"Makin kesini kok makin aneh ya?" Ardi melirikku. Saat ini kami sedang menunggu waktu berbuka di sebuah kafe dekat apartemen. "Mana ada yang sejak pagi hindar terus," tambah Miranda juga mengarahkan tatapannya padaku. Setelah selesai pertemuan tadi aku memang berusaha menghindar dari ketiga orang ini. Karena tugasku telah seleksi aku pun mencari pekerjaan di tim lain. Sepanjang hari aku mengikuti Devi dan timnya. Mereka juga termasuk dalam proyek penelitian kali ini. Nathan memang tak bersuara namun tatapannya juga mengarah padaku. "Ck.... aku semakin curiga sama si Putra itu." Miranda kembali berbicara. Spontan memutar mataku jengah. Lagi-lagi Putra jadi sasaran. Kecurigaan pada pria itu kembali mencuat setelah tadi Elgar mengatakan kemungkinan dirinya tidak akan bisa datang untuk melihat perkembangan proyek ini dikarenakan kesibukannya dan dia akan menyerahkan segala urusan pada Putra. Dia akan mewakilinya. "Jangan-jangan Putra yang menjadi donatur hanya saja Mr. Elgar yang j
Tidak, aku harus menghubungi Nathan. "Halo, tadi pagi aku sudah minum obat kan?" tanya saat sambungan tersambung. [Sudah. Kenapa?]"Kurasa aku berhalusinasi."[Abaikan. Minum obatmu dan tidurlah. Bla bla bla........]Aku tidak lagi fokus pada apa yang dikatakan oleh Nathan saat sosok di depanku berjalan mendekat, memangkas jarak diantara kami. Kubiarkan tangannya mengambil alih ponselku. Seketika aku menahan nafas saat wajah tegas itu semakin dekat. "Ini benar kamarmu, dan kamu juga tidak sedang berhalusinasi." Ucapnya tepat di depan wajahku. Satu detik..... dua detik, "Elgar," sentakku mendorong pria itu menjauh. Elgar tertawa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Menemu istriku," jawabnya santai lalu kembali duduk diatas tempat tidur. Ish.... istri katanya. "Jangan gil* kamu! Cepat keluar," kutarik tangan pria yang sekarang tengah berbaring. "Aku sangat lelah, izinkan aku tidur sebentar." Tak peduli, aku menariknya lebih kuat namun sial tenagaku kalah dan aku malah jatuh diatas
Pov Elgar. "Kau membunuhnya?" tanya Shila mengangkat kepalanya. Rautnya menunjukkan keterkejutan. "Ck.... aku tak sekejam itu." Kataku mendelik padanya. Gemas sekali aku lihat ekspresi yang polos itu. "Ah.....Syukurlah," gumamnya kembali rebahan. Sepertinya dia sudah sangat mengantuk sampai-sampai terlihat berat mengangkat kepalanya lama-lama.Matanya yang sesekali berkedip dengan bulu mata lentik itu membuatku tak bisa berpaling. Manis sekali. Kuakui gadis ini cukup cantik. Kulitnya putih, matanya bulat dan hidungnya bangir. Ditambah lagi bibirnya yang berwarna pink alami dan sedikit bervolume. Entah nyaman atau apa, masih dengan menatap wajah polos tanpa make up itu aku pun kembali bercerita. "Pria itu bunuh diri karena tak sanggup kehilangan karir dan jabatannya. Dan si wanita karena Shock mengalami keguguran." Dadaku kembali bergemuruh mengingat kejadian itu. "Jujur, aku yang menghancurkan karir laki-laki itu sebagai balasan pengkhianatan yang dia lakukan padaku dan adikku."
