Aku masih tak kunjung mendapat pekerjaan. Di rumah mertuaku, aku dipandang layaknya benalu. Padahal aku tak mengganggu siapapun. Sengaja aku tak banyak bicara di rumah. Itu agar aku tak serba salah. Namun, aku diam nyatanya masih membuat serba salah. "Zulfi, ini bajumu dicuci!""Nanti, capek aku baru pulang kerja."Mertuaku siang itu mengingatkan Zulfi. Ia menyuruhnya untuk mencuci bajunya. Zulfi memang belum belum menikah. Sehingga tak ada istri yang mengurus keperluannya. "Carikan istri buat Zulfi, Bu!" Ujar Mbak Namira."Susah mau carikan dia yang kayak gimana.""Jodohkan sama anak pak RT saja. Dia santri loh. Kayaknya mau sama Zulfi. Santri loh!"Suara mbak Namira seakan lantang menyebut santri. Aku juga ikut mendengarnya. Maklum, aku tengah mencuci piring kala itu. Dia memang menyukai santri. Mas Hakim memang latar belakangnya dari keluarga kyai. Terlebih lagi aku bukanlah seorang santri. Namun sayangnya, mereka kurang suka dengan cadar. Terlebih yang berpenampilan sunnah. Di m
"Jadi istri itu seharusnya membantu tugas suami. Aku saja sedang hamil, masih bisa cari uang.""Ssst.. nanti kedengaran Tazkiyah!""Biar saja, Bu. Dia gak bosan, di rumah terus? Kalau aku gak bisa loh, Bu. Berdiam diri hanya di rumah. Kegiatan tidak ada. Coba cari uang, bantu suami. Ini Hakim sudah kerja dari pagi sampai sore. Minggu saja, dia masih sempatkan privat."Mbak Namira tak putus membicarakanku.Kenapa dia serisih itu denganku?Pertama soal aqidah, kini kerjaan. Sikapnya membuatku tambah tak nyaman disini."Orang kayak gitu pemalas." Ungkap Mbak Namira."Yah, sudah. Terpenting dia sudah bantu ibu di rumah.""Lagian aku heran. Ngakunya sarjana, masih gak kerja juga."Teramat sakit aku mendengar perkataan mbak Namira. Segitu bencinya ia padaku. Itulah yang membuat aku menutup diri. Aku segan berkumpul bersama mereka. Aku tak berani lagi bicara dengan mbak Namira. Siang itu, mas Hakim pulang cepat. Aku merasa senang. Lalu kuhampiri ia dan kusalami tangannya."Tumben pulang cep
Aku sangat tak nyaman. Mbak Namira selalu bersikap buruk padaku. Rasanya ingin pergi dari sini. Namun aku tak bisa. Pukul setengah sembilan malam ia baru pulang. Setelah mas Hasan suaminya membujuk ia. Aku masih saja termenung disini. Tak habis pikir terjadi malam ini. Ketika kami baru pulang. Keesokan harinya mas Hakim berangkat kerja. Aku di rumah membantu mertuaku. Setelah sarapan dan cuci piring, lanjut menyapu. Kulihat Ivy baru bangun dari tidurnya. Ia langsung menonton tv. Aku pun tengah menyapu. Saat itu kusapu bagian bawah kursi. Sapu yang kupegang seperti menyentuh sesuatu. Lantas kutarik dan kutemukan sebuah pakaian. "Apa ini?""Itu bajunya mbak Namira gak?" Ujar Ivy. "Kamu yakin ini bajunya? Mbak temukan di bawah kursi panjang ini. Terselip di pinggir dinding." Ungkapku."Berarti ini bajunya!""Yah sudah, disimpan saja. Nanti serahkan ke mbak Namira. Dia mau pakai kan?""Hari ini kok pakainya. Tapi kotor gini. Yah sudah kutaruh saja ke cucian kotor.""Nanti mbak Namira g
Di kehamilan pertama ini, aku merasa mual. Seluruh badanku tak enak. Mau makan apapun, aku tak suka. Hanya ada beberapa makanan tertentu yang kuinginkan. Makan nasi pun tak selera. Pagi ini aku sudah beraktivitas. Walaupun sudah diingatkan, terpaksa kulakukan. Ibu mertuaku setiap paginya pergi ke sawah. Ia mengurusi sawahnya. Meskipun ada pekerja. Tapi ia menjadi lebih repot, ketika suaminya tiada. Ivy selalu kesiangan bangunnya. Itu sebabnya kukerjakan tugas rumah sendiri. Padahal ia sudah tahu aku hamil. Namun Ivy masih tak berubah. Mungkin ini memang nasibku di rumah mertua."Ivy!" Tiba-tiba mbak Namira datang. Aku mulai memasang sikap segan padanya. "Baru bangun kamu?" Tanya Mbak Namira pada Ivy."Yah, Mbak. Tadi malam aku mengerjakan tugas kuliah.""Palingan kamu habis main ponsel semalaman.""Hahaha. Mbak tahu darimana? Aku sekalian mengerjakan tugas kok, Mbak.""Gak percaya.""Daripada bosan. Itu apa, Mbak?""Oh ini, aku bawa sayur terong hasil kebunku. Ini dimasak nanti yah
