Pov Elgar. "Kau membunuhnya?" tanya Shila mengangkat kepalanya. Rautnya menunjukkan keterkejutan. "Ck.... aku tak sekejam itu." Kataku mendelik padanya. Gemas sekali aku lihat ekspresi yang polos itu. "Ah.....Syukurlah," gumamnya kembali rebahan. Sepertinya dia sudah sangat mengantuk sampai-sampai terlihat berat mengangkat kepalanya lama-lama.Matanya yang sesekali berkedip dengan bulu mata lentik itu membuatku tak bisa berpaling. Manis sekali. Kuakui gadis ini cukup cantik. Kulitnya putih, matanya bulat dan hidungnya bangir. Ditambah lagi bibirnya yang berwarna pink alami dan sedikit bervolume. Entah nyaman atau apa, masih dengan menatap wajah polos tanpa make up itu aku pun kembali bercerita. "Pria itu bunuh diri karena tak sanggup kehilangan karir dan jabatannya. Dan si wanita karena Shock mengalami keguguran." Dadaku kembali bergemuruh mengingat kejadian itu. "Jujur, aku yang menghancurkan karir laki-laki itu sebagai balasan pengkhianatan yang dia lakukan padaku dan adikku."
Pov Shila. Seminggu berlalu dengan kelegaan. Sedikit tenang karena si Pria arrogant tak muncul lagi. Jujur aku juga tidak yakin dengan malam itu. Benarkah Elgar datang ke kamarku? Atau aku sedang berhalusinasi. Namun yang pasti kami bangun di ranjang yang sama. Aku begitu panik ketika membuka mata yang kulihat adalah sosok Elgar yang tertidur pulas. Sedang di depan pintu kamar Nathan dengan gedoran pintunya. Kugoyangkan tubuh besarnya namun seolah menjelma jadi putri tidur pria itu tak merespon. Kucubit saja lengannya dengan kuku-kuku panjangku sembari Melampiaskan rasa kesal bercampur gemas. Dan ternyata itu berhasil si tukang tidur terbangun juga. Sangat menyebalkan, dia sempat mengomel di tengah situasi yang bisa dikatakan genting. Mungkin tidak baginya tapi iya, bagiku. Aku tidak bisa membayangkan respon Nathana melihatku bersama Elgar di jam 2 pagi. Namun seminggu ini berlalu tanpa drama dan tanpa kepanikan. Entah kemana si pria arrogant? Kurasa pekerjaan yang membuatnya ta
[Kamu pilih pergi dengan Putra atau aku sendiri yang menjemputmu.]"Kamu ja..." Kalimatku tetelan kembali di tenggorokan begitu sambungan telpon diputuskan sepihak oleh si pria egois. Satu panggilan baru yang satu detik lalu tercetus dalam pikiranku untuk Elgar. Tok...tok.... Baru beberapa detik pintu sudah di ketuk dari luar. Nampak Putra berdiri dengan sopan begitu pintu kubuka. "Silahkan mobil sudah menunggu di luar," ucapnya mempersilahkan aku berjalan lebih dulu. Saat melewati lobby Nathan sempat menghampiri dengan ponsel di telinganya. "Hati-hati dan jangan pulang terlalu malam." Katanya sambil melambaikan tangan lalu pergi begitu saja. Pria itu seperti sedang membicarakan hal penting dengan lawan bicaranya. "Apa yang kamu katakan pada Nathan?" tanyaku setelah kami masuk mobil. Putra duduk di sebelah sopir dan aku di kursi penumpang bagian belakang. "Saya beralasan mengajak Nona Shila untuk bertemu teman sekolah." Putra menjawab dengan kalimat formal. Asisten pribadi Elg
"Mommy tidak tahu tentang kematian Papa," tutur Elgar. Pria berwajah khas bule itu mendesah dengan menatap lurus ke depan.Aku sudah bisa Menebaknya. Tentu saja Mommy Rosa tidak tahu berita duka itu, itulah sebabnya dia tidak datang di pemakaman suaminya. Mungkin saja mereka sudah bercerai. "Mereka masih sah suami istri." Seperti tahu apa yang ada di pikiranku Elgar pun menjelaskan status kedua orang tuanya. "Ah... iya," Aku menatap pada pria yang juga tengah menatapku itu. Pandangan kami bertemu beberapa saat sampai aku yang lebih dulu memutuskannya. Rasanya tak sanggup menatap lebih lama lagi bola mata yang menghanyutkan itu. Kualihkan tatapanku ke depan. Kearah gelombang air danau yang meliuk-liuk karena tertiup angin. Setelah mengantar Mommy Rosa untuk beristirahat, Elgar mengajakku ke sebuah kafe dekat danau. Suasana cukup ramai pengunjung meski sudah menginjak pukul sebelas malam. Hari yang semakin malam tak menyurutkan niat orang-orang di sini untuk menghabiskan waktu di mu
