Bab 41 Hari pertama di kantor membuat aku bahagia, karena harus mengerjakan hal yang baru. Aku ditempatkan di bagian marketing bergabung bersama team yang lain.Karena marketing memasarkan produk kecantikan, maka karyawan baru diwajibkan ikut training selama tiga hari, supaya bisa menguasai produk yang dijual. Dan enaknya, aku harus mencoba produk itu sebelum dilempar kepasar.Aku ditempatkan di ruangan yang ber AC dengan interior yang unik, perpaduan jepang dan jawa klasik.Masih anak baru sih, jadi statusnya masih masa percobaan selama satu bulan, walupun begitu aku sudah bangga."Alhamdulullah aku sudah bekerja di kantor ini buk."Tidak lupa aku memberi kabar kepada kedua orang tauaku, sebagai orang yang menyayangiku dan selalu mendoakanku."Yang amanah ya, Nduk, kalau bekerja jangan setengah-setengah. Harus fokus supaya kamu menjadi orang yang sukses.""Aamiin, Buk.""Bapak dan Ibu jaga kesehatan, ya." Bapak dan Ibu kelihatan bahagia sambil melambaikan tangannya tanda mengakhiri
Bab 42 "Yang, mereka sebentar lagi sudah selesai, trus menghampiri kita. Ayuk, Sayang cepetan." Mas Irfan masuk kamar kemudian sekian detik memandangku yang hanya memakai baju dalam.Tanganya meraihku kemudian memelukku dari belakang. Kulihat benda pipih itu sudah tidak ada tangannya. Aku lega, karena kalau sudah main game lupa waktu.Aku masih berdiri di depan kaca, ingin mengambil baju di lemari. Namun, diam tidak berkutik, karena pelukannya sangat kuat. Perutku dielus, bahuku diciumi berkali-kali.Aku mengacak rambutnya dengan tangan kananku, dari pantulan cermin kulihat ekpresinya sangat manja. Aku tersenyum senang.Kubalikkan tubuhku, sehingga kami berhadapan. Laki-laki bungsu ibu mertuaku melepaskan pelukannya pelan-pelan. Kami saling menatap."Yang, teruslah bersama Mas, apapun yang terjadi tetaplah jadi makmumku, ya."Setelah menciumku berkali-kali, kemudian mencium benih buah hati cinta kita berdua yang ada di dalam perutku."Apapun yang terjadi?" Aku membatin. Mas Irfan h
Bab 43 POV IRFAN SEBELUM KEJADIAN DINNER #1Aku sebenarnya berusaha menghindari ibu, setiap aku mendekati beliau, yang dibicarakan selalu Mbak Nung. Intinya aku dipaksa menikahi kakak iparku yang sudah menjadi janda itu.Mana mungkin aku menikahinya, perasaanku kepada Mbak Nung sebatas kakak, karena dia istri almarhum Mas Fadli, yang sekaligus sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.Selain itu, aku tidak akan mengkhianati Dela, yang sudah berkorban untukku. Apalagi dia dalam keadaan hamil, buah cinta ķita yang selama ini kita nantikan."Bagaimana perasaan Dela kalau sampai mendengar berita ini, Bu?" protesku, ketika aku menungguhi ibu sarapan, setelah Dela pamit pergi bekerja."Ibu tidak menyuruhmu untuk menceraikan Dela, Fan! Paham gak, sih? Harus berapa kali Ibumu ngomong kaya gini, ha?" bentak ibu."Menyuruh menikahi Mbak Nung, sama saja menyakiti hati Dela, Bu. Walaupun kita tidak sampai berpisah." Aku menggerundel sendiri."Dela anak yang baik, istri penurut, pasti dia ma
Bab 44POV IRFANSEBELUM KEJADIAN DINNER #2Aku sengaja menyambut Dela ketika suara motornya masuk ke halaman rumah. Kulihat wajah yang lelah, tapi bahagia di hari pertama dia bekerja.Dengan senyum yang khas dia mencium punggung tanganku, lalu kubiarkan dia masuk kerumah sendiri, karena aku masih menemui tamu-tamuku.Setelah membantu memasukkan motor, aku kembali ke bengkel, karena Pak Sofyan--makelar yang sering membawa pembeli sedang nego harga vespa. Beliau penggemar motor antik, sehingga kalau main ke bengkel tidak bisa sebentar, harus lama karena banyak yang dibicarakan.Sama sekali tidak ingat kalau kulit durian yang berantakan itu belum kubersihkan. Aku merasa bersalah, apalagi Dela sampai lari ke kamar mandi, mengeluarkan isi perutnya. Karena dia tidak suka dengan bau durian yang menyengat.Menyesal, merasa bersalah kenapa sampai teledor sehingga membuat Dela tidak nyaman ketika pulang dari kerja, seharusnya bisa melepaskan rasa lelahnya dengan tenang.Saat itu pikiranku mema
