Bab 47Mas Irfan mengulurkan ponsel kepadaku, wajahnya tampak pucat, tangannya gemetar. Perasaanku tiba-tiba tidak enak melihat ekpresinya, ada apa ini?"Dari travel biro Bassmallah, Yang," lirihnya, sambil menunduk tidak mau menatapku. Jantungku semakin berdebar, lututku ikut lemas.Travel Bassmallah? Pasti ada kaitannya dengan keadaan orang tuaku yang sedang menjalankan ibadah umroh di sana, batinku."Assalamualaikum." "Walaikumssalam."Suaranya lembut, cara menyampaikannya juga halus. Namun, aku tetap terkejut tatkala mengatakan kalau rombongan bapak dan Ibuku mengalamai kecelakaan di tanah suci."Apa?" teriakku histeris. "Ba-bagaimana keadaan mereka?" Mulutku seperti beku. Penjelasannya panjang lebar membuat aku lunglai."Bapak, Ibuku meninggal dunia?" lirihku.Aku tidak percaya dengan berita yang kuterima tentang kematian kedua orang tuaku karena kecelakaan. Tidak terasa pandanganku kabur, aku tergugu.Mas Irfan memelukku kemudian mengambil alih ponsel yang masih kudengar suar
Bab 48.Perutku sudah semakin besar, banyak baju yang sesak sudah tidak muat lagi. Rasanya sudah tidak nyaman lagi dipakai, aku harus segera menambah koleksi, lebih-lebih baju untuk bekerja.Ingin minta tolong Mas Irfan supaya mengantarkanku ke Mal, tapi kelihatannya dia masih sibuk dengan bengkelnya. Aku tidak tega mengganggunya, tapi gak pa-palah aku akan mencobanya."Mas, masih ramai ya bengkelnya?" tanyaku ketika sarapan sebelum berangkat kerja."Iya, Yang. Mas belum bisa jemput pulangnya, sementara ini naik taksi online dulu, ya."Aku mengangguk, bengkel Mas Irfan tidak pernah sepi, ada saja yang memasukkan mobil untuk diservise. Mungkin semua ini rezeki anak ini, bisikku sambil mengelus perutku yang di dalamnya sedang bergerak-gerak."Setelah pulang kerja nanti, pingin ke Mal, Mas. Bajunya semua sudah sesak," kataku, maksudnya supaya diantar suami.Siapa tahu bisa menyempatkan waktu, kasihan perut istrinya sudah besar dan tidak tega belanja ke Mal sendirian, batinku."Hm, nganu
49 Pinjam "Bukanya itu suamimu, Del!" kata Diana dengan suara lantang, aku sendiri terkejut melihat Mas Irfan bersama rombongan keluarga cemara lewat beriringan. Ibu mertua berjalan sejajar dengan Mbak Nung yang menggendong bayinya, Mas Irfan posisinya di belakang menggandeng Fara.Hatiku tercekat, mulutku hanya bisa menganga, lututku gemetar, jangan ditanya jantungku seperti apa detaknya, sampai aku mau pingsan.Aku tidak menyangka Mas Irfan bisa berbuat seperti itu, disisi lain dia bilang sibuk, di sisi lainnya dengan leluasa mengantarkan keluarga cemara.Apa dia tidak tahu kalau istrinyapun menginginkan hal seperti itu, diantar, didampingi, disenang-senangkan, seperti yang dia lakukan dengan mereka itu.Hatiku nelangsa menyaksikan pemandangan yang sangat menyakitkan, membuat dadaku semakin sesak, sehingga aku segera mengambil oksigen sepenuh dada."Mereka itu siapa saja?" tanya Diana sinis, menyadarkanku."I-ibu mertuaku, Mbak Nung, istri almarhum Mas Fadli dan kedua anaknya.
