Dua preman itu seketika memucat melihat pria yang dihadapinya memiliki tubuh jauh lebih besar. Tatapan tajam dari netra elang milik Fabian mampu menjatuhkan nyali kedua preman yang setengah mabuk itu. Cepat pergi dari sini! Atau mau aku habisi kalian sekarang juga!" Fabian mulai menggulung lengan switernya dan melangkah mendekati dua preman itu. Diam-diam Analea berhasil melepaskan diri. Dengan tubuh yang masih gemetar, ia berlari ke belakang Fabian. "Am-ampun, mister. Kami jangan diapa-apain. Kami pergi sekarang juga." Seketika itu juga dua preman yang sedang mabuk itu berlari menjauh hingga menghilang di dalam sebuah gang yang tak jauh dari tempat itu. Kini konsentrasi Fabian beralih pada Analea yang tubuhnya masih bergetar hebat karena ketakutan "Lea ... kamu nggak apa-apa? Sini!" Fabian meraih tubuh Analea dan mendekapnya erat. Suara tangis Analea seketika pecah di dada bidang Fabian. Sekian detik keduanya tak ada yang bicara. Menikmati hangatnya pelukan yang tidak pern
"Ini rumahku. Silakan masuk!" Fabian berjalan lebih dulu diikuti Analea. "Tasnya biar dibawa ART nanti, Non!" cegah sang supir ketika Analea hendak meraih tas besarnya. Analea mengangguk, kemudian bergegas mengikuti Fabian. Dalam hatinya, Analea tak berhenti memuji rumah mewah berlantai dua milik Fabian itu. Setiap Asisten Rumah Tangga yang berpapasan, mengangguk sopan pada Fabian dan juga dirinya. "Fitri, siapkan kamar tamu!" perintah Fabian pada seorang wanita berumur tiga puluhan yang memakai seragam ART. "Sudah, Tuan. Kamar tamu sudah siap," sahut wanita bernama Fitri itu. "Lea, kamu ikut dengan Fitri. Jika perlu sesuatu, bilang Fitri!" "Baik, Pak. Terima kasih!" Analea mengangguk sopan. Kemudian Fabian pergi meninggalkan Analea dengan ART bernama Fitri itu. "Kenalkan saya Fitri, kepala ART di sini. Jika Nona butuh sesuatu, Nona bisa hubungi saya lewat telephon meja yang ada di kamar, nanti." Fitri menangkup kedua tangannya di depan dada dengan sopan. "Saya Analea, Mbak
"Pak Fabian ..." lirih Analea. Seketika Fabian tersadar, lalu memanggil salah satu pelayan yang berada di dekatnya. "Ehm ... saya hanya minta gula. Tolong tambahkan sedikit gula pada kopi ini!" Fabian Menyodorkan gelas kopinya pada ART yang berdiri di depannya. Ia sangat ingin melirik pada Analea, namun tentu ia tidak mungkin melakukannya saat ini. Semua yang ada di dapur itu sedang memandang ke arahnya saat ini. Termasuk Analea. "Ini kopinya, Tuan." "Ya, terima kasih!" Fabian meraih gelas kopinya seraya melirik pada Analea. "Lea, saya tunggu di meja makan!" ujarnya singkat, kemudian tanpa menungu jawaban dari Analea, Fabian bergegas keluar dari dapur."Tumben Tuan mau ke dapur." "Apa di dalam sana tidak ada pelayan yang bisa disuruh? Sampai Tuan Bian sendiri yang meminta gula ke dapur?" "Tidak biasanya Tuan Bian ke sini." Analea mendengar celotehan para pelayan yang masih terheran-heran dengan keberadaan Fabian tadi. Tanpa banyak bertanya lagi, ia buru-buru menyelesaikan mas
"Lea ... lihat saya ..!" Analea gugup dan gemetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan ia mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Fabian. Namun, sedetik kemudian ia menunduk lagi. "M-mmaaf, Pak! S-sayaa permisi ke kamar dulu!" Anaela sedikit membungkuk, lalu tanpa menunggu jawaban dari Fabian, ia bergegas menuju kamarnya. Fabian memandang punggung ramping itu dengan sedikit mengukir senyum. Ada rasa hangat yang menyelinap di dalam dadanya.Perlahan pria gagah itu bangkit dan melangkah menuju teras. Senyumnya masih terukir di sana. "Rumah ini terasa berwarna sejak ada dia ...," lirih Fabian pelan. " Tidak hanya rumah ini. Tapi, hatikupun merasakan ada yang berbeda." ucap pria itu sembari mengusap cambangnya yang semakin tebal. Keesokan paginya, dapur kembali riuh oleh Analea yang memasak sarapan. Karena hari kerja, ia memasak lebih pagi dengan menu yang sama seperti kemarin, nasi goreng seafood. "Biar kami yang menyiapkan ke meja. Non Ana silakan bersiap-siap saja di
