"Nggak, nggak, aku hanya ingin lihat apakah kamu sudah datang atau belum."Alya masuk ke kamar sambil berbicara. Dia dengan tenang meletakkan termos itu di meja, lalu menggulung lengan bajunya dan membuka tutup termos tersebut.Begitu tutupnya dibuka, aroma makanan seketika memenuhi ruangan.Cahya yang sudah sarapan, tiba-tiba menjadi lapar begitu mencium aromanya.Awalnya, dia kira Alya akan membelikan makanan dari luar untuk Rizki. Namun, ketika dia mendekat untuk melihat, ternyata Alya membuatnya sendiri.Rizki memandang wanita itu dari samping. Alya bergerak dengan sangat ahli, seolah-olah dia sudah melakukan hal ini ribuan kali.Makin lama, Rizki makin mengerutkan keningnya.Alya membawakan semangkuk makanan itu ke hadapannya. "Makanlah, semuanya makanan cair. Aku sudah bertanya pada Dokter, makanan seperti ini paling bagus untuk kondisimu sekarang."Setelah terdiam sejenak, Rizki mengambil mangkuk itu.Aromanya sangat enak. Rizki yang sudah lama tidak memiliki nafsu makan pun mer
Setelah meninggalkan rumah sakit, Alya langsung pergi menuju perusahaannya.Jalanan agak macet, sehingga dia pun sedikit terlambat. Namun, tanpa disangka, dia bertemu dengan pemuda yang kemarin.Begitu melihat Alya, pemuda berkacamata itu segera tersenyum malu. Dia bahkan mengulurkan tangannya pada Alya."Hai, mulai sekarang kita rekan kerja."Alya berjabat tangan dengannya."Kemarin aku kira kamu ke sini untuk melamar kerja, tapi ternyata kamu sudah bekerja di sini. Hei, bagaimana kamu bisa tertarik dengan perusahaan kecil ini? Apa kamu sudah tahu lebih dulu kalau Perusahaan Saputra akan berinvestasi di sini?"Tahu lebih dulu?Alya terkekeh dan berkata, "Bukannya aku tahu lebih dulu, tapi aku memang tahu lebih dulu daripada kalian.""Tentu saja, kamu 'kan sudah bekerja di sini. Sementara itu, kami hanya bisa melihatnya di brosur rekrutmen."Di dalam lift juga ada orang lain, tetapi semuanya tampak tidak ingin berinteraksi. Selain pemuda berkacamata ini, Alya tidak melihat wajah famili
"Ayo, aku akan mengantar kalian."Setelah berpamitan dengan Alya, Angga memimpin mereka semua pergi.Pemuda berkacamata itu berjalan di belakang Angga. "Pak Angga, apakah dia benar-benar bos kita?"Meskipun tadi sudah dijelaskan, ternyata saat ini pemuda itu masih bertanya lagi.Angga adalah seorang veteran, dia dapat melihat isi pikiran pemuda ini dengan mudah."Kenapa? Kalau dia bukan bos, kamu masih mau mendekatinya?"Begitu dia mengatakan ini, wajah pemuda itu seketika memerah."Pak Angga, jangan bicara omong kosong.""Hahaha!"Angga tertawa terbahak-bahak. "Nak, apa yang kamu takutkan? Kalau kamu suka ya kejarlah dia. Setahuku, bos kita masih lajang."Pemuda berkacamata itu tertegun, matanya berbinar lagi. Namun, setelah berpikir, dia menghela napas dan menundukkan kepalanya dengan sedih."Lupakan saja, dia sangat cantik. Bahkan kalaupun dia bukan bos, aku nggak pantas untuknya. Apalagi dia juga kaya."Mendengar ini, Angga menepuk-nepuk bahunya. "Hm, ternyata kamu tahu diri. Kamu
Tiga kata yang singkat dan jelas itu mendinginkan Rizki sepanjang hari.Alya baru datang ketika langit sudah benar-benar gelap.Rizki duduk di tempat tidur dengan kesal. Ketika melihat Alya yang duduk di depannya, dia bertanya dengan suaranya yang berat, "Kenapa kamu lama sekali?"Alya merespons pertanyaannya dengan tak acuh. Dia hanya melirik Rizki, lalu berkata, "Bukankah aku butuh waktu untuk ke sini? Bukankah aku butuh waktu untuk memasak?"Dua pertanyaan ini langsung membungkam Rizki, dia tidak berbicara lagi.Ketika Alya menaruh makan malam di tangannya, Rizki berkata, "Sebenarnya kamu ke sini saja sudah cukup, kamu nggak usah sampai memasak untukku segala.""Memangnya kamu pikir aku mau?" balas Alya.Raut wajah Rizki berubah."Kalau begitu kenapa?"Namun, Alya tidak menjawab pertanyaannya dan hanya berdiri untuk beres-beres. Meskipun memunggunginya, punggung Alya seolah-olah memiliki mata. Alya mengingatkannya, "Sebaiknya kamu cepat makan, aku sudah menghabiskan banyak waktu unt
Rizki mengerutkan keningnya. "Transaksi apa?"Karena sudah mengatakannya, Alya tidak lagi berniat untuk menyembunyikannya. Lagi pula, beberapa hari sudah berlalu.Dia berjalan ke depan Rizki. "Selama beberapa hari ini, penyakitmu sudah membaik, 'kan?"Rizki mengatupkan bibirnya dan tidak berbicara, menunggu Alya untuk melanjutkan.Setelah beberapa saat, Alya berkata, "Aku ingin bertemu Nenek."Mendengar ini, Rizki menyipitkan matanya."Jadi?""Jadi selama beberapa hari ini, aku sudah membawakanmu makanan dan secara nggak langsung membantumu untuk sembuh. Sebagai gantinya, kamu akan membawaku menemui Nenek."Rizki menatapnya untuk sesaat, lalu terkekeh.Pantas saja setelah menangis dan keluar dari toilet pada hari itu, Alya terlihat seperti orang lain. Dia bahkan tidak hanya bersedia datang menjenguknya, tetapi juga membuatkan dan membawakannya makanan.Setelah bertahan sekian lama, Rizki kira wanita ini tiba-tiba telah berubah pikiran. Ternyata, Alya sudah lama merencanakan tujuannya.
