Di sebuah masjid megah nan mewah, seorang pemuda keturunan Mesir tengah melantunkan ayat suci alquran dengan begitu merdu sehingga membuat para jamaah yang menghadiri acara tausiyah di masjid tersebut merasa terbawa emosi. Tangis haru menggema menyatu dengan kalam ilahi yang terpantul sangat indah.Hingga tanpa sadar saat bacaaan ayat berakhir, para jamaah masih terdiam menghayati bacaan yang telah tiba pada surat-surat pendek.“Masyaallah, sungguh indah sekali bacaanmu, Mas Attar,” seru salah satu pemuda yang merupakan seorang pengajar di pesantren.“Alhamdulillah,” jawabnya singkat. Dia memang tidak suka dipuji meski memiliki kemampuan yang mumpuni dalam suatu bidang. Merasa telah selesai menjalankan kewajibannya untuk mengisi bagian qiroat atau membaca Alquran, Attar menoleh dan memberi isyarat pada ustaz lain untuk meneruskan kegiatan tausiyah tersebut tanpa dirinya. Cukuplah Attar yang memiliki peran sebagai seorang qori.Attar mempercepat langkahnya keluar dari masjid tanpa men
“Honey, apa kau merasa haus?” tawar Kinan pada Jonathan yang kini tengah berbaring di ruang pemulihan.“Boleh, Sayang. Aku haus sekali,” jawab Jonathan dengan suara yang berat.Dengan sigap, Kinan langsung membuka tutup botol mineral dan menuangkannya pada gelas yang sudah diberi sedotan terlebih dahulu.Meskipun letih, Kinan adalah seorang istri yang begitu menyayangi suaminya. Dia rela terjaga saat malam demi baktinya merawat sang suami yang tengah sakit.Lukisan dua lingkaran hitam terlihat jelas di bawah matanya.Jonathan bangun dan bersandar. Dia langsung menerima segelas air minum dan menenggak nya perlahan. Sesaat kemudian, dia meraih tangan istrinya yang memegangi gelas bekas dirinya minum.“Sayang, maafkan aku yang selalu membuatmu kesusahan untuk merawatku,” lirih Jonathan dengan mata berkaca-kaca. Jonathan merasa bersalah, penyakitnya membuat istrinya menderita. “It’s okay, Honey,” jawab Kinan dengan melengkungkan senyum tipis. Dia terlihat kurang tidur.“Terima kasih suda
Saat ini Nuha merasa sangat malu. Bukan malu karena auratnya terlihat oleh adiknya. Namun ada lukisan abstrak yang dia sendiri baru pertama kalinya temukan di area leher dan tulang selangka.“Teteh ayo cepat buka kancing kemejanya, bagaimana bisa aku kerokin Teteh dan pijitin kalau Teteh tak mau membuka. Lagipula gak ada siapa-siapa.”Salwa menarik-narik kerah kemeja gamis yang Nuha pakai. Nuha masuk angin sehingga beberapa kali dia muntah dan pusing. Untuk meredakan masuk angin dia biasanya minta dikerok atau dipijat oleh umminya. Namun karena Aruni sedang ke kebun dan kebetulan hanya ada Salwa yang pulang sekolah lebih awal karena para guru tengah mengadakan rapat, Nuha meminta bantuan Salwa untuk mengerok bagian lehernya.Tak mungkin Nuha meminta bantuan Darren yang tak percaya soal pengobatan mujarab yang turun temurun tersebut. Darren pergi untuk menyelesaikan masalahnya dengan seseorang secara mendadak. Namun dia tak memberitahu masalah yang menimpa dirinya pada Nuha. Dengan ala
Para pelayan dan seorang coach yang menjadi juri pertandingan memanah menatap Attar dan Darren dengan raut cemas. Baik Darren Dash dan Muhammad Attar tengah beradu mulut di lapangan tersebut. Tentu saja tema yang mereka bahas ialah soal Mariyam Nuha.Meskipun Attar telah menikah dengan Maesarah Basri, rupanya dia masih memiliki keinginan untuk memiliki Nuha seutuhnya. Cintanya hanya untuk Nuha. Attar sudah tidak peduli tanggapan orang lain tentangnya. Attar tidak rela jika Nuha dimiliki oleh mitra bisnisnya. Dia merasa tersiksa setelah kehilangan Nuha.“Pak Zak, bagaimana ini? Jika mereka terus bertengkar tak menutup kemungkinan mereka akan beradu otot. Lihatlah ke duanya berbadan besar dan sama-sama menguasai ilmu bela diri, apa yang akan terjadi?”Salah satu pelayan menghampiri coach memanah dan mengutarakan kegelisahannya saat melihat Attar dan Darren.“Tapi ini akan menjadi perbincangan dan berita yang seru. Dua orang pengusaha tengah bertengkar …” kata pelayan yang lain.“Kalian