Bab 50 Aku masih cemberut ketika bertemu di meja makan untuk sarapan pagi, karena uneg-unegku semalam belum terurai. Walaupun begitu aku tetap menyiapkan makan pagi, nasi goreng kesukaannya.Wajah Mas Irfan kelihatan masam, makan tanpa banyak bicara, lebih banyak menunduk dari pada melihat aku yang berada di depannya."Mas, kenapa berubah jadi diam?" ucapku sambil menatapnya kesal.Laki-laki yang biasanya ramah, tiba-tiba memasang wajah angker, diam seribu bahasa. Aku melirik sebentar karena ekpresinya masih membeku, aku membuang nafas kasar."Mas tidak suka kamu jalan dengan Diana!" Nadanya dingin. Seketika aku tersentak."Apa? Bukannya kemaren dan yang lalu-lalu, Diana menjadi orang kepercayaan Mas, untuk menemani di saat Mas Irfan tidak bisa mendampingiku?" sergahku kesal."Dulu! Sekarang tidak!" jawabnya singkat."Apa sih maksudnya?" Alisku bertemu, tatapanku lekat ke wajahnya. Rasanya aku ingin menelan bulat-bulat kemudian memuntahkannya.Entah kenapa, sejak perutku semakin besa
51 POV IRFAN"Fan, Ilham sakit, badannya panas sekali," teriak Ibu cemas, ketika aku selesai mandi setelah urusan di bengkel selesai.Aku ikut gugup, tidak tahu apa yang harus kulakukan, karena belum pengalaman. Kebetulan pengasuh bayi izin pulang karena orang tuanya sakit, sehingga ibu kebingungan."Telepon Nungky!" titah ibu gugup."Gih, Bu." Aku juga ikut bingung, belum pernah merasakan, bisa juga ini untuk pembelajaran nanti kalau anakku mengalami hal seperti ini.Gegas kuambil gawai, aku berusaha menghubungi Mbak Nungky, beruntung langsung diangkat. Kukabarkan kalau bayinya rewel, kata Ibu badannya panas."Gimana ya, atau ..." Mbak Nung menjeda kalimatnya, terdengar sedih, aku merasa iba. Siapa lagi di rumah ini yang bisa menolong selain aku? Kasihan sekali."Ilham kuantar ke klinik terdekat, ya, Mbak. Biar segera ditangani dokter," usulku."Klinik Ananda saja, dekat sini. Ada dokter spesialis anak, dulu dokternya Fara juga." Mbak Nung menimpali."Sharelok ya, Mbak.""Sekalia
Bab 52Aku memasukan ponsel ke tas slempang, lalu mengikuti langkah kriwil masuk kedalam dengan hati dongkol. Kudekati Ibu dan Mbak Nung yang sudah selesai memeriksakn Ilham."Tinggal nunggu obat." Mbak Nung dan Fara antri di bagian obat."Gimana hasilnya, Bu?""Alhamdumilah, gak pa-pa. Hanya panas biasa.""Alhamdulillah.""Yuk, kita Ke Mal, Fara lapar, Om." kriwil meraih tanganku setelah selesai mengambil obat."Iya, mumpung sampai disini main ke Mal, yuk," Ajak Ibu. Fara kegirangan."Ilham ternyata tidak apa-apa, panasnya sudah turun. Anaknya sudah mulai ceria lagi," imbuhnya."Betul juga, mumpung sampai di kota," Mbak Nung menimpali.Aku ikuti saja kemauan mereka, sekali kali bolehlah main di Mal, apalagi Malnya terbesar dan terlengkap. di Jogjakarta.Saat itu, aku lupa kalau Dela tadi minta diantar ke Mal juga. "Paling sudah sampai rumah," batinku.Menurutku dia sudah asyik dengan Diana memilih baju, sehingga kulihat ponsel tidak ada panggilan atau chat masuk."Horee. Om airfan,
Bab 53Kembali Narasi tentang Dela.Setelah kurasakan perutku lebih enak, aku langsung minta diantar ke kantor. Walaupun ada penolakan dari Mas Irfan, aku tetap memaksa. "Aku sudah baikan, Mas," rajukku, ketika Mas Irfan kekeh untuk mengajakku kedokter kandungan.Sejenak laki-laki yang patuh dengan ibunya itu menatapku lekat sebelum menjalankan mobilnya. Aku pun meyakinkan sekali lagi bahwa aku baik-baik saja."Kalau nanti di kantor seperti ini lagi gimana, Yang?" tatapan matanya penuh kekhawatiran.Aku menghela nafas panjang, menunjukkan ke Mas Irfan kalau aku bisa bernafas dengan longgar. Tandanya aku baik-baik saja dan tidak sesak lagi.Kuperlihatkan senyumku yang terbaik, sambil kukedipkan sebelah mata genitku. Edisi merayu supaya diizinkan masuk kerja.Akhirnya Mas Irfan dengan berat hati mengantarkanku ke kantor, berkali-kali dibuang nafas beratnya. Dari samping dia menatapku, kemudian pandangannya lurus kedepan."Jangan rewel, ya, Nak." Tatapannya beralih keperutku, tangan kir
Bab 54Pelan-pelan kubuka mata ini, kedua mataku langsung melebar. Aku kaget dan bingung. Kulihat sekeliling, terasa asing ruang ini, semua serba putih. Ada selang yang menghubungkan ke tubuhku, bau khas rumah sakit terhirup dihidung.Apa yang terjadi padaku? Beberapa kali kucubit tanganku, terasa sakit. Aku sadar ini bukan mimpi.Lalu, apa yang membuat aku berada disini?Apa aku jatuh? Pingsan? Kuraba perutku, ternyata masih besar dan keras. Alhmadulillah, aku takut kalau bayiku keguguran, ternyata kandunganku aman.Netraku memindai seluruh ruangan, kulihat ada Mas Irfan sedang duduk tak jauh dariku. Wajahnya menunduk tanpa ekpresi, dia nampak sedih sekali.Aku ingin dia mendekat dan memelukku, setidaknya memberikan semangat kepadaku, supaya aku nyaman dan tenang. Sepertinya dia sengaja duduk menjauh dariku.Tanganku tidak bisa menjangkaunya, suaraku tidak keluar ketika aku ingin memanggilnya. Berat sekali tubuhku untuk bergerak. Tidak terasa air mataku mengalir.Aku takut melihat ek