Pov Shila. Seminggu berlalu dengan kelegaan. Sedikit tenang karena si Pria arrogant tak muncul lagi. Jujur aku juga tidak yakin dengan malam itu. Benarkah Elgar datang ke kamarku? Atau aku sedang berhalusinasi. Namun yang pasti kami bangun di ranjang yang sama. Aku begitu panik ketika membuka mata yang kulihat adalah sosok Elgar yang tertidur pulas. Sedang di depan pintu kamar Nathan dengan gedoran pintunya. Kugoyangkan tubuh besarnya namun seolah menjelma jadi putri tidur pria itu tak merespon. Kucubit saja lengannya dengan kuku-kuku panjangku sembari Melampiaskan rasa kesal bercampur gemas. Dan ternyata itu berhasil si tukang tidur terbangun juga. Sangat menyebalkan, dia sempat mengomel di tengah situasi yang bisa dikatakan genting. Mungkin tidak baginya tapi iya, bagiku. Aku tidak bisa membayangkan respon Nathana melihatku bersama Elgar di jam 2 pagi. Namun seminggu ini berlalu tanpa drama dan tanpa kepanikan. Entah kemana si pria arrogant? Kurasa pekerjaan yang membuatnya ta
[Kamu pilih pergi dengan Putra atau aku sendiri yang menjemputmu.]"Kamu ja..." Kalimatku tetelan kembali di tenggorokan begitu sambungan telpon diputuskan sepihak oleh si pria egois. Satu panggilan baru yang satu detik lalu tercetus dalam pikiranku untuk Elgar. Tok...tok.... Baru beberapa detik pintu sudah di ketuk dari luar. Nampak Putra berdiri dengan sopan begitu pintu kubuka. "Silahkan mobil sudah menunggu di luar," ucapnya mempersilahkan aku berjalan lebih dulu. Saat melewati lobby Nathan sempat menghampiri dengan ponsel di telinganya. "Hati-hati dan jangan pulang terlalu malam." Katanya sambil melambaikan tangan lalu pergi begitu saja. Pria itu seperti sedang membicarakan hal penting dengan lawan bicaranya. "Apa yang kamu katakan pada Nathan?" tanyaku setelah kami masuk mobil. Putra duduk di sebelah sopir dan aku di kursi penumpang bagian belakang. "Saya beralasan mengajak Nona Shila untuk bertemu teman sekolah." Putra menjawab dengan kalimat formal. Asisten pribadi Elg
"Mommy tidak tahu tentang kematian Papa," tutur Elgar. Pria berwajah khas bule itu mendesah dengan menatap lurus ke depan.Aku sudah bisa Menebaknya. Tentu saja Mommy Rosa tidak tahu berita duka itu, itulah sebabnya dia tidak datang di pemakaman suaminya. Mungkin saja mereka sudah bercerai. "Mereka masih sah suami istri." Seperti tahu apa yang ada di pikiranku Elgar pun menjelaskan status kedua orang tuanya. "Ah... iya," Aku menatap pada pria yang juga tengah menatapku itu. Pandangan kami bertemu beberapa saat sampai aku yang lebih dulu memutuskannya. Rasanya tak sanggup menatap lebih lama lagi bola mata yang menghanyutkan itu. Kualihkan tatapanku ke depan. Kearah gelombang air danau yang meliuk-liuk karena tertiup angin. Setelah mengantar Mommy Rosa untuk beristirahat, Elgar mengajakku ke sebuah kafe dekat danau. Suasana cukup ramai pengunjung meski sudah menginjak pukul sebelas malam. Hari yang semakin malam tak menyurutkan niat orang-orang di sini untuk menghabiskan waktu di mu
"Baiklah, besok aku libur. Aku akan menemaninya." Kurasa tidak ada salahnya aku menemani ibu mertuaku. Wanita itu sudah banyak menderita jadi sedikit membuatnya bahagia tidak akan membuatku rugi. "Kamu serius?" Elgar menatapku lekat. Tatapannya seolah menarikku masuk jauh ke dalam lautan tak bermuara. Degh....Spontan aku memegang dadaku, jantungku rasanya bertalu-talu. Kukedipkan mataku beberapa kali sampai akhirnya aku tersadar dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Khem.... Iya, besok aku akan menemaninya." Masih dengan jantung yang berdetak tak biasa aku menjawabnya. "Yakin? Bagaimana dengan teman-temanmu?" Kulirik pria itu masih saja mengarahkan tatapannya padaku. Kenapa hari ini Elgar sangat aneh?"Yakin." Jawabku singkat.Putra sudah membuat alasannya. Kurasa itu sudah cukup untuk meyakinkan Miranda dan Nathan. Lagi pula dua seniorku itu tidak mengenal teman-temanku selain Raisa dan Natalia. "Bisa kita kembali ke hotel sekarang?" Suasana aneh ini harus segera dia
"Kalian kenapa?" Mommy Rosa menatap kearahku dan Elgar bergantian. Matanya yang biasanya sendu berubah tajam, menelisik ekspresi kami yang sejak tadi sama-sama diam. Aku duduk di ujung ranjang sedangkan Elgar dengan sikap sok cool-nya duduk diatas sofa di pojok ruangan. Saat kami datang Mommy Rosa masih belum siap. Jadilah kami menunggu. "Kenapa sejak tadi saling diam?" tanyanya lagi setelah selesai memoles wajahnya dengan make up. Kuhela nafas saat ingatanku tertarik mundur pada kejadian setengah jam yang lalu. Hal itu membuatku jadi serba salah. Mungkin tidak hanya aku Elgar pun merasakan hal yang sama. Terbukti dengan sikapnya yang tiba-tiba canggung."Apa kalian bertengkar?" "Tidak." Seperti ketahuan melakukan salah kami kompak membantah. Tangan pun begitu kompaknya, Sama-sama melambai mengisyaratkan kata 'Tidak'. "Kalian tidak bohong?" Sontak aku menggelengkan kepalaku sedang Elgar membuang muka. Kenyataannya kami tidak bertengkar, Elgar yang bertengkar dengan wanita itu. J