All Chapters of Istri yang Kujual Ternyata Anak Konglomerat: Chapter 81 - Chapter 90
124 Chapters
Berakhir di Penjara
Mobil yang membawa Pramoedya dan Laila, telah tiba di area parkir gedung kepolisian. Pramoedya turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk sang istri. Namun, Laila tetap bergeming di tempatnya, sambil mencengkeram tali sabuk pengaman.“Ayo, Sayang. Mereka sudah menunggu kita,” ajak Pramoedya lembut.Laila menggeleng lemah, kemudian menunduk.“Kenapa?” Pramoedya mengernyitkan kening.Cukup lama Laila tak menjawab, hingga akhirnya dia mendongak dan menatap sang suami dengan sorot sendu. “Di dalam sana, ada orang-orang yang mencoba membunuhku malam itu,” ucapnya lirih.“Tidak apa-apa, Sayang. Mereka sudah ditangkap dan berada di bawah penjagaan ketat," bujuk Pramoedya lembut.Akhirnya, Laila menurut. Dia membiarkan Pramoedya menuntunya, hingga mereka tiba di ruang pemeriksaan.Di ruangan itu, Laila mendapati Adnan sekeluarga duduk di salah satu sisi ruangan bersama beberapa orang berseragam tah
Read more
Kembali Merasa Ragu
“Ada apa?” tanya Laila, setelah Pramoedya mengakhiri perbincangannya di telepon bersama Widura. “Marinka dinyatakan bersih. Dia tidak terlibat dalam upaya pembunuhan, yang Adnan dan istrinya rencanakan,” jawab Pramoedya. “Lalu?” tanya Laila lagi. Pramoedya tidak segera menjawab. Pria tampan itu menatap Laila beberapa saat, sebelum mengembuskan napas pelan. “Marinka memaksa kembali ke rumah ini. Mungkin, dia tak memiliki tujuan lain untuk pulang. Bagaimana menurutmu?” Kali ini, giliran Laila yang tak segera memberikan jawaban. Wanita cantik berambut panjang tersebut melipat kedua tangan di dada. “Sudah kuduga,” ucapnya malas. Laila mengarahkan perhatian kepada Lena. “Siapkan penyambu
Read more
Mencemaskan Laila
Marinka terkesiap, mendengar ancaman dari Pramoedya. Putri tunggal pasangan Adnan dan Mayang tersebut tak menyangka, bahwa sang mantan kekasih akan bersikap sangat tegas terhadap dirinya. “Aku sudah terbukti tidak memiliki keterlibatan dalam rencana jahat yang papa dan mamaku lakukan terhadap Laila. Kenapa kamu masih bersikap seperti itu padaku?” Paras cantik Marinka tampak merengut. “Jika Laila tidak bisa bersikap tegas karena masih menganggapmu sebagai saudara, maka aku yang mewakilinya. Sebab, kamu bukanlah saudaraku.” Pramoedya tak juga mengubah intonasi, saat berbicara dengan mantan kekasihnya tadi. “Iya, tapi kamu tidak berhak terus-menerus mencurigaiku seperti itu,” protes Marinka tak terima, meski kali ini tanpa membawa kesombongan yang biasa dia banggakan. “Terlebih, aku adalah mantan pacarmu,” ujar wanita muda berambut golden brown tersebut. “Ya, Tuhan. Jangan ungkit lagi hal itu. Apalagi di depan Laila,” sergah Pramoedya pelan, tapi terdengar sangat tegas. “Perlu kutekan
Read more
Laila yang Malang
