Tangan ini bergetar hingga diary usang ini lepas dari genggaman, detak jantungku berpacu hebat, mengalirkan hawa panas dalam aliran darah, membentuk gumpalan amarah dalam kepala.Ternyata lelaki itu penyebabnya?! Dia yang sudah menghancurkan hidup pujaan hatiku, wanita yang teramat kucintai, walau usianya masih remaja, tapi ia tak seperti gadis lainnya, Elya sungguh berbeda.Kubuka lembar selanjutnya hendak membaca seperti apa perasaan hatinya saat melalui hari-hari yang suram.Namun, itu adalah isi curhatan terakhirnya, tak ada lagi tulisan tangan yang ia buat untuk menuliskan semua deritanya.Bukti ini belum cukup, bisa jadi Justin mengelak mengatakan tak pernah kenal dengan Elya, bisa jadi yang dimaksud bukan dirinya, banyak nama yang sama di dunia ini, aku faham hal itu."Halo, Adnan, kamu di mana?" tanya ibuku melalui sambungan telepon."Di rumah, ibu di mana?""Di rumah sakit, Nak, Melta ingin bertemu sama kamu," ujarnya membuatku tertegun.Haruskah aku menemuinya?*Untuk perta
Aku duduk di bangku yang berjejer, menyenderkan punggung sambil menatap langit yang berwarna biru, terbentang indah di atas sana.Hati ini jauh lebih sakit saat mengetahui kebenaran tentang Elya, di akhir hidupnya pasti ia begitu menderita, andai aku mengetahui sudah pasti akan menawarkan diri untuk menjadi penolongnya."Mas Adnan."Suara lembut seorang wanita menyapa, aku membetulkan posisi duduk, dan mengukir senyum seolah tidak terjadi apa-apa."Renata, kamu di sini?" tanyaku pada mantan istrinya Devan yang malang itu, entah kenapa setiap melihat wajah Renata hati ini diliputi rasa bersalah, ia menjadi seorang janda karena ulah mantan istriku sendiri."Iya, habis ngajak Rayyan dari dokter gigi, ayo salaman sama Om Adnan, Nak."Renata memperkenalkan aku pada putra pertamanya, bocah itu mencium takzim tanganku."Om ini yang suka ngasih uang dan mainan itu ya, Bun?" tanya Rayyan menatapku ceria."Iya, Nak, kalau sudah besar kamu harus dermawan kaya Om Adnan ya," ujar Renata memberikan
Dengan lutut yang lemas kuhampiri ibu, wajahnya terlihat sangat pucat, saat melihat kedatanganku ia sedikit terperanjat."Bu, ayo kita pulang bareng." Kutarik pergelangan tangan ibu."Dan Anda! Jangan coba-coba menyakiti hati ibu saya!" tegasku pada perempuan yang mengenakkan lipstik merah cetar itu, ia langsung menciut kala jari telunjukku berada di hadapan wajahnya.Di dalam mobil ibu masih diam, sekali-kali memandangku dengan tatapan aneh."Apa Ibu mau mengatakan sesuatu?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan."Apa kamu dengar ucapan wanita tadi?" tanya ibu lagi, aku hanya menganggukkan kepala, beberapa detik kemudian terdengar suara helaan napasnya."Dia itu salah sangka, Adnan, Ibu ga pernah jadi perebut suami siapapun," jawab Ibu lemah.Entahlah, itu cerita masa lalu dan sangat tak penting bagiku, yang terpenting sekarang bagaimana menata hidup untuk masa depan."Sudah, Bu, jangan merasa bersalah, aku percaya Ibu kok." Kuukir senyum agar ia percaya, bagaimanapun juga ialah or
Keesokan harinya sesuai keinginan ibu, kami berangkat ke kampung halaman Haura, ia bersikukuh ingin menemuinya karena merasa bersalah atas perbuatan putra bungsunya yang enggan bertanggung jawab.Setelah beberapa kali membujuk, Haura akhirnya menyetujui usul ibu, pukul tujuh pagi kami berangkat bertiga menuju kampung halamannya.Selama perjalanan Haura kerap kali mengeluh mual dan pusing, membuatku harus menghentikan mobil beberapa kali, dengan sabar ibu mengelus dan memijat tengkuknya.Semenjak ia tahu yang sebenarnya, wanita paruh baya itu memang lebih perhatian terhadap Haura, matanya selalu sendu saat melihat Haura.Tiga jam kemudian kami sampai di kampung halamannya, daerah ini masih segar dan asri. Namun, sudah banyak angkutan umum yang lalu lalang, intinya daerah ini pedesaan tapi jaraknya tak jauh dari kota.Sesuai petunjuk Haura, mobilku memasuki gank satu dan selanjutnya, jalan menuju rumahnya cukup rumit, beberapa kali bertemu belokan dan tanjakan, juga jalan yang menurun d