Cahya tetap berdiri di tempatnya dan tidak bergerak. Setelah beberapa waktu, barulah dia bertanya dengan suara kecil, "Pak Rizki, apakah kamu benar-benar mau keluar dari rumah sakit? Kesehatanmu masih belum sepenuhnya pulih."Mendengar ini, raut wajah Rizki menjadi sangat buruk."Apa kamu nggak lihat kalau dia nggak peduli? Sekarang, dia bahkan menyuruhku untuk keluar dari rumah sakit."Cahya mengedipkan matanya lagi dan lagi. "Bukan begitu, kamulah yang bilang ingin keluar dari rumah sakit karena kesal, sementara Nona Alya nggak bilang begitu."Rizki terdiam."Selain itu, kalau kamu nggak menanyakan Nona Alya kenapa dia membawakanmu makanan, Nona Alya sama sekali nggak berencana untuk mengaku padamu hari ini."Makin lama, raut wajah Rizki makin memburuk."Kalau begitu bagaimana dengan besok? Lusa?""Pak Rizki, menurutku kalau kamu ingin terus melihat Nona Alya, seharusnya kamu jangan memprovokasinya. Terkadang, seseorang nggak perlu memperjelas sesuatu. Awalnya, kamulah yang mengejar
"Begitukah?"Kalau hanya ganti baju, kenapa Cahya harus sepanik itu?Alya mengerutkan keningnya, mungkinkah Rizki muntah darah lagi?Seharusnya tidak, beberapa hari ini kondisi pria itu terlihat cukup baik.Meskipun Rizki sudah cukup lama dirawat di rumah sakit, seharusnya dia tidak keluar hari ini. Alya juga tidak memintanya keluar, Rizki sendiri yang bilang mau keluar karena kesal.Jadi dia pun malas untuk membujuknya.Akan tetapi, bila Rizki muntah darah lagi ....Alya sekarang sedikit menyesal. Kalau saja dia tahu, dia akan menunggu beberapa hari lagi sebelum mengatakannya.Mungkin perkataannya pagi ini telah memprovokasinya.Alya langsung berjalan ke arah kamar tidur, dengan Cahya yang masih terus mencoba menghentikannya dari belakang.Alya mengernyit, dia hendak meraih kenop pintu ketika pintu tersebut terbuka sendiri.Rizki yang sudah selesai ganti baju muncul di hadapan Alya, pria itu menghalanginya masuk kamar.Alya meliriknya.Rizki berdiri di sana, wajah tampannya sedingin e
Jika Rizki tidak sepucat itu dan tidak melawannya sampai seperti ini, mungkin dia tidak akan curiga.Namun, saat ini, setiap gerakan Rizki tampak aneh, begitu juga dengan asistennya.Memikirkan hal ini, Alya pun merapatkan bibirnya. Kemudian dia berkata, "Kenapa kamu yang menentukan di mana aku duduk? Jangan lupa, ini transaksi. Aku ingin duduk di belakang."Setelah mengatakan itu, Alya mengabaikan penolakan Rizki dan langsung naik ke mobil.Hening.Setelah Alya naik ke mobil, Cahya diam-diam melirik Rizki dan mengangkat alisnya, berbisik, "Pak Rizki, bagaimana kalau begini saja?"RIzki tidak berbicara, tetapi ekspresinya tampak masam.Alya langsung berbicara mendahuluinya, "Pak Cahya, ayo kita jalan.""Oke."Setelah mobil mereka jalan, Alya mengamati gerakan Rizki. Akan tetapi, Rizki malah langsung menjauh darinya dan bersandar ke jendela, hanya menunjukkan bagian belakang kepalanya pada Alya.Sekarang, Alya tidak bisa melihat ekspresi apa pun pada wajah pria itu.Tadinya Alya ingin m