Beberapa saat berlalu. Kondisi Laila mulai stabil. Wanita itu bahkan telah siuman, sehingga dokter mengizinkannya untuk ditemani oleh salah satu anggota keluarga. “Sayang.” Pramoedya yang mencemaskan keadaan Laila, mengecup kening wanita itu beberapa saat. Dia juga membelai lembut pucuk kepala wanita muda tersebut. “Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanyanya. “Entahlah. Aku hanya merasa aneh,” jawab Laila lemah. Sepasang matanya menatap sayu kepada Pramoedya, yang berusaha menyembunyikan kecemasan di balik sikap tenang. “Apa kata dokter?” tanya Laila agak parau. “Hasil pemeriksaan lab-mu belum keluar. Semoga tidak ada yang serius.” Pramoedya tersenyum lembut, lalu mencium punggung tangan Laila. “Jangan khawatir. Aku di sini untuk selalu menemanimu.”Laila tersenyum lembut, menanggapi ucapan manis sang suami. “Aku ingin minum,” ujarnya beberapa saat kemudia
Read more
Si Tampan yang Licik
Pramoedya tak kuasa menjawab pertanyaan tadi. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada yang terucap dari pria tampan tersebut. “Sayang.” Hanya itu yang bisa Pramoedya katakan. Berat bagi si pemilik mata hazel tersebut, untuk memberitahukan kondisi sebenarnya kepada sang istri. “Kenapa? Apa aku sakit parah dan akan mati?” tanya Laila. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca.“Sst! Jangan bicara seperti itu. Aku tidak suka,” tegur Pramoedya, seraya menggeleng pelan. “Lalu kenapa?” tanya Laila lagi setengah mendesak. Pramoedya merasa terpojok dan serba salah. Dia benar-benar tak sanggup, memberitahukan penyakit yang Laila derita.Beruntung, saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Dokter Hasan muncul bersama beberapa orang perawat. Mereka masuk dan menghampiri Laila."Apa kabar, Nyonya Laila?" sapa Dokter Hasan ramah. Sikapnya begitu hangat. Tak menunggu tanggapan dari Laila, dokter k
Read more
Tak Kunjung Usai
Pramoedya menatap tajam mantan suami Laila tadi, kemudian melepaskan Marinka yang terus bergelayut di lengannya. Pramoedya berjalan semakin mendekat. Tanpa diduga, dia langsung mencengkram serta mengangkat kerah baju Aries. “Ada apa ini?” tanya Aries tak mengerti. Dia berusaha melepaskan tangan Pramoedya. Namun, bukannya memberikan jawaban, Pramoedya justru melayangkan satu pukulan keras ke wajah putra sulung pasangan Suratman dan Kartika tersebut. Marinka menjerit histeris. Sementara, kedua petugas medis yang baru selesai mengambil sampel darah sigap melerai. Aries jadi semakin tak mengerti. Sambil menyentuh sudut bibir dan berusaha bangkit, dia membalas tatapan tatapan tajam Pramoedya. “Apa-apaan ini?” sentaknya tak terim
Read more
Pelindung Terbaik
Pramoedya terdiam membeku, mendengar pernyataan Dokter Hasan. Dia tak tahu harus berkata apa. Harapannya pada keluarga terdekat Laila sudah pupus, seiring hasil lab yang ternyata dinyatakan tidak memiliki kecocokan. “Ya, Tuhan. Apakah sesulit itu mendapatkan pendonor ginjal, Dok?” Pramoedya harus kembali mengendalikan diri. Menahan agar kepalanya tidak meledak, karena terlalu panas. “Kita tahu bahwa ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh. Banyak orang takut dengan penyakit ini. Tak sedikit pula yang tidak memiliki keberanian untuk mendonorkan ginjalnya, meski seseorang masih bisa hidup hanya dengan satu ginjal,” jelas Dokter Hasan. “Saya akan memberikan apa pun, seandainya ada yang bersedia menjadi pendonor untuk Laila. Tolonglah, Dokter. Saya berjanji akan menjamin orang itu dengan kehidupan layak dan berkecukupan. Istri saya adalah segalanya. Saya tidak tega melihat dia terbaring sakit dan … satu bulan. Kenapa hanya satu bulan, Dok?” Pramoedya berusaha keras meredam