"Pagi Pak, Bu. Pak Kaisar ada di ruangannya. Dengan bapak dan ibu siapa?" tanya Analea dengan sopan. "Kamu pasti baru di sini. Kamu nggak tau siapa kami?" Pria paruh baya itu bicara dengan suara sedikit meninggi . "Maas, sudah!" lirih wanita paruh baya di sebelahnya sembari mengusap lengan suaminya. "Maaf, ya ... Mbak. Ini ... Pak Raka. Papa kandung Kaisar. Kalau saya istrinya, Kayla." Wanita bernama Kayla itu menjelaskan pada Analea dengan ramah dan sabar. "Oh, ya. Maaf Bu. Saya memang baru di sini." Analea menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Halaah, memang saya tidak pernah dihargai lagi di sini. Heh, sekretaris baru! Asal kamu tau, Eternal Group ini awalnya saya yang berjuang mengembangkannya sampai jadi sebesar ini. Yang lain itu hanya tinggal menikmati saja!" Raka bicara berapi-api sambil menunjuk-nunjuk Analea. Sedangkan sang istri sibuk menenangkan sambil mengusap punggungnya. "Hey, ada apa ini? Kenapa Mas Raka marah-marah?" Tiba-tiba saja Maira dan Rein muncul
Tak mau Fabian sampai menunggunya lama di halte, Analea bergegas berjalan menuju ke sana. Namun ketika di perjalanan, ia terkejut saat sebuah tangan kokoh mencengkeram tangannya. "Kamu tidak bisa menghindar lagi dariku, Ana!" Seketika Analea menoleh ke samping. Hamid menyeringai puas menatap dirinya. "Mas Hamid? Lepasin! Lepasin nggak!" Cengkraman tangan Hamid sangat erat hingga Analea sangat sulit melepaskan diri. "Ayo pulang! Kamu ini masih istriku." Hamid menarik tangan Analea dengan kasar. "Nggak! Aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi! Lepasin, Maas!" Analea terus berontak. Hingga orang-orang sekitar yang lewat memperhatikan mereka. "Tapi kamu istriku! Seorang istri harus patuh pada suaminya! Bukan malah kabur." tegas Hamid dengan suara tertahan. Ia mulai khawatir melihat orang -- orang mulai mendekat. "Ayoo ...! Hamid terpaksa menarik Analea lebih kuat lagi ke arah yang berbeda, sebelum orang-orang sekitar yang menontonnya lebih banyak lagi. Analea pun mulai tidak nyaman.
"Tuan ..., Tuan ..., ada Tuan besar Arthur dan Nyonya Fatma di dalam." Langkah Fabian dan Analea terhenti. "Ya, saya akan segera masuk," sahut Fabian. Setelah pelayan itu pergi, Fabian bicara pelan dan penuh penekanan pada Analea. "Kita baru saja mencapai kesepakatan. Besok pengacaraku akan mulai bergerak cepat untuk mengurus perceraianmu. Tapi ...tugas kamu ternyata harus mulai dari sekarang. Kamu siap?" "S-sekarang?" ulang Analea dengan wajah memucat. "Kamu ... belum siap?" Analea berpikir sejenak. Ia baru saja membuat perjanjian tidak tertulis dengan Fabian. Sangat tidak pantas jika tiba-tiba ia ragu dan mundur. Sekarang atau nanti, akan sama saja. Terdengar helaan napas Analea. ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk.. "Saya ... siap, Pak!" "Bagus. Saya suka. Ehmm ... maksudnya, saya suka karena kamu tidak mundur." Fabian juga menghela napas lega. "Tapi ... bagaimana jika ... orang tua Bapak tidak suka dengan saya? Eh ..., maksud saya ... walau ini hanya ... pu
" Urus semuanya dengan cepat tanpa melibatkan Analea. Buat bajingan itu menyerah tanpa ampun. Sebelum surat cerai itu terbit, pastikan bajingan itu tidak mengganggu Analea!" Dari balik pintu, Analea mendengar jelas Fabian sedang bicara dengan seseorang lewat ponselnya. Karena tidak mau mengganggu, ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke kamar. Fabian benar-benar memenuhi janjinya untuk segera mengurus perceraiannya dengan Hamid. Sampai di kamar, Analea membuka ponselnya, ia akan mencari secara online rumah kost yang berlokasi di dekat kantornya.. Ia akan mengingatkan Fabian akan janjinya bahwa ia boleh meninggalkan rumah itu setelah menjawab tawarannya. Setelah membersihkan diri, Analea mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, lalu terdengar suara Fitri dari luar. "Non Ana, ditunggu Tuan di meja makan!" "Ya, Mbak Fitri. Sebentar lagi saya ke sana." Analea bergegas bersiap-siap, lalu dengan langkah sedikit lebih cepat ia menuju ruang makan. Seperti yang sudah-sudah,