"Baiklah, besok aku libur. Aku akan menemaninya." Kurasa tidak ada salahnya aku menemani ibu mertuaku. Wanita itu sudah banyak menderita jadi sedikit membuatnya bahagia tidak akan membuatku rugi. "Kamu serius?" Elgar menatapku lekat. Tatapannya seolah menarikku masuk jauh ke dalam lautan tak bermuara. Degh....Spontan aku memegang dadaku, jantungku rasanya bertalu-talu. Kukedipkan mataku beberapa kali sampai akhirnya aku tersadar dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Khem.... Iya, besok aku akan menemaninya." Masih dengan jantung yang berdetak tak biasa aku menjawabnya. "Yakin? Bagaimana dengan teman-temanmu?" Kulirik pria itu masih saja mengarahkan tatapannya padaku. Kenapa hari ini Elgar sangat aneh?"Yakin." Jawabku singkat.Putra sudah membuat alasannya. Kurasa itu sudah cukup untuk meyakinkan Miranda dan Nathan. Lagi pula dua seniorku itu tidak mengenal teman-temanku selain Raisa dan Natalia. "Bisa kita kembali ke hotel sekarang?" Suasana aneh ini harus segera dia
"Kalian kenapa?" Mommy Rosa menatap kearahku dan Elgar bergantian. Matanya yang biasanya sendu berubah tajam, menelisik ekspresi kami yang sejak tadi sama-sama diam. Aku duduk di ujung ranjang sedangkan Elgar dengan sikap sok cool-nya duduk diatas sofa di pojok ruangan. Saat kami datang Mommy Rosa masih belum siap. Jadilah kami menunggu. "Kenapa sejak tadi saling diam?" tanyanya lagi setelah selesai memoles wajahnya dengan make up. Kuhela nafas saat ingatanku tertarik mundur pada kejadian setengah jam yang lalu. Hal itu membuatku jadi serba salah. Mungkin tidak hanya aku Elgar pun merasakan hal yang sama. Terbukti dengan sikapnya yang tiba-tiba canggung."Apa kalian bertengkar?" "Tidak." Seperti ketahuan melakukan salah kami kompak membantah. Tangan pun begitu kompaknya, Sama-sama melambai mengisyaratkan kata 'Tidak'. "Kalian tidak bohong?" Sontak aku menggelengkan kepalaku sedang Elgar membuang muka. Kenyataannya kami tidak bertengkar, Elgar yang bertengkar dengan wanita itu. J
"Baiklah." Dengan sangat terpaksa aku pun menyetujui permintaan Mommy Rosa. Sontak saja Elgar menatapku dengan penuh tanya. Pria itu melebarkan matanya seolah tak yakin dengan yang aku ucapkan. Kuangkat bahu, entahlah. Aku juga arak yakin tapi mau bagaimana lagi. Mommy Rosa tak kalah keras kepala dengan sang putra. Membiarkan Mommy di sini tanpa adanya Elgar juga tidak mungkin. Aku sendiri juga harus kerja. Jadilah aku berjanji meski, jujur aku sendiri juga tidak yakin bisa memenuhinya. Hari raya hanya tinggal satu minggu dan penelitian masih dalam tahap penyelesaian. Mungkinkah aku bisa dapat libur, itu masih belum bisa dipastikan. "Shila serius kan, Sayang?" Rona bahagia terpancar dari wajah wanita berkulit putih itu. Matanya berbinar menampakkan betapa dirinya sangat bahagia. Di peluknya tubuh ini dengan erat dan penuh kasih sayang. Tak lupa ucapan terima kasih yang di lantunkannya berulang-ulang. Padahal itu masih janji, belum terjadi. Tapi Mommy Rosa sudah sebahagia itu. A
Hah..... Apa aku tidak salah dengar. Sepertinya si pria habis terbentur kepalanya. Alih-alih meladeninya aku putuskan untuk masuk ke kamar mandi. "Waktumu lima menit, pergi dari sini sebelum akun keluar dari kamar mandi." Kataku sambil berlalu menuju kamar mandi. Mencuci tangan, kaki dan muka. Berganti pakaian dengan piyama tidur. Sudah lebih dari sepuluh menit dan aku pun keluar kamar mandi. Bukan seperti yang kuharapkan. Elgar bukannya pergi malah merebahkan dirinya diatas ranjang. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Sempat melirikku sebentar lalu kemabli fokus pada benda pintar yang sejak tadi menjadi fokusnya. "Astaghfirulla.... Kenapa di sini sih?" kesalku menghentakkan kakiku ke lantai. Ingin sekali aku menarik pria itu bangun dari tempat tidurku namun ingatan tentang kejadian malam itu membuatmu mengurungkan niat. 'Tidak, tidak.... jangan sampai ciuman yang tak di sengaja itu terulang kembali.' Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Elgar keluarlah!" Kupelankan na