Read more
Pemecah Kebuntuan
“Ya, Tuhan, Laila ….” Suratman mendesah pelan. Rasa sesal kian bertambah dalam dada “Bagaimana kondisinya sekarang?” Raut wajah Suratman terlihat begitu sedih.“Menurut Pak Pram, kondisi Laila sangat buruk. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit,” jawab Aries lesu.“Jadi, sampai sekarang Laila belum mendapatkan pendonor?” tanya Suratman lagi.“Begitulah katanya. Sulit mendapatkan pendonor yang cocok,” sahut Aries seraya menyugar rambutnya.Suasana hening sejenak. Suratman tampak berpikir keras. Entah apa yang ada dalam benak pria itu. Sesaat kemudian, sorot matanya menatap tajam kepada sang putra. Membuat Aries bertanya-tanya. “Bagaimana jika Bapak dicek? Siapa tahu, Bapak bisa jadi pendonor untuk Laila,” cetusnya tiba-tiba.Aries terkesiap mendengar ucapan sang ayah. “Aku tidak tahu, Pak. Lagi pula, Bapak sudah terlalu tua. Apakah tidak berbahaya untuk kesehatan Bapak sendiri?” ujar Aries ragu.“Tidak ada salahnya mencoba. Tolong cari tahu bagaimana caranya. Bapak benar-benar ingi
Read more
Setitik Harapan
Pramoedya tak sabar mendatangi lapas tempat Suratman menjalani sisa masa hukumannya. Pria itu tak peduli, meski Aries sudah memperingatkan bahwa jam berkunjung telah habis. Pramoedya terlalu bahagia, karena ada yang bersedia menjadi pendonor bagi Laila. Walaupun, hasil pemeriksaan lab belum tentu memperoleh kecocokan. Namun, ini seakan menjadi penyemangat baru, bagi pengusaha muda tersebut. Setelah tiba di lembaga pemasyarakatan yang dimaksud, Pramoedya langsung menemui sipir yang bertugas. Dia menunjukkan surat pengantar dari dokter. Tak lupa, dirinya juga telah menghubungi pengacara. Hal itu dimaksdukan agar membantu mempermudah proses masuk, hingga bertemu dengan Suratman.“Maaf, Pak. Berhubung ini sudah di luar jam kunjungan, maka kami mewajibkan Anda menemui Pak Suratman di ruangan sipir,” ujar petugas tadi.“Tak masalah di manapun, selama saya bisa mendapatkan sampel darah har Pak Suratman hari ini,” balas Pramoedya antusias.Petugas sipir tadi berunding sejenak dengan rekannya
Read more
Akhir Kecemasan
“Itu sudah jadi keputusan bapak saya, Pak. Beliau memiliki alasan sendiri, dan pasti sudah mempertimbangkan pula segala risiko yang akan dihadapi. Namun, tentu saja kami sekeluarga tidak mengharapkan hal buruk terjadi padanya. Apakah niat baik seseorang, akan berbalas sesuatu yang buruk? Saya rasa tidak.” Tiba-tiba, Aries menjadi seseorang yang bijaksana. “Kamu benar. Aku juga tidak mengharapkan sesuatu yang buruk. Ini hanya sekadar persiapan. Selain itu, kamu sekeluarga tidak perlu cemas. Aku akan memberikan kehidupan yang layak bagi kalian. Termasuk pengobatan dan lain-lain. Jujur saja, aku berharap bahwa Pak Suratman bisa menjadi penolong bagi Laila.” Pramoedya mengembuskan napas pelan. “Jika bapak saya tidak cocok untuk menjadi pendonor, saya bersedia diperiksa juga,” ucap Aries, seolah tanpa berpikir panjang. “Kamu yakin?” tanya Pramoedya. Dia seperti meragukan pernyataan mantan suami Laila tadi. Aries menjawab pertanyaan Pramoedya dengan anggukan penuh keyakinan. “Tolong sam
Read more
PREV
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status