Terdiam dengan hati menjerit, sekuat tenaga kucoba menyadarkan otakku.
'Yuuki, aku mohon, alihkan pandanganmu!!'.. Tapi tak berhasil. Aku dalam situasi yang aneh, seperti dua orang yang saling bertolak belakang. Aku ingin menolehkan kepalaku tapi tak bisa melakukannya. Terdiam cukup lama aku berhasil sadar. Yang membantuku sadar adalah detak jantung ini yang berdegup dengan cepatnya. Suhu panas menjalar di kedua pipiku saat kak Hikaru mendekat. Santai ia malah meminta maaf. Tesss.. tesss.. Air jatuh dari rambutnya yang basah mulai kurasa dingin di wajahku. Aku menutup mata dan dengan cepat meraih handukku untuk masuk ke kamar mandi. “Maaf?? Karena membuatku kaget? Tu orang gak salah??” Gerutuku setelah kamar mandi kututup. Padahal kalo dia mau minta maaf bukan karena membuatku kaget bukan?? Ya aku salah juga sih. Kesalahan pertama, aku yang dengan percaya dirinya merasa kalau aku masih sendirian di kos. Kedua, aku tak melihat kamar mandi yang seharusnya tadi tertutup. Ketiga, aku yang tak bisa mengalihkan pandanganku darinya, yah kalo yang ini emang buruk banget sih.. Dan juga terakhir, aku malah kelabakan terjatuh saat ia mendekat sambil berteriak, "Jangan mendekat!", padanya. Ahhh, gila aku gilaaa!!!!! Hari ini penuh dengan kejutan.. Selesai mandi aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Bahkan semua kakak kos sampai datang mengetuk pintu kamarku. Walau hanya menanyakan keadaanku atau mengajakku untuk makan. Keteguhanku untuk tak bertemu kak Hikaru bertahan sampai hari berikutnya. Mau gak mau aku harus keluar kamar karna aku harus berangkat sekolah kan? Tapi sayangnya, mentalku masih saja belum mampu. Aku memilih untuk bangun mandi pagi dan berangkat lebih awal ke sekolah. Lapar tentunya. Karna takut berisik di dapur, aku jadi mengeluarkan uang untuk beli makanan di minimarket. "Sepi banget sekolah di pagi hari.. Ya mau gimana la-" "Selamat pagi, Yuuki." "Uwaa- Ahh maaf.., aku kagetan .." "Gapapa, bukan hal buruk kok kagetan. Santai aja." Jawabnya tersenyum. "Ehh iya, selamat pagi juga.. emm.." "Michio." "Hehe, pagi juga.. Maaf ya aku kurang bisa menghafal nama orang dengan cepat." Ucapku yang sebenernya cuma alasan doang sih karna aku kehabisan ide. Tapi untungnya, ia tampak mengerti seakan percaya dengan ucapanku. Aku masuk kelas bersamanya dan duduk di meja masing-masing. "Aa--" Ucap kami serentak. "Onigiri..??" Kami sama-sama mengeluarkan satu buah onigiri dari kantong plastik. Menertawakan sesuatu yang remeh dengan orang lain ternyata seasik ini. Karena hal ini aku jadi mengobrol dengannya. "Tapi..,” ragunya, "k-kamu gapapa?" "Gapapa tentang apa?" "Kyohei. Kalian berteman lama bukan?" Aku menjawab sambil terkekeh menutupi rasa sakit yang kusimpan. Kenapa dia harus bertanya seperti itu ya, membuatku takut saja kalau perasaanku pada Kyohei segitu ketaranya di mata orang lain. Dia hanya tersenyum menjawab, "syukurlah.." Lalu tiba-tiba, "kalian berangkat pagi-pagi kok gak ajak-ajak sih.." Aku sedikit tersentak. Terlihat Shima disana, hadir dengan ekspresi cerianya itu. Kami saling sapa dan berbagi alasan berangkat lebih awal di hari ini, hanya aku saja yang tak beralasan. Dua orang ini saling bertatap ragu tapi tak mendesakku untuk berkata yang sejujurnya. .. Suara bel menggema di seluruh sekolah