Baru kali ini Naren merasakan gelisah ketika berhadapan dengan wanita. Ia mengambil selembar tisu untuk mengusap tangannya yang mulai basah berkeringat.Rhea menatap Naren dengan gamang. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi bahkan untuk bicara pun lidahnya sudah terlalu kaku. Hanya harapan yang bisa ia ucapkan dalam hati. 'Don't say it! Please, don't say it!' ulangnya berkali-kali."Rhe .... Aku bahagia waktu sama kamu. Kamu percaya kan?"Rhea tidak mengiakan dan tidak pula membantah."Tapi kayaknya aku ...." Naren tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia menarik napas berkali-kali tapi tetap saja terasa berat mengucapkannya. "Hubungan kita ... sampe di sini aja ya."Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Rhea. Tangan kirinya yang berada di balik meja meremat ujung blazer yang dikenakannya.Apa yang didengarnya dari balik pintu ruangan Dio kemarin ternyata benar.***-Sehari sebelumnya-Siang itu Naren datang ke ruangan Departemen Finance untuk menyambangi Rhea. Tapi saat melihat kursi ya
-Narendra is calling--Narendra is calling-Rhea terpaku menatap layar ponselnya. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya asal di meja dan kembali bergelung di atas kasurnya.Esok ia harus bangun lebih pagi, jauh lebih pagi daripada biasa. Walaupun ia yakin Naren tidak akan lagi menungguinya di depan rumah seperti hari-hari sebelumnya, tapi tetap saja ia tidak rela membuang waktunya untuk meredam kembali perasaannya karena bertemu lelaki itu.Nyatanya, berulang kali Rhea berusaha memejamkan mata, tapi ia tidak benar-benar bisa terlelap.“Udah jam lima aja sih,” gumamnya, rasanya baru sebentar ia tertidur dan kini ia terbangun kembali. Tidak ada waktu baginya untuk bersantai. Rutinitasnya akan berubah total mulai hari ini.Rhea bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan simple untuknya. Kerena kerepotannya berkutat di dapur itu lah, ia tidak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 . Padahal ia hanya membuat nasi mentega, scrambled egg, dan tumis labu. Ok, katakanlah itu bukan me
“Ada yang mau pergi sama Danar buat nemenin auditor rekonsiliasi aset nggak?” tanya Dio di depan semua stafnya.Dengan kompaknya semua stafnya menunduk atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya.“Sama saya boleh nggak, Pak? Ya meskipun saya belum tau banyak aset yang di kantor pusat.” Rhea dengan refleks langsung berdiri dan menawarkan diri.Dio menatap Rhea tidak yakin. “Tapi pulangnya malem biasanya, Rhe.”“Nggak masalah, Pak.”“Oke kalo gitu. Ke ruangan saya dulu, Rhe.”Rhea sudah bisa memperkirakan apa yang akan disampaikan Dio. Tentunya bukan masalah rekonsiliasi aset, pasti masalah hubungannya dengan Naren.“Masuk, Rhe,” sahut Dio saat Rhea mengetuk pintu ruangannya.Rhea duduk di kursi yang ada di depan Dio.“Are you ok, Rhe?”“Kelihatannya gimana, Pak?” Rhea terkekeh. “Saya nggak serapuh itu, Pak,” ucap Rhea penuh dusta.Katakanlah ia tidak rapuh, hanya hatinya saja masih (sering) terasa seperti diremas ketika mengingat kelakuan sahabat atasannya itu.Dio menghela napas bera
Rhea: Kai sarapan di kantin nggak?Kaira: IyaKaira: Udah hampir nyampe kantor kok iniRhea: BarengRhea: Aku udah di parkiranRhea: Yang duluan sampe cari tempat yaKaira: OkRhea melangkah cepat menuju kantin kantor. Masih pagi memang, tapi kalau ia ingin mendapatkan meja ternyaman yang biasanya ia tempati bersama Kaira, maka ia harus bergegas.“Tumben, Rhe. Belakangan ini kamu berangkat pagi,” sindir Kaira begitu menemukan Rhea tengah duduk meminum es teh manis di depannya. Biasanya Kaira yang bertugas mencari meja karena jarak dari kost ke kantornya lumayan dekat.Rhea berusaha memberikan alasan yang paling masuk akal menurutnya karena ia belum menceritakan apa pun tentang hubungannya dengan Naren kepada Kaira. “Macet, males berangkat siang.”“Udah bawa mobil sendiri ya? Pak Naren ke mana emangnya?”Rhea mengedikkan bahu.“Berantem?” tanya Kaira penuh selidik.“Udah putus,” jawab Rhea singkat dan agak lirih, khawatir ada orang lain yang mendengarnya.Kaira menatap Rhea serius. “Ka
