"Apa?! Cia kenapa?!"Seketika itu juga, rasa kantuk Kevan hilang begitu mendengar Omar dan Ziyad menyebutkan nama Ciara. Jantungnya berdebar setiap kali mendengar nama perempuan yang mengisi hatinya. Ziyad duduk di pinggir ranjang. "Nona Ciara ...." Ziyad menatap Kevan. Dia berbicara dengan penuh keraguan."Apa?! Kenapa sama Cia?! Apa si brengsek itu ngelakuin hal gila ke Cia?! Cepet jawab, Ziyad!"Ziyad tidak menjawab pertanyaan Kevan. Dia justru menatap Omar. "Kamu aja yang kasih tahu Tuan Kevan!" serunya pada Omar. "Nona Cia drop. Sekarang di rumah sakit Mitra Internasional Baubau. Coba periksa HP Anda! Barangkali ada pihak keluarga Darwin yang telepon."Omar bicara dengan cepat. Kevan mendadak panik. Dia beranjak turun dari ranjang."Astaga!"Kevan mencari-cari ponselnya. Dia bahkan lupa di mana meletakkan benda kecil itu. "Ya Tuhan! Di mana HP aku?!" Kevan marah. Dia ingin cepat-cepat tahu kabar Ciara."Tuan!" panggil Omar. "Ini HP Anda." Omar mengambil ponsel Kevan yang bera
"Nona Cia, kamu tahu nggak? Aku tuh yakin kamu bisa sembuh dan jalani aktivitas kayak biasa."Setelah Felicia pergi menyusul suaminya ke ruang dokter, Kevan duduk di kursi menemani Ciara. Sesekali dia mengusap punggung tangan Ciara dengan lembut. "Kamu itu cewek yang kuat, Non. Inget nggak, kita pernah naik gunung Terrano Mount? Kamu nggak ada capeknya sama sekali, Non."Meskipun Kevan tahu Ciara menutup matanya, dia tetap mengajak perempuan itu bicara. Dia seolah tidak ingin kehilangan kesempatan berdua dengan Ciara. "Kalau kamu tidur terus, siapa yang mau kasih makan gelandangan, Non? Ayo dong bangun!" Kevan mulai sedih. Dia mengingat senyum Ciara. Dia mengingat candaan Ciara dan segala hal tentang Ciara Darwin. "Aku janji deh, akan buat kamu terus senyum dan temani proses sembuh kamu. Gimana? Kapan lagi bareng Kevan yang ganteng ini. Iya, nggak?"Kevan bangun. Dia mengusap rambut Ciara. Dia mengambil sisirnya yang berada di dalam tas. "Aku bantu sisirin rambut kamu ya, Non?"
"Belum ada kabar apa-apa dari Deyan, Tuan," jawab Omar.Bersamaan dengan itu, ponsel lama Kevan bergetar. Dia segera mengambilnya dari dalam saku celana.Bima: Van, Nyonya Feli dan Tuan Rudi udah balik ke kamar Nona Ciara. Mereka tanya kamu.Kevan membaca pesan dari Bima. Dia segera mengetik pesan balasan.Kevan: Ya. Aku ke kamar Nona sekarang.Usai membalas pesan Bima, Kevan berdiri. Dia hendak pergi ke ruang rawat inap Ciara. Omar bertanya, "Apa Anda mau ke ruang rawat inap Nona Ciara sekarang?" "Iya. Kalian tunggu di bawah aja," jawab Kevan. "Ziyad, bunga pesenan aku mana?"Ziyad meberik buket bunga mawar kepada Kevan, "Ini, Tuan," katanya. "Oke.""Anda nggak apa-apa naik lift sendrian, Tuan?" tanya Ziyad khawatir. Raut wajahnya seakan tidak rela membiarkan Kevan pergi sendirian."Santai aja! Tuanmu ini sekarang sudah berteman akrab sama lift." Kevan cengengesan. Kevan berjalan menuju lift. Selama menjadi cucu pertama keluarga Hanindra, baru kali ini dia pergi tanpa asisten mau
'Kartu hitam. Kartu hitam. Aku bisa pakai kartu hitam Naga Merah itu.'Kevan mengingat kartu unlimited pemberian Christian. Dia pikir, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menggunakan kartu hitam naga merah.'Tapi, kalau Kakek tanya, gimana? Aku nggak mau pakai kalau belum terdesak.'Otak Kevan tidak bisa bekerja dengan baik. Dia kembali ragu. Dia terlihat pucat. "Kamu kenapa, Van? Sakit? Kamu balik aja ke rumah dan istirahat!"Mendengar suara Felicia membuat Kevan tersadar.'Ini bukan saatnya ngelamun. Gerak cepat, Van! Jangan sampai telat nolong Cia!' Hati kecil Kevan berseru menginginkan dia melakukan sesuatu dengan cepat. Kevan menoleh ke arah Felicia. "Aku nggak apa-apa, Nyonya. Aku kaget dengan penjelasan Nyonya dan Tuan," jawab Kevan dengan cepat. "Kalau boleh, aku izin pergi sebentar."Felicia mengangguk. "Ya, pergi aja."Kevan membungkuk. "Aku nggak lama, Nyonya, Tuan. Aku pasti ke sini lagi."Kevan melangkah pergi. Dia membuka pintu ruang rawat inap. "Eh, udah selesai,