Bab 45 2 bulan kemudianDUA BULAN KEMUDIAN (Narasi tentang Dela)Mbak Nung sudah selesai masa cutinya, sehingga dia harus pergi ke kantor lagi. Kebetulan sejak usia kandunganku 10 minggu, Mas Irfan tidak mengizinkanku kerja naik motor, sehingga dia yang harus mengantarkan aku pulang dan pergi.Malam sebelumnya Mbak Nung sudah bilang kalau akan ngrusuhi Mas Irfan lagi, maksudnya akan kembali meminjam dan minta tolong suamiku."Maaf, ya, Dik.""Gak pa-pa, Mbak," jawabku ikhlas."Entah sampai kapan aku akan ngrusuhi suamimu, Dik." Mata Mbak Nung yang bening menerawang keatas, seakan mengingat sesuatu. Mungkin ingat almarhum suaminya.Aku ikut trenyuh, dan tidak mau suasana sedih ini berlarut, langsung kuusap bahunya."Gak pa-pa, Mbak. Kita kan bersaudara," ucapku menenangkan.Mbak Nung mengangguk, setelah itu dia pamit masuk ke rumah ibu, aku hanya memandangi dari belakang sampai menghilang di balik pintu.Bisa kurasakan perasaan Mbak Nung, pasti dia sedih. Seandainya aku diposisi dia,
Bab 46Mas Irfan semakin giat bekerja, mengumpulkan pundi-pundi persiapan untuk biaya persalinan anak. Kebetulan ada saja rejeki yang datang, banyak mobil yang masuk minta di service. Alhamdulillah bengkelnya semakin rame.Karyawan Mas Irfan bertambah dua orang, sebagian dibantu dari anak-anak PKL, sehingga meskipun bengkel ramai, bisa diatasi. Aku senang, walaupun tidak tahu sehariannya karena aku sendiri sibuk di kantor.Mungkin itu rejeki bawaan bayi, kata orang begitu. Pekerjaanku juga lancar, di bagian marketing penjualan meningkat tajam. Bagian produksi sampai kewalahan. Bahkan dalam waktu dekat akan membuka cabang di Jawa Timur."Yang, besok kita nyoba mobil baru, ya?" kata Mas Irfan ketika selesai salat mahgrib berjamaah.Aku menautkan kedua alisku, setelah kucium punggung tangannya. Tidak mengerti apa yang dimaksudkan."Test drive," ulangnya, karena aku masih bengong."Besok, kita jalan-jalan pakai mobil baru," jelasnya sambil menunjukkan mimik yang lucu.Itu yang membuat aku
Bab 47Mas Irfan mengulurkan ponsel kepadaku, wajahnya tampak pucat, tangannya gemetar. Perasaanku tiba-tiba tidak enak melihat ekpresinya, ada apa ini?"Dari travel biro Bassmallah, Yang," lirihnya, sambil menunduk tidak mau menatapku. Jantungku semakin berdebar, lututku ikut lemas.Travel Bassmallah? Pasti ada kaitannya dengan keadaan orang tuaku yang sedang menjalankan ibadah umroh di sana, batinku."Assalamualaikum." "Walaikumssalam."Suaranya lembut, cara menyampaikannya juga halus. Namun, aku tetap terkejut tatkala mengatakan kalau rombongan bapak dan Ibuku mengalamai kecelakaan di tanah suci."Apa?" teriakku histeris. "Ba-bagaimana keadaan mereka?" Mulutku seperti beku. Penjelasannya panjang lebar membuat aku lunglai."Bapak, Ibuku meninggal dunia?" lirihku.Aku tidak percaya dengan berita yang kuterima tentang kematian kedua orang tuaku karena kecelakaan. Tidak terasa pandanganku kabur, aku tergugu.Mas Irfan memelukku kemudian mengambil alih ponsel yang masih kudengar suar
Bab 48.Perutku sudah semakin besar, banyak baju yang sesak sudah tidak muat lagi. Rasanya sudah tidak nyaman lagi dipakai, aku harus segera menambah koleksi, lebih-lebih baju untuk bekerja.Ingin minta tolong Mas Irfan supaya mengantarkanku ke Mal, tapi kelihatannya dia masih sibuk dengan bengkelnya. Aku tidak tega mengganggunya, tapi gak pa-palah aku akan mencobanya."Mas, masih ramai ya bengkelnya?" tanyaku ketika sarapan sebelum berangkat kerja."Iya, Yang. Mas belum bisa jemput pulangnya, sementara ini naik taksi online dulu, ya."Aku mengangguk, bengkel Mas Irfan tidak pernah sepi, ada saja yang memasukkan mobil untuk diservise. Mungkin semua ini rezeki anak ini, bisikku sambil mengelus perutku yang di dalamnya sedang bergerak-gerak."Setelah pulang kerja nanti, pingin ke Mal, Mas. Bajunya semua sudah sesak," kataku, maksudnya supaya diantar suami.Siapa tahu bisa menyempatkan waktu, kasihan perut istrinya sudah besar dan tidak tega belanja ke Mal sendirian, batinku."Hm, nganu