Sang ibunda begitu murka sangat mengetahui jika putranya yang begitu didamba-dambakan karena kecerdasan dan perangainya yang baik, Muhammad Attar bisa-bisanya melakukan sebuah taruhan demi mendapatkan apa yang disebut pepesan kosong, menurutnya.Muhammad Attar menangkup malu tatkala sang ibu menampar wajahnya di depan rivalnya, sang ibu telah berhasil menghancurkan harga dirinya sekaligus mempermalukannya.“Ummah …” lirih Attar tak terima mendapat perlakuan kasar dari ibunya. Sudut bibirnya berdarah saking betapa keras tamparan sang ibu padanya.“Ummah tak pernah mengajarimu untuk menjadi seorang pecundang! Ummah malu punya anak sepertimu!” ucapnya dengan geram dan memandang sang putra dengan tatapan yang tajam.Setelah menampar putranya Hj Rohana berbalik lalu tersenyum tipis pada Darren Dash.“Mohon maaf sebesar-besarnya Pak … um …”Hj Rohana mencoba mengingat nama asing, putra dari mitra kerja suaminya, Jonathan Dash.“Darren …” ucap Darren menimpali Hj Rohana.“Ah, ya, I am so sor
Seketika Nuha terkesiap mendapati sang suami tengah ikut tidur di sampingnya beralaskan karpet. Pasti Darren tak berani membangunkannya. Hatinya mencelos mengingat seorang pengusaha atau pimpinan perusahaan besar yang menjadi suaminya tengah tidur di sebuah rumah sederhana bahkan beralaskan karpet.“Aduh, Mas Darren ngapain coba ikut tidur di sini. Apa dari tadi bangunin aku tapi aku tak bangun-bangun?”Nuha menaruh jari telunjuknya pada pelipisnya.Nuha merasa iba melihat Darren, seorang anak sultan, pengusaha yang tak tanggung-tanggung kekayaannya yang melimpah, tidur di sana menemaninya.“Mas Darren,” lirih Nuha tetapi tak direspon.Nuha memposisikan tubuhnya agar sejajar dengan suami, tidur menyamping. Dia menjadikan kedua tangannya bantalan dan menatap suami berlama-lama.“Tampan …” gumam Nuha mengamati setiap inci wajah suaminya yang sudah tak bisa diragukan lagi ketampanannya.“Sudah menatapnya? Aku tampan dari lahir,” ucap Darren tiba-tiba membuka matanya dan menyematkan senyu
Suasana lapangan sebuah rutan yang terletak di Bogor terasa mengerikan setelah melihat salah satu tahanan yang tergeletak di atas lapangan berumput sintetis tersebut dalam keadaan bersimbah darah. Darah begitu mengalir deras menggenangi lapangan termasuk membasahi pakaiannya.Seorang pemuda berwajah kalem dan berambut pendek teriak panik tatkala melihat sosok yang bersimbah darah itu ialah sahabatnya. Tubuhnya seketika rubuh di dekat sosok itu dengan air mata yang saling berlomba menetes melewati ekor matanya.Beberapa detik kemudian kewarasannya muncul lalu dia kembali berteriak.“Tolong! Dia terluka …” pekiknya dengan suara yang lantang, bergetar dan penuh ketakutan.Sejatinya tak ada satupun yang bersedia menolongnya. Orang-orang yang tadi menjadi penonton acara pertandingan bola basket kini hanya bisa bungkam dan diam tergugu tanpa kata. Barangkali mereka takut atau tak berani menolongnya.Dengan perasaan yang berkecamuk, Huda berinisiatif menggendong tubuh sahabatnya tersebut mes
Melihat raut wajah Darren yang terlihat syok, Nuha menyentuh lengannya dan mengguncangnya pelan.“Mas, sebenarnya ada apa?” tanya Nuha tak kalah panik.“Daniel kritis. Sekarang berada di rumah sakit,” jawab Darren berusaha tenang. “Aku akan ke rumah sakit sekarang. Kau tunggu di rumah,”“Gak Mas. Aku kepengen ikut,” ucap Nuha ikut bangkit mengikuti suami berjalan menuju ambang pintu.Darren terdiam sejenak tetapi dia juga tak ingin meninggalkan Nuha di rumah meski hanya ada Bik Sumi dan pelayan yang lainnya.“Baiklah, ayo!”Darren menautkan jarinya pada jari Nuha, menuntunnya menuju mobil yang berada di area carport.Mereka tiba di rumah sakit setengah jam kemudian.“Kau tunggu di sini ya Sayang,” ujar Darren melepas seatbelt dari tubuh Nuha. Dia menatapnya dalam lalu mengecup keningnya. “Aku hanya sebentar. Jika Daniel sudah masuk ruang perawatan kita bisa ke sana,”“Iya, Mas, aku akan menunggu di sini. Tapi … aku sebenarnya juga ingin membesuk Daddy. Sayang, rumah sakitnya berbeda,”