"Ivy!""Yah, Bu?""Sapu halaman sana. Jangan Mbak Tazkiyah terus. Dia lagi hamil muda gitu!""Aku ngantuk, Bu. Semalam banyak tugas kuliah.""Ya. Tapi sempatkan dulu. Ibu mau ke pasar. Belanja bahan makanan habis. Nanti digoreng ikannya, buat sambalnya.""Banyak banget, Bu.""Harus dikerjakan yah!""Ya.."Mertuaku pergi pagi ini. Dia berniat mau ke pasar. Di rumah, aku hanya berdua dengan Ivy. Ia menyapu halaman sendiri. Aku hanya diizinkan mertuaku menyapu dalam rumah dan masak. Ivy tampak sibuk sekali menyapu halaman. Kemudian ia lanjut cuci piring. Aku tak enak hati dengannya. Ivy cemberut saja, tatkala harus mengerjakannya. Ingin kubantu, namun mas Hakim melarangku. Ia sudah berpesan agar aku tidak kecapekan. Pakaian kotor sudah dicuci mas Hakim. Sementara aku hanya tinggal menjemurnya. Seharian aku tak berani menegur Ivy. Ia tampak sangat cemberut terus. Aku jadi merasa segan disini. Merasa serba salah semuanya. Akhirnya kuputuskan mengerjakan aktivitas rumah. Mas Hakim belum pul
Di rumah sakit aku dirawat inap tiga hari. Mas Hakim jadi bolak-balik bekerja. Sementara tak ada yang menemaniku di rumah sakit. Penjenguk pun tak ada. Hanya mertuaku yang mengantar saja. Saat di ruang inap, aku butuh bantuan. Sakit yang kualami, tak mampu membuatku bangkit. Aku butuh bantuan perawat mengantarku ke toilet. Namun, kondisi ruangan begitu sepi. Aku menanti perawat yang masuk. Ketika itu ada perawat yang masuk ke dalam ruangan. Syukurlah, aku akan minta bantuan padanya. Sangat tak tertahan lagi mau ke toilet. Saat ingin minta tolong, perawatnya tiba-tiba langsung keluar. Betapa kecewa sekali aku. Seolah perawatnya tak mau aku mintai pertolongan. Akhirnya mas Hakim masuk ke ruangan. "Mas, aku mau buang air kecil. Sudah tak tahan lagi.""Kenapa gak dari tadi?""Gak ada yang menolongku. Tanganku ada inpusnya.""Kan bisa minta tolong perawat tadi.""Aku mau memanggilnya tadi. Tapi dia malah langsung pergi.""Gak mungkin.""Benar, Mas.""Ayo kuantar. Tapi kayaknya ada orang d
Hidup disini membuatku tambah tak betah. Padahal aku sudah berusaha untuk disini. Semua sudah kukorbankan. Bahkan sampai aku jauh dari keluargaku. Namun, tak sedikitpun mereka yang menghargai. Hanya ibu mertuaku yang kadang mengerti. Mas Hakim pun tak menghargaiku. Apalagi semenjak aku keguguran. Aku merasa tak ada artinya disini. Pekerjaan pun tak kunjung kudapatkan. Aku juga telah kehilangan anak. Aktivitasku disini hanya membantu di rumah. Sekarang juga mengasuh anak mbak Namira. Ia masih belum kembali ke rumahnya. Kondisinya belum begitu pulih. "Melamun saja kau ini.""Aku tak ada kerjaan lain, Mas Hakim. Mau cari tak kunjung dapat.""Mangkanya kalau diinterview itu harus bisa.""Aku sudah berusaha semampuku. Ini kenyataannya. Kadang mereka butuh pengalaman yang lebih.""Kalau kamu masih susah cari kerja, tak usah lagi interview. Hanya buang-buang waktu saja!""Tapi Mas..""Sudah, kamu di rumah saja. Bantu apa yang bisa kamu bantu. Daripada mencari sesuatu yang tak jelas."Aku m
"Aku tidak bisa kesana. Ada banyak pekerjaan. Walaupun libur sekolah, aku masih sibuk.""Yah, sudah. Biar aku sendirian saja.""Kau yakin?"Mas Hakim akhirnya memberitahukan kepada ibunya. Ia menyampaikan keinginanku untuk pulang. Jelas mertuaku tak setuju. Terlebih lagi aku ingin pulang sendirian. "Jangan dulu, Hakim. Pulang sendirian juga nanti di jalan gak baik. Dia itu bukan asli sini!" Ujar Ibu Mertuaku."Mau bagaimana lagi, Bu? Dia sendiri yang mau pulang." "Kasih tahu Tazkiyah. Jangan pulang sendirian. Pulang bareng kamu juga gak bisa. Kamu mau kerja kan?""Ya. Aku sudah bilang begitu. Tapi dia tetap kekeh ingin pulang sendiri.""Biar nanti Ibu yang ngomong ke dia."Besoknya aku memang diajak mertuaku bicara. Ia bicara banyak padaku. Termasuk menyinggung rencana kepulanganku. "Kamu mau pulang ke Sulawesi?""Rencananya iya, Bu.""Disini saja. Disini rame, banyak keluarga. Tempatmu sepi kan? Hanya ada ibu dan ayahmu.""Iya, Bu.""Disini saja. Hakim juga sibuk bekerja. Kasihan