Bab 50 Aku masih cemberut ketika bertemu di meja makan untuk sarapan pagi, karena uneg-unegku semalam belum terurai. Walaupun begitu aku tetap menyiapkan makan pagi, nasi goreng kesukaannya.Wajah Mas Irfan kelihatan masam, makan tanpa banyak bicara, lebih banyak menunduk dari pada melihat aku yang berada di depannya."Mas, kenapa berubah jadi diam?" ucapku sambil menatapnya kesal.Laki-laki yang biasanya ramah, tiba-tiba memasang wajah angker, diam seribu bahasa. Aku melirik sebentar karena ekpresinya masih membeku, aku membuang nafas kasar."Mas tidak suka kamu jalan dengan Diana!" Nadanya dingin. Seketika aku tersentak."Apa? Bukannya kemaren dan yang lalu-lalu, Diana menjadi orang kepercayaan Mas, untuk menemani di saat Mas Irfan tidak bisa mendampingiku?" sergahku kesal."Dulu! Sekarang tidak!" jawabnya singkat."Apa sih maksudnya?" Alisku bertemu, tatapanku lekat ke wajahnya. Rasanya aku ingin menelan bulat-bulat kemudian memuntahkannya.Entah kenapa, sejak perutku semakin besa
51 POV IRFAN"Fan, Ilham sakit, badannya panas sekali," teriak Ibu cemas, ketika aku selesai mandi setelah urusan di bengkel selesai.Aku ikut gugup, tidak tahu apa yang harus kulakukan, karena belum pengalaman. Kebetulan pengasuh bayi izin pulang karena orang tuanya sakit, sehingga ibu kebingungan."Telepon Nungky!" titah ibu gugup."Gih, Bu." Aku juga ikut bingung, belum pernah merasakan, bisa juga ini untuk pembelajaran nanti kalau anakku mengalami hal seperti ini.Gegas kuambil gawai, aku berusaha menghubungi Mbak Nungky, beruntung langsung diangkat. Kukabarkan kalau bayinya rewel, kata Ibu badannya panas."Gimana ya, atau ..." Mbak Nung menjeda kalimatnya, terdengar sedih, aku merasa iba. Siapa lagi di rumah ini yang bisa menolong selain aku? Kasihan sekali."Ilham kuantar ke klinik terdekat, ya, Mbak. Biar segera ditangani dokter," usulku."Klinik Ananda saja, dekat sini. Ada dokter spesialis anak, dulu dokternya Fara juga." Mbak Nung menimpali."Sharelok ya, Mbak.""Sekalia
Bab 52Aku memasukan ponsel ke tas slempang, lalu mengikuti langkah kriwil masuk kedalam dengan hati dongkol. Kudekati Ibu dan Mbak Nung yang sudah selesai memeriksakn Ilham."Tinggal nunggu obat." Mbak Nung dan Fara antri di bagian obat."Gimana hasilnya, Bu?""Alhamdumilah, gak pa-pa. Hanya panas biasa.""Alhamdulillah.""Yuk, kita Ke Mal, Fara lapar, Om." kriwil meraih tanganku setelah selesai mengambil obat."Iya, mumpung sampai disini main ke Mal, yuk," Ajak Ibu. Fara kegirangan."Ilham ternyata tidak apa-apa, panasnya sudah turun. Anaknya sudah mulai ceria lagi," imbuhnya."Betul juga, mumpung sampai di kota," Mbak Nung menimpali.Aku ikuti saja kemauan mereka, sekali kali bolehlah main di Mal, apalagi Malnya terbesar dan terlengkap. di Jogjakarta.Saat itu, aku lupa kalau Dela tadi minta diantar ke Mal juga. "Paling sudah sampai rumah," batinku.Menurutku dia sudah asyik dengan Diana memilih baju, sehingga kulihat ponsel tidak ada panggilan atau chat masuk."Horee. Om airfan,
Bab 53Kembali Narasi tentang Dela.Setelah kurasakan perutku lebih enak, aku langsung minta diantar ke kantor. Walaupun ada penolakan dari Mas Irfan, aku tetap memaksa. "Aku sudah baikan, Mas," rajukku, ketika Mas Irfan kekeh untuk mengajakku kedokter kandungan.Sejenak laki-laki yang patuh dengan ibunya itu menatapku lekat sebelum menjalankan mobilnya. Aku pun meyakinkan sekali lagi bahwa aku baik-baik saja."Kalau nanti di kantor seperti ini lagi gimana, Yang?" tatapan matanya penuh kekhawatiran.Aku menghela nafas panjang, menunjukkan ke Mas Irfan kalau aku bisa bernafas dengan longgar. Tandanya aku baik-baik saja dan tidak sesak lagi.Kuperlihatkan senyumku yang terbaik, sambil kukedipkan sebelah mata genitku. Edisi merayu supaya diizinkan masuk kerja.Akhirnya Mas Irfan dengan berat hati mengantarkanku ke kantor, berkali-kali dibuang nafas beratnya. Dari samping dia menatapku, kemudian pandangannya lurus kedepan."Jangan rewel, ya, Nak." Tatapannya beralih keperutku, tangan kir