"Memangnya kenapa?" tanya Ziyad. Ziyad dan Omar mengikuti arah pandang si pelayan yang tertuju pada Kevan. Mereka tahu maksud si pelayan. "Udah buatin aja! Masalah bayar mah gampang!" celetuk Kevan. "Aku yang bayar."Kevan yang masih sibuk bermain ponsel berseru dengan nada tidak senang. Dia tahu maksud si pelayan. Jeans belel denim dengan jaket merah yang bukan merupakan merk terkenal membalut tubuh Kevan. Belum lagi topi hitam polos yang dipakai Kevan membuatnya terlihat berasal dari kalangan bawah. Siapa yang tidak ragu melihat penampilan Kevan yang sangat sederhana seperti itu?"Tapi, Pak ...."Si pelayan tetap ragu. Sesekali dia melirik Ziyad dan Omar. Kevan jengah. Dia menyudahi main ponselnya. Dia mendongakkan kepala menatap si pelayan."Apa?" tanya Kevan sedikit kesal dengan respon pelayan.Mendapatkan tatapan tajam dari Kevan, si pelayan gugup. Dia bingung. "Cepet buatin kita Earl Grey!"Omar dan Ziyad diam. Mereka membiarkan Kevan berbicara."Tapi ...."Si pelayan tetap
"Rahasiakan identitas saya. Jangan beritahu siapapun bahwa saya yang membiayai semuanya. Apa bisa?"Ziyad yang sedang menyeruput teh pun terbatuk begitu mendengar permintaan Kevan pada staf rumah sakit Internasional Notherdam Fez. Begitu pula dengan Omar yang terbengong-bengong."Jika pihak keluarga Darwin bertanya, katakan saja bahwa pihak rumah sakit selalu melindungi privasi para donatur!"Kevan terdiam sesaat menunggu jawaban dari Natalie. "Saya yakin, pihak rumah sakit Internasional Notherdam Fez tahu bahwa perlindungan data itu sangat-sangat diperlukan. Dan, saya juga yakin pihak rumah sakit tahu, siapa keluarga Hanindra. Jadi, Anda tidak perlu ragu!"Nada bicara Kevan yang penuh penekanan membuat Natalie segera merespon perkataannya. Dia tidak ingin nama baik rumah sakit tempatnya bekerja tercoreng karena keluarga Hanindra."Baーbaik, Tuan Kevan. Saya paham. Saya akan koordinasi dengan staf terkait," balas Natalie. "Mengenai data-data yang kami perlukan, silakan pihak rumah sak
"Kita bicara di sana aja, Tuan, Nyonya. Saya nggak mau ganggu Nona Cia."Kevan menunjuk sudut ruang rawat inap Ciara. Rudi pun menyetujuinya."Ya. Ayo, Ma!" ajak Rudi. Dia bangun, lalu membantu istrinya berdiri."Ya, Pa."Kevan mengikuti langkah kedua majikannya sambil membawa dua buah kursi tadi. Mereka berdiri di sudut ruangan tepat di bawah jendela yang tertutup. Kevan meletakkan dua kursi sejajar yang menghadap kepadanya. "Silakan duduk, Tuan, Nyonya!""Makasih, Van," ucap Felicia sambil memaksakan senyum. "Kamu anak yang baik. Orang tua kamu pasti bangga."Kevan hanya tersenyum sebagai tanggapan Felicia. Kevan merasa malu karena sebenarnya dia tidak sebaik apa yang dipikirkan Felicia. Rudi membantu Felicia duduk, lalu dia pun duduk. Keduanya menatap Kevan."Kenapa, Van? Ngomong aja jangan sungkan gitu!"Kevan menghela napas sesaat. Dia menatap wajah Rudi dan Felicia yang tegang."Pertama, maaf banget kalau sikap saya lancang sama Tuan dan Nyonya," ucap Kevan sungguh-sungguh. "
"Ziyad, mana cake dan cincinnya?" tanya Kevan. Kevan berhasil membuat Rudi dan Felicia percaya pada Donatur Bayangan yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Sekarang, mereka sudah berada di bandar udara internasional kota Baubau. Prosedur pemindahan Ciara dari rumah sakit Mitra Internasional Baubau berjalan dengan sangat baik. Sebelum pesawat jet pribadi keluarga Darwin lepas landas, Kevan bertemu dengan Ziyad yang menyamar sebagai kru pesawat. "Ini, Tuan," ujar Ziyad sambil menyerahkan pesanan Kevan. "Apa paspor dan data Anda yang lainnya aman?""Aman. Kamu boleh pergi sekarang!"Kevan berbalik. Dia baru saja akan naik tangga, tetapi Ziyad berseru, "Sampai jumpa di negara Notherdam Fez!"Kevan tidak menoleh. Dia terus berjalan masuk ke pesawat jet.***Pesawat jet pribadi milik keluarga Darwin baru saja lepas landas 20 menit yang lalu. Cuaca baik seperti saat ini begitu dinantikan Kevan dan yang lainnya.Kevan melihat Felicia duduk di sisi kiri ranjang Ciara yang masih menutup mat