tanda jam pulang tiba. Beberapa anak yang memiliki jadwal piket dengan segera bersiap untuk membersihkan kelas, mereka yang tak piket langsung menuju ke ruang ekstra masing-masing. Karna mulai hari ini aku masuk ekstra musik bersama Shima, aku berniat untuk menunggunya selesai piket. Tapi, Souta mengajakku untuk ikut langsung dengannya saja. Diperjalanan ke ruang musik, aku merogoh ponselku di saku. Aku mengirim pesan pada kak Aimi, satu-satunya kakak kos cewek di rumah. Kukatakan padanya kalau aku mulai mengikuti ekstra mulai hari ini. Bersiap, aku dilatih beberapa hal dan mereka memutuskan untuk mengajariku keyboard piano. Kata kak Masao, aku lumayan terlihat jago di alat itu. Shima yang muncul di pertengahan kegiatan langsung membaur dengan mudahnya. Seusai ekstra, semua orang membereskan peralatan musik masing-masing. Kami keluar sekolah bersama setelah mengembalikan kunci ruangan. Saat berjalan bersama seperti ini, terasa sekali perbedaan tinggiku dengan mereka. Ah ya, sepertinya aku lupa mengenalkan anggota lainnya, sebenarnya ada beberapa anak lagi dalam ekstrakurikuler musik tapi terbagi menjadi beberapa bagian. Karena yang sering berlatih anak-anak band, hampir setiap saat ruang ekstra mereka yang pakai. Dalam band ini, anak kelas satu hanya aku, Souta dan Shima. Sedangkan dua lainnya senior kami. Kak Kenta sebagai drummer dan satunya, kak Masao sebagai gitaris. Eh iya, kembali lagi ke pembicaraan tinggi badan, aku dengan Shima saja yang paling pendek diantara mereka masih berjarak jauh. Apalagi dengan kak Kenta yang paling tinggi disini. A- kak Masao juga tak kalah tingginya sih, ia dengan Souta sangat terlihat selisihnya. 'Leherku bakal sakit kalo keseringan sama mereka sih..' Shima mengetuk bahuku kemudian menunjuk ke suatu arah, "Orang itu, kayanya dari tadi melihat ke arahmu..?" Sontak aku mundur kelabakan, kak Hikaru berdiri melambaikan tangannya padaku saat aku melihatnya. "Yuuki? Kenapa?? Kamu gak kenal dia?!" Bersambung.."A-ah gak, gak gitu. Kenal kok, aku kenal dia." Mereka terlihat bingung. Daripada harus menjelaskan banyak hal yang memalukan, aku memutuskan untuk berpamitan pada mereka dan menghampiri kak Hikaru dengan cepat. POV AUTHOR.. Mari kita mundur ke beberapa jam sebelumnya sebentar.. Empat orang makan dengan keheningan yang menjalar kesetiap sudut ruang. Hanya suara sumpit yang mengiringi, menyentuh mangkok dengan halusnya. Aimi berdecak, "Bisa berhenti gak diem-diemannya! Apaan sih kalian, tanya tinggal tanya," ia menunjuk Hikaru kemudian, "kamu juga! Kalo ada apa-apa tuh ngomong jangan sok kalem gitu!" Dengan polosnya Hikaru meminta maaf, ia hanya bercerita tentang kejadian kemarin sore. Tiga orang temannya menganga penuh heran. "Kamu lupa dia masih anak SMA?" "Maksudnya?" “Kamu tu tinggal bareng dua cewek, Ru. Aku sih gak masalah, karena kiita udah bareng dari kecil. Yuuki itu orang baru loh di hidup kita, apalagi dia masih anak-anak.” Terang Aimi dengan bijakn