Bab 54Pelan-pelan kubuka mata ini, kedua mataku langsung melebar. Aku kaget dan bingung. Kulihat sekeliling, terasa asing ruang ini, semua serba putih. Ada selang yang menghubungkan ke tubuhku, bau khas rumah sakit terhirup dihidung.Apa yang terjadi padaku? Beberapa kali kucubit tanganku, terasa sakit. Aku sadar ini bukan mimpi.Lalu, apa yang membuat aku berada disini?Apa aku jatuh? Pingsan? Kuraba perutku, ternyata masih besar dan keras. Alhmadulillah, aku takut kalau bayiku keguguran, ternyata kandunganku aman.Netraku memindai seluruh ruangan, kulihat ada Mas Irfan sedang duduk tak jauh dariku. Wajahnya menunduk tanpa ekpresi, dia nampak sedih sekali.Aku ingin dia mendekat dan memelukku, setidaknya memberikan semangat kepadaku, supaya aku nyaman dan tenang. Sepertinya dia sengaja duduk menjauh dariku.Tanganku tidak bisa menjangkaunya, suaraku tidak keluar ketika aku ingin memanggilnya. Berat sekali tubuhku untuk bergerak. Tidak terasa air mataku mengalir.Aku takut melihat ek
Bab 55 Mas Irfan keluar dari ruangan dokter dengan wajah sumringah, langkahnya mantap mendekatiku. Sorot matanya bersinar penuh kebahagiaan.Giliran dadaku yang gemetar setelah tadi membaca pesan singkat dari Diana. Aku takut, merasa bersalah, karena yang membawaku ke klinik bukan Mas Irfan--suamiku, melainkan Andre.Pantas saja Mas Irfan marah besar dengan kejadian yang menyebabkan wajahnya nampak murung dan sedih, aku baru tahu sekarang.Setelah membaca pesan singkat dari Diana, aku baru paham kronologisnya. Rupanya aku jatuh pingsan dan ditolong oleh Andre kemudian dibawa ke klinik langgananku atas saran Diana. Sebelumnya Andre ingin mengabari Mas Irfan, tetapi tidak punya nomor ponselnya, sehingga minta tolong Diana untuk segera menghubungi Mas Irfan. Kemudian Andre mengajak Diana menemuinya di klinik supaya tidak ada fitnah kalau Mas Irfan menyusulnya. Kemudian mereka bertiga bertemu di klinik. Namun, ada salah paham diantara mereka. dan terjadilah pertengkaran itu. Seharusn
Bab 56"Nanti kalau istrimu sudah pulang dari rumah sakit, Ibu akan mengatakan sesuatu yang dulu sempat tertunda. Itu lo, tentang kamu dengan Nungky!"Suara Ibu sedikit kabur, tapi aku bisa menangkap dengan jelas kalimatnya. Seketika dadaku bergemuruh, tulang-tulangku seakan luruh."Kira-kira tentang apa ya?" gumamku.Kuatur nafasku dengan baik supaya tidak sesak di dada, emosiku juga kutata. Mataku terpejam membayangkan wajah Ibu mertua yang kukira sudah berubah dengan baik, ternyata ...Aku tidak mendengar jawaban dari Mas Irfan, karena laki-laki kesayangan Ibunya sudah berada di luar ruangan. Entah menjawab apa anak bungsunya itu.Kutatap bayi mungil yang kulahirkan beberapa jam yang lalu, kini masih tidur nyenyak di sampingku. Aku memandangnya dengan takjub, rasa bersyukur dan bahagia kutandai dengan butiran embun yang mengalir."Semoga kau menjadi anak yang soleh, berbakti kepada kedua orang tuamu dan menjadi orang yang sukses dunia dan akherat, Aamiiin." Lirih aku mendoakannya.
Bab 57Hari ini aku sudah dibolehkan pulang oleh dokter.Mas Irfan ikut membantu berkemas akan pulang kerumah, seharusnya aku membawa kebahagian bersama keluarga kecilku yang selama ini sangat kuimpikan.Namun, karena buket bunga dari Andre itu membuat Mas Irfan kembali meradang. Menurutku Andre seperti menyulut kemarahan Mas Irfan. Aku bingung bagimana caranya untuk menghentikan semua ini, supaya laki-laki halalku bahagia menyambut kedatangan buah hatinya, bukan malah sebaliknya."Jangan sampai ada barang yang ketinggalan." Mas Irfan mengingatkan dengan nada sedikit ketus.Netraku memindai ruangan memastikan kalau tidak ada barang yang tercecer."Sudah semua," jawabku juga singkat.Dalam perjalan dari rumah sakit menuju pulang jalannya macet, Mas Irfan selalu membuang muka keluar. Aku pura-pura juga sibuk dengan malikat kecilku yang kugendong.Terasa tegang, hatiku bercampur aduk tidak karuan tanpa bisa kuurai, bagaikan benang kusut yang tidak ada ujungnya. Kini Mas Irfan seperti