Tak mau Fabian sampai menunggunya lama di halte, Analea bergegas berjalan menuju ke sana. Namun ketika di perjalanan, ia terkejut saat sebuah tangan kokoh mencengkeram tangannya. "Kamu tidak bisa menghindar lagi dariku, Ana!" Seketika Analea menoleh ke samping. Hamid menyeringai puas menatap dirinya. "Mas Hamid? Lepasin! Lepasin nggak!" Cengkraman tangan Hamid sangat erat hingga Analea sangat sulit melepaskan diri. "Ayo pulang! Kamu ini masih istriku." Hamid menarik tangan Analea dengan kasar. "Nggak! Aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi! Lepasin, Maas!" Analea terus berontak. Hingga orang-orang sekitar yang lewat memperhatikan mereka. "Tapi kamu istriku! Seorang istri harus patuh pada suaminya! Bukan malah kabur." tegas Hamid dengan suara tertahan. Ia mulai khawatir melihat orang -- orang mulai mendekat. "Ayoo ...! Hamid terpaksa menarik Analea lebih kuat lagi ke arah yang berbeda, sebelum orang-orang sekitar yang menontonnya lebih banyak lagi. Analea pun mulai tidak nyaman.
"Tuan ..., Tuan ..., ada Tuan besar Arthur dan Nyonya Fatma di dalam." Langkah Fabian dan Analea terhenti. "Ya, saya akan segera masuk," sahut Fabian. Setelah pelayan itu pergi, Fabian bicara pelan dan penuh penekanan pada Analea. "Kita baru saja mencapai kesepakatan. Besok pengacaraku akan mulai bergerak cepat untuk mengurus perceraianmu. Tapi ...tugas kamu ternyata harus mulai dari sekarang. Kamu siap?" "S-sekarang?" ulang Analea dengan wajah memucat. "Kamu ... belum siap?" Analea berpikir sejenak. Ia baru saja membuat perjanjian tidak tertulis dengan Fabian. Sangat tidak pantas jika tiba-tiba ia ragu dan mundur. Sekarang atau nanti, akan sama saja. Terdengar helaan napas Analea. ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk.. "Saya ... siap, Pak!" "Bagus. Saya suka. Ehmm ... maksudnya, saya suka karena kamu tidak mundur." Fabian juga menghela napas lega. "Tapi ... bagaimana jika ... orang tua Bapak tidak suka dengan saya? Eh ..., maksud saya ... walau ini hanya ... pu
" Urus semuanya dengan cepat tanpa melibatkan Analea. Buat bajingan itu menyerah tanpa ampun. Sebelum surat cerai itu terbit, pastikan bajingan itu tidak mengganggu Analea!" Dari balik pintu, Analea mendengar jelas Fabian sedang bicara dengan seseorang lewat ponselnya. Karena tidak mau mengganggu, ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke kamar. Fabian benar-benar memenuhi janjinya untuk segera mengurus perceraiannya dengan Hamid. Sampai di kamar, Analea membuka ponselnya, ia akan mencari secara online rumah kost yang berlokasi di dekat kantornya.. Ia akan mengingatkan Fabian akan janjinya bahwa ia boleh meninggalkan rumah itu setelah menjawab tawarannya. Setelah membersihkan diri, Analea mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, lalu terdengar suara Fitri dari luar. "Non Ana, ditunggu Tuan di meja makan!" "Ya, Mbak Fitri. Sebentar lagi saya ke sana." Analea bergegas bersiap-siap, lalu dengan langkah sedikit lebih cepat ia menuju ruang makan. Seperti yang sudah-sudah,
"Paket apa itu, Mid?" Hamid nyaris terlonjak mendengar suara Nandita yang ternyata sudah berdiri di belakangnya "Ini ... ini ..." "Ck, lama!" Tak sabar akhirnya Nandita merebut amplop itu dari tangan Hamid. Kemudian ia mengeluarkan isi dari amplop yang sudah terbuka itu. Senyum terbit dari wajah Nandita saat membaca surat gugatan cerai dari Analea. "Bagus, dong! Artinya kita bisa lebih cepat menikah.Ya, kan, Mid?" "Iyy--yaaa, tentu, dong, Sayang. Aku juga sudah nggak sabar." Hamid segera meraih surat gugatan cerai itu dari tangan Nandita kemudian menyimpannya di kamar. Lalu ia kembali dan mengajak Nandita melanjutkan sarapan mereka.Pagi itu Hamid sama sekali tidak konsentrasi. Saat dilapangan beberapa kali Nandita memarahinya karena ia salah memberikan keterangan pada klien. Hingga di kantor pun semua pekerjaan tidak ada yang beres olehnya. Hamid rasanya ingin sekali segera pulang dan membawa motornya terbang ke Eternal Group. Pagi tadi Analea telah meminta izin pada Kasar ba