“Saya akan bekerja keras sebaik mungkin!!” “Hehe, mohon bantuannya ya, Yuuki..” Setelah kemarin datang dan mengajukan diri untuk bekerja di sebuah toko buku, hari ini aku berangkat full dua shift. Toko buku ini bukan toko yang besar, tapi banyak hal yang berharga ada disini. Kalau bukan demi uang, aku beli buku-buku ini. Barusan saja, aku berkenalan dengan karyawan yang akan kugantikan selama libur. Aku diajari berbagai hal dari sebelum toko buka sampai solusi-solusi dalam menghadapi pelanggan yang ada. “Pekerjaan apapun itu bagian dari kehidupan. Tak akan lepas dari masalah. Jadi, siapkan mental dan percaya saja bahwa nantinya, semua masalah yang kamu hadapi akan berlalu.” Imbuhnya. Aku terus berkeringat karena gugup, tapi untunglah aku bisa mengaturnya dengan baik. Sekuat tenaga mengontrol suara dan kalimat bicaraku dengan pelanggan. Pintu toko terbuka, kuucapkan sapaan selamat datang namun terhenti. Karena orang itu adalah Michio, ia juga kaget saat melihatku. Biar
"Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja." "Gapapa, lagian ini bukan wilayah kami jadi tak sopan jika kami bertindak seenaknya seperti itu." Aku mengangguk menyapanya saat kami bertatapan, tapi dia alihkan pandangan matanya itu dengan cepat. Diam, aku mendengarkan saja dua orang ini mengobrol. Untungnya Michio memahami posisiku, ia menutup obrolan lebih dulu dan pamit untuk kembali ke kelas. "Kalian udah kenal dari lama ya?" "Ah, ya.. Kami tetanggaan, dan satu SMP juga sih." Aku hanya memberinya anggukkan karna kurasa tidak sopan jika bertanya lagi, tapi orang ini malah dengan sukarelanya memberitahu, "Emm sejak kapan ya, akhir sekolah dasar sepertinya, dia mulai menunjukkan rasa yang lebih dari teman. Tapi sampai sekarang, ia tak pernah mengatakannya. Aku sendiri juga gak berani untuk membuka pintu yang ia tutup rapat." "Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat menutupi. Tapi sebenarnya ia sudah dengan sekuat tenaga menahan perasaannya."
“Yuuki? Yuuki Yuukiii?? Kenapa kamarnya dikunci dah ni anak..” Aku tak menjawabnya karena takut. Bisa-bisanya aku tertidur begitu saja setelah lelah menangis. Sambil menutup rapat mulut dengan dua tangan, aku mendengar samar suara kak Usa yang berkata pada kak Aimi kalau kemungkinan aku sudah tidur dengan lelapnya. Setelahnya langkah kaki mereka terdengar mulai menjauh. Penuh hati-hati, aku melangkah ke lemari pakaian dimana cermin besar menempel di pintunya. Tentu saja mataku terlihat dengan jelas kalau bengkak, aku tertidur setelah menangis. Memilih untuk duduk di lantai dengan lutut yang kupeluk erat, aku menunggu beberapa waktu sebelum kembali tidur agar mata ini tak semakin membengkak. Dingin dan gelap, tapi aku seperti menikmati dengan perasaan tenggelam di dalamnya. Mungkin memang benar kalau aku tenggelam, tapi aku bisa bernafas disana. Jadi aku merasa nyaman tanpa perasaan ingin keluar dari kegelapan ini. Cukup lama aku hanya terdiam dengan posisi yang sama, bayang
“Jemput kamu.” “Hah?!” Langkah yang tenang itu terhenti, ia balikkan badannya, “je-m-put ka-mu.” “Ya ampun. Gila kamu, Hei? Aku juga denger kali. Maksudnya ngapain kamu kesini gitu aja, selain itu kamu punya pacar dan selama ini juga jaga jarak ke aku.” Ia terdiam mendengar pernyataanku. Namun dengan percaya dirinya, ia tarik lenganku dan berkata, “Buruan, kita udah telat berangkat, nanti sampe sana bisa-bisa udah pada mulai latihan.” Ahhh,, bodoh bodoh bodohh!!! Bisa-bisanya, aku cuma nurut gitu aja dan malah teringat masa-masa kami berteman dulu. Bayangan masa lalu itu buyar saat suara klakson mobil terdengar. Dengan cepat kulepaskan tanganku dari genggamannya. Sengaja aku beralasan ingin ke toilet saat kami sampai di sekolah. Tentu demi menghindari masuk kelas bersamanya. Entahlah sepertinya, ini akan jadi hari sial untukku. Jika tadi karena kedatangan Kyohei yang tiba-tiba, sekarang malah ketemu kak Imada di toilet. Aku terlalu canggung untuk menyapa