"Ibu," bisikku sambil menyentuh lengannya, ia masih diam terpaku bibirnya berat untuk mengucap kata, sedangkan hati ini penasaran siapakah pria itu hingga membuat ibu tercengang bukan main."Adnan, dia adalah ayah kandungmu yang dahulu meninggalkan kita demi wanita lain, dia yang membuat hidup kita susah bertahun-tahun lamanya," ucap ibu bergetar.Bagai petir yang menyambar, tubuhku diam mendadak kaku tak mampu menatap siapapun selain lantai rumah ini, ternyata ayahku masih hidup di muka bumi ini, ia belum terkubur dalam bumi seperti yang dikatakan ibu tempo hari."Ratna, di-dia ... anak kita?" tanya lelaki itu berjongkok di hadapan ibu.Sungguh aku tak mampu berada di dekatnya, goresan luka yang ia sayat begitu dalam hingga membuatku kehilangan kasih sayang sebagai seorang anak terhadap ayah."Dia anakku, lalu Haura, apakah dia juga anakmu?" tanya ibu sedikit ketusPertemuan ini teramat dramatis, pertemuan ini sama saja mengingatkanku pada beberapa tahun silam di mana aku dan ibu hid
Aku menggelengkan kepala, di saat seperti ini ia malah memikirkan kehormatannya sendiri, bukan memikirkan anaknya yang sedang membutuhkan sosok kedua orang tua."Aku ga tahu, dia masih dalam proses penyidikan belum menjalani sidang putusan berapa tahun lamanya dipenjara," jawab ibuku tenang.Kulihat Haura menangis sesenggukan, mungkin ia dilema harus berbuat apa."Kalau kamu ga mau terima Haura, biarkan dia tinggal bersamaku, soal biaya persalinan dan bayi itu jangan khawatir kami akan menanggungnya, seburuk apapun aku pasti tanggung jawab ga seperti suamimu itu, yang lari dari tanggung jawab."Luar biasa, hati ibu begitu mulia ia juga pandai dalam membalikkan fakta."Ayo Haura kita pulang lagi, biarkan aku merawatmu," ucap ibu pada Haura."Ayo Haura, mereka tak menginginkanmu, jangan khawatir kasih sayangku ga akan berubah hanya karena aku sudah mengetahui asal-usulmu, bayi yang ada dalam perutmu itu cucuku," bujuk ibu lagi karena Haura masih diam terpaku."Haura, ayo kita pergi aku
Justin telah tertangkap dengan segala bukti yanng menunjukkan bahwa dirinya yang dahulu merenggut mahkota Elya.Pada polisi ia mengaku jika dirinya memang mengagumi Elya jauh sebelum mengenal Melta. Namun, gadis malang itu sama sekali tak pernah meliriknya bahkan terkesan cuek saat pria blasteran Amerika itu mendekati.Merasa gagal berkali-kali, akhirnya ia menuruti bisikan s3t4n untuk berbuat nekat, merenggut paksa mahkota pada bunga yang sedang tumbuh mekar.Ingin sekali aku mengh4j*rnya hingga puas. Namun, kusadari tindakan itu tak bisa membuat kekasihku hidup kembali.Setidaknya aku merasa lega, tuduhan yang selama ini mengarah padaku benar-benar tak terbukti, semoga saja Melta menyesali perbuatannya itu."Adnan, Ibu mau kenalkan kamu dengan anak temen Ibu, siapa tahu kalian cocok 'kan, kamu harus menikah lagi, tak baik terlalu lama menduda," ujar ibu saat kami makan siang bersama.Uhukkk!Tiba-tiba saja Haura terbatuk-batuk, entah tersedak atau kenapa, ia lekas segera meneguk air
"Kenalan aja dulu, Adnan, kalau kamu tertarik langsung nikah, dia wanita shalihah, Ibu senang kalau kamu beristrikan dia.""Tapi, Renata mantan istri temanku, apa kata orang?""Jangan dengar apa kata orang, banyak di luar sana yang naik ranjang dan turun ranjang, selama kalian tak sedarah maka pernikahan itu sah."Ucapan ibu sungguh terngiang merusak konsentrasi kerjaku, tak dapat dipungkiri Renata memang sangat menarik hati, kepribadiannya yang kalem dan berwibawa juga penampilan yang berbeda dengan Melta.Sungguh, sejak dulu aku selalu mendamba memiliki seorang istri yang bisa menutup auratnya dengan sempurna. Namun, saat itu Melta selalu berdalih bahwa dirinya belum siap."Percuma memakai hijab tapi hati belum bisa taat, lebih baik perbaiki hati dulu baru setelah itu berhijab," kata Melta tempo hari.Sejatinya perkataan itu adalah talbis untuk menyesatkan kaum hawa agar jauh dari syariat agama, ia hendak mengulur waktu, hingga hari kematian itu tiba, tipuan iblis ini sudah sangat m