"Masuk!" Jantung Analea berdetak lebih cepat saat mendengar sahutan dari dalam. Suara bariton yang terkesan tegas dan dingin itu membuatnya sedikit gemetar. "Permisi Pak Rein. Ini berkas yang Bapak minta." Analea masuk dan menghampiri meja Rein. Pria itu masih fokus pada laptopnya. Sedetik kemudian Rein menoleh pada Analea. Netra tegas dan tajam itu memberikan tatapan dingin hingga Analea menunduk seketika. "Duduk ...!". "Iy-iyya ..., Pak." Analea mendadak bingung. Kenapa ia diminta duduk? Bukankah tadi Risa hanya memintanya untuk mengantar berkas?" Rein kembali fokus pada laptopnya. Sementara Analea masih menunggu hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Pak Rein. Ada yang bisa saya kerjakan?" "Tunggu sebentar!" jawab Rein tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Analea kembali diam, hingga beberapa menit kemudian Rein menutup laptopnya, lalu menggeser posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan Analea.. Rein menarik napas panjang. "Saya tidak tau, kenapa
"Hey, Analea! Apa yang kamu kerjakan di sini?" "Rein? Ya. Aku baru saja datang." Maira mengurai pelukan pada Analea. "Analea di sini karena aku yang memintanya datang ke ruanganku." Maira bicara masih dengan senyum mengembang pada Rein. Berbeda dengan Rein. Pria itu masih bersikap dingin. Tak ada senyum sedikitpun di wajah tampan itu. "Bu Maira, Pak Rein, saya permisi kembali ke meja kerja saya!" "Ya. Ana. Bagaimana? Sudah lebih tenang?" Maira kembali mengusap lengan Analea. "S-sudah, Bu. Terimakasih. Permisi, Bu, Pak!" Setelah mengangguk sopan, Analea bergegas keluar dari ruangan itu. Maira memandang Analea hingga menghilang di balik pintu. "Ada apa sebenarnya dengan karyawan magang itu, Maira?" Maira mengerutkan keningnya. "Analea. Namanya Analea, Sayang. Anak itu baik. Aku ... prihatin dengan kehidupannya." Maira menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat.di sebelah Rein. "Kehidupannya? Kamu tau tentang kehidupannya? Sudah sedekat itukah kalian?"Rein menggeser tubuhnya hing
"Analea, cepat sedikit!" teriak Rein sambil menoleh ke belakang. Ia dan Ratu hampir saja tiba di pintu keluar hendak menuju mobil yang sudah menunggu sejak tadi. Analea yang baru saja keluar dari lift yang berbeda, mempercepat langkahnya menyusul Rein dan Ratu. "Kamu sama supir di depan!" ketus Ratu dengan tatapan sinis pada Analea. Analea mengangguk. Ia membawa satu tas berkas di tangannya, kemudian sesuai perintah, ia duduk di samping supir. "Jalan, Pak!" Sang supir mengangguk mendengar perintah dari Rein. Selama perjalanan, Analea hanya diam. Ia melihat Ratu begitu manja pada Rein. Mereka berbincang hangat. Jelas terlihat bahwa Rein begitu memanjakan Ratu selama ini. Analea melirik dari kaca spion yang ada di depannya. Dalam hatinya ia bertanya, seperti apa rasanya memiliki seorang ayah? Apalagi ayah yang begitu memanjakannya. Tanpa ia sadari, ada tetesan bening yang menggantung di kedua sudut netra teduh itu. Analea menarik napas dalam-dalam demi menghilangkan rasa se
"Hallo, Ana!" Terdengar suara Hamid cukup keras, hingga Ana sempat menjauhkan ponsel itu sesaat dari telinganya. "Ya, ada apa?" jawab Analea. Netranya sempat melirik pada Fabian yang masih memandang lurus ke depan. "Kenapa baru dijawab telponnya? Sudah ribuan kali aku nelpon kamu dari pagi. Tau nggak kamu?" jelas terdengar suara Hamid sangat kesal dari seberang sana. "Aku sejak pagi kerja. Mana mungkin bisa terima telepon dari kamu," tegas Ana. "Halaah! Kamu pasti sudah diapa-apain sama bos kamu yang bernama Kaisar itu, kan?" "Jaga bicara kamu, Mas! Aku nggak semurah itu!" Analea bicara cukup tegas, sampai-sampai Fabian menoleh padanya Terdengar tertawa mengejek dari seberang sana. "Hei Ana. Sekarang juga kamu cabut gugatan ceraimu. Kalau tidak, semua karyawan dan pemilik Eternal Group akan tau asal usulmu dari mana! Aku yakin sebentar lagi kamu akan dipecat, dan bosmu itu tidak akan tertarik lagi padamu!" Tawa lepas Hamid terdengar begitu nyaring, hingga panggilan itu terputus