Lelahnya menahan malu dan rasa sakit, aku berjalan pulang dengan malas. Perlahan mulai overthingking akan hari yang belum terjadi. “Yuuki.” Lirih seseorang yang ternyata Michio. Kami mengobrol cukup lama sampai akhirnya aku baru ingat kalau rumahnya kan nggak searah dengan kosku. Aku mengatakan padanya siapa tahu dia juga lupa, tapi dia malah bilang memang mau mengantarku pulang. “Eh iya, kamu gak masuk angin karna tadi kan?” Aku menggelengkan kepala dan memberitahunya tentang apa yang terjadi di pagi hari tadi. Ia hanya merespon seadanya saja, tapi aku cukup puas sih dengan reaksi yang ia berikan, karna ia tak menghakimi ataupun bertanya banyak hal. Mulai tak ingin membahas Kyohei lebih lanjut, aku mengalihkan pembahasan sampai kami tiba di depan kos. “Udah sampe loh,” kataku sambil menunjuk kos. Michio tiba-tiba mengatakan kalau aku menginjak sesuatu, spontan aku menundukkan kepalaku. Tapi,.. “Kamu udah bertahan dengan baik ya..” Lirihnya sambil meletakkan tangannya
“Jadi? Kamu mau cari apa dan buat siapa?” Shima berdehem, “ah tau dah bodoamat! Untuk siapanya, aku belum bisa kasih tau. Tapi, yang jelas buat cewek. Kalo untuk cari apanya, aku belum tau mau beliin apa, makannya aku minta temenin kamu.” Dasar ini anak, terkenal di semua kalangan tapi urusan gituan aja kaya susah banget nentuinnya. Tapi yah mengeluh seperti apapun, nyatanya aku malah semakin terbiasa dengan semua kelakuan Shima. Biarpun begitu aku sangat bersyukur karena dia selalu berusaha ada untukku jadi aku tak merasa sendiri. Tapi aku jadi sering menerima tatapan-tatapan tajam dari banyak cewek. Baik di sekolah, maupun di luar saat bersamanya. Aku membantunya memilih beberapa barang atas kriteria orang yang akan diberinya, tapi Shima terlihat sangat serius dalam memilih, sampai aku sekilas berfikir betapa beruntungnya cewek yang sedang dipikirkan olehnya.. Beberapa menit ia terpaku pada barang yang sama, bahkan aku sempat meninggalkannya untuk melihat-lihat barangk
“I-ini bukan tentang aku sih tapi, aku cuma jadi bingung aja karena emm apa itu namanya, ahhh aku jadi perantara buat temenku aja..” Hiromi mengangguk mengerti, ekspresi wajahnya itu seakan dia sangat menantikan kelanjutan ceritaku ini. Aku bercerita padanya tentang paperbag Shima yang masih ada padaku. Kenyataannya pagi ini aku tak bisa meletakkan di mejanya begitu saja. Tentunya aku tak menyebutkan Shima ataupun namaku sendiri. “Bukannya itu karena si cowok emang mau ngasih si cewek dari awal? Kenapa bisa ka-ah maksudku temenmu itu malah salah sangka mengira itu hanya akting?” “Ya lagian kalo kata si temenku ini, dia itu gak berbuat sesuatu yang membuatnya diberi hadiah sama si cowok ini..” “Dari si cowok juga gak ada omongan apapun setelah itu?” Aku menganguk. Hiromi menunjuk jari telunjuknya di depanku, “nah itu, kalo itu emang akting harusnya dia bakalan tagih tuh barangnya. Kalo misal ka- ekhm maksudnya kalo misal emang temenmu itu penasaran harusnya dia tanya b