-kemarin kamu dingin banget kayak batu es.” “Ya, maaf.” “Oh ya Zi, setelah nama kamu ganti, Akang merasa karakter kamu juga jadi berubah. Berasa diupgrade aja begitu.” “Memangnya teknologi pakai upgrade segala.” “Serius Sayang, Akang lebih senang aja kamu begini. Enggak malu-malu lagi.” “Proses aja Kang, aku pikir selama ini aku terlalu menutup diri.’ “Baguslah kalau memang perubahannya ke arah yang lebih baik. Oh iya sekalian saja Akang mau izin nanti  2 minggu lagi Akang mau dinas ke luar kota. Paling nanti 3 hari di sana. Kamu enggak apa-apa ‘kan ditinggal sendirian?” “Enggak apa-apa, ‘kan ada anak-anak. Rumah ini juga masih ramai walau Akang pergi.” Maaf ya Zila, aku terpaksa berbohong. Entah
Read more
Bab 59
Sebenarnya bukan masalah bagiku jika lawanku nanti memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar. Selagi jam terbangnya masih di bawahku, setidaknya itu tidak akan terlalu berat. Terkadang meski postur tubuh kecil jika pengalaman bertandingnya sudah banyak, malah lebih mengerikan. Di arena banyak sekali penonton yang datang. Aku pikir tidak akan seramai ini. Sejujurnya aku belum terbiasanya bertanding dilihat banyak orang.“Gugup ya, Jim?”“Enggak sih, kaget aja kenapa jadi banyak banget yang nonton. Anak muda lagi kebanyakan.”“Ini baru permulaan nanti kalau mendekati final akan lebih padat lagi.”“Serius? Ini aja udah sesak.”“Ini malah belum ada apa-apanya.”“Kamu sering ya nonton ke sini?”“Lumayan, makanya agak kaget aja sih kamu mau ikutan.”“Kamu itu jangan sering-sering ninggalin istri.”“Alah, mau ngapain juga baw
Read more
Bab 60
“Zila.”Begitu melihatku berdiri di depannya Zila langsung memelukku dengan begitu erat. Padahal, saat itu aku tengah menggunakan masker, tetapi wanita itu mampu mengenalinya dengna mudah.“Maafin Akang ya, bikin kamu sedih.”“Jangan ngomong apa-apa!”“Akang enggak maksud bikin kamu khawatir.”“Jahat banget sih, ikut pertandingan kayak gini enggak bilang-bilang.”“Akang cuma pengen belikan kamu rumah.”“Aku enggak butuh rumah di Garut.”“Kok kamu tahu.”“Teman-teman kamu yang cerita semuanya.”“Mereka memang ember.”“Sudahlah bukankah Akang menang.”“Kenapa sih harus berkorban sebesar ini, emang Akang enggak takut mati?”“Akang enggak akan mati sebelum kamu.”“Jangan bilang gitu, Akang ‘kan bukan Tuhan yang bisa nentuin h
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status