Naren masih menatap Danar dengan tatapan intimidatifnya.“Saya nggak ada apa-apa sama Rhea, Pak. Sumpah.” Danar kemudian menunjukkan cincin di jari manis tangan kirinya. “Saya udah tunangan, Pak. Bentar lagi nikah.”Naren mengangguk paham, dan baru tersadar kalau tujuannya ke ruangan Departemen Finance sore itu adalah untuk menemui Rhea—yang kini entah pergi ke mana. Ia berbalik dan melangkah cepat, mencoba menyusul Rhea. Beruntung, wanita itu masih terlihat ketika Naren keluar dari Departemen Finance.Rhea memasuki toilet wanita dengan bersungut-sungut. Sambil mencuci muka dan bercermian, ia berpikir kembali, apakah tingkahnya kekanakan dengan mengabaikan Naren?Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selagi ia menyembuhkan luka dan menata hatinya lagi.Setelah mengambil selembar tisu dan mengusap sisa-sisa air di wajahnya, Rhea menghela napas kemudian mengembuskannya. Ia tahu kemungkinan besar Naren masih mencarinya.“Rhe.”Benar yang diperkirakan Rhea, bahkan lelaki yang dihindarinya
Rhea mengernyitkan dahi. “Panjang nggak yang mau diomongin?” tanya Rhea dengan nada dingin.“Panjang.” Naren mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Sudah syukur Rhea mau bicara padanya, dan kini ia seakan tidak tahu malu meminta waktu lebih dari Rhea.“Aku nggak ada waktu kalo gitu.” Rhea mengangkat pesanan makanannya yang menandakan ia harus segera menyantapnya sebelum makanan di tangannya dingin.“Pendek aja kalo gitu.” Naren segera meralat ucapannya, khawatir Rhea meninggalkannya lagi.“Ya udah, silakan ngomong.”“Di sini?”“Iya. Di mana lagi? Kamu nggak berharap aku mempersilakanmu masuk trus nyediain minuman selagi kita ngobrol kan?” Rhea tersenyum hanya dengan menaikkan satu sudut bibirnya.Naren terhenyak mendengar pedasnya ucapan Rhea. Tapi dia bisa berharap apa, di depannya berdiri wanita yang baru beberapa minggu lalu ia sakiti.“Ok. Tujuanku kali ini untuk minta maaf sama kamu.”“Minta maaf buat kesalahan apa?”"Karena aku nggak bilang ke kamu kalau hubungan kita cuma ... u
"Hei, kita mau liburan loh, malah ngelamun." Leny melambaikan tangannya tepat di depan muka Rhea yang hanya diam dengan tatapan kosong.Rhea, Leny, dan Amee, kini tengah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, menanti saat boarding dengan menikmati kopi dan camilan di salah satu coffee shop."Iya nih, kita kan mau ngobatin sakit hati lo, Ngga. Lo yang ikhlas dong, lepaskan semua beban, biar totalitas liburannya."Rhea tersenyum nanar. Bagaimana dia bisa menikmati liburan itu kalau ia selalu membayangkan apa yang akan dihadapinya setelah ia kembali masuk kerja nanti.***-Beberapa hari sebelumnya-“Katanya aku nggak boleh deketin kamu, tapi sekarang malah kamu yang datang sendiri ke sini.” Naren terkekeh menatap reaksi Rhea yang semakin terlihat kesal karena ucapannya.Rhea memicingkan mata dengan kesal saat Naren terkekeh. "Permisi, Pak," ucapnya demi membangun dinding pembatas tak kasat mata."Duduk." Naren bangkit dari kursi kerjanya dan menggiring Rhea ke sofa. Kalau Rhea beru
“Mbak, pada mau naik bukit nggak, Mbak? View-nya bagus banget loh, sayang kalo nggak ke sana.""Mauuu!" teriak ketiganya nyaris bersamaan.Agus tersenyum melihat antusias ketiga wanita yang menjadi tamunya itu. "Kalo gitu kita ke Bukit Marese dulu ya, Mbak. Deket kok dari sini."Benar saja, tidak sampai sepuluh menit, Agus menepikan kendaraannya di dekat sebuah warung.Di tengah teriknya cuaca siang itu, Rhea, Amee, dan Leny disibukkan dengan mengoles sunscreen ke seluruh permukaan kulit yang akan terpapar matahari. Baru setelahnya mereka memulai perjalanan mendaki bukit. Well, entah lah itu bisa disebut mendaki atau tidak, karena pada kenyataannya, dalam waktu lima menit mereka sudah tiba di puncak bukit, dengan view hamparan perbukitan di sekitarnya dan bentangan laut berwarna biru jernih. Untungnya lagi, sedang tidak ada seorang pun di atas bukit itu selain mereka. Siapa pula wisatawan yang mau naik ke atas bukit siang bolong, kecuali mereka tentunya."Saya fotoin yuk, Mbak." Agus