"Pokoknya, apa yang dikatakan Ais jangan dipercaya ya, Dek." Nada bicara Mas Asep terdengar sedikit lebih tenang, karena aku pun hanya diam. "Aku tidak akan pernah menghianati janji suci pernikahan kita. Apa lagi hanya dengan seorang pembantu dan mantan purel murahan seperti Eka."Mas Asep mengucapkan kata katanya itu dengan penuh semangat. Apa aku percaya? Tentu saja tidak.Karena memang ini bukan untuk yang pertama kalinya sih. Terserah dia mau bilang apa, yang jelas untuk saat ini, apa pun yang keluar dari mulutnya tak bisa dipercaya.Apa sudah lupa jika tadi siang dia marah marah padaku? Sekarang, tanpa sedikit pun kata maaf, dia malah bersikap sok baik.Ah iya aku lupa, ini semua akan gara gara Ais yang keceplosan. Aku tersenyum dan sekilas menoleh pada Eka. Sahabatku itu sedang menunduk sambil menautkan ke sepuluh jarinya . Tanpa perlu melihat ekspresi wajahnya, aku tentu sudah bisa menebak, saat ini dia pasti marah. "Aku ... ke belakang dulu ya."Kali ini tanpa persetujuan
"Apa kamu tidak punya motor?" Ryan langsung bertanya seperti itu saat aku baru sampai di tempat makan yang sama saat kami bertemu dua hari yang lalu. "Ada, tapi dipakai sama Mas Asep." Memang benar begitu adanya. Seperti yang sudah aku katakan, jika aku bekerja hampir tiga tahun di negeri orang, dengan setiap bulan aku mengirimkan uang sekitar lima sampai tujuh juta, tak ada perubahan sedikit pun di rumah. Perabotan dan apa yang ada tetap seperti saat aku akan berangkat dulu. Memang karena uangnya habis digunakan untuk foya foya ketiga trio sampah itu. Motor pun tetap hanya ada satu. Sejak perbincangan sedikit panas di meja makan semalam, Mas Asep tak lagi kelihatan batang hidungnya. Saat pagi pun, dia sudah tak ada bersama motornya. Ryan seperti biasa hanya menanggapinya dengan wajah datar. Pria bule itu kemudian ganti menoleh pada Ais yang baru saja membenarkan posisi duduknya, tepat di sampingku. "Halo cantik. Apa mau jalan jalan hari ini?" tanyanya pada Ais dengan wajah
"Bu, Om Ryan baik ya?" ucap Ais sambil memainkan boneka barunya. "Iya, Sayang." Memang kenyataanya begitu, ketika dulu aku bekerja di rumahnya, dia begitu baik. "Ais suka sama Om Ryan." Polos sekali ucapan yang terlontar dari bibir putriku itu. Dia saat ini sedang memeluk erat boneka beruang berwarna coklat yang diberikan oleh Ryan tadi. Perhatian yang diberikan Ryan saat bertemu, sepertinya juga menjadi begitu berkesan bagi Ais. "Ibu, harusnya nikah sama Om Ryan. Bukan sama Ayah." Kembali Ais berucap dengan begitu polos. Mungkin memang hal itu lah yang ada di hatinya. "Om Ryan baik, Ayah jahat." Ketika disakiti fisik dan psikis oleh ayah kandungnya, dia tentu membutuhkan kasih sayang, saat itu Ryan datang. Meski baru dua kali bertemu, tapi sepertinya kedekatan itu telah terjalin. "Waktunya tidur siang dulu ya, Sayang." Sengaja kualihkan perkataannya. Memang benar yang dia katakan, tetapi semua tak semudah pikiran anak kecil bukan? Semua yang sepertinya indah, juga belum past
"Arrgh ... kurang ajar!"Beberapa saat kemudian, Eka sepertinya begitu marah hingga melempar semua bantal tanpa arah, selimut pun telah dibuangnya. "Awww ... aduh sakit!"Jeritan dari Eka kali ini, spontan membuatku bangkit dari tidur. Pasalnya wanita itu tengah meringis sambil memegang perut buncit nya."Apa dia akan melahirkan?" tanyaku lirih sambil menatap lekat layar ponsel. Tetapi kemudian rasa ragu menyelinap di hati. Takut jika sahabatku ini hanya bersandiwara saja. Tapi ... dia kan tidak tahu kalau ada cctv di kamar. Lebih baik aku melihat kelanjutan nya dulu."Aduh, ini perut kenapa sakit banget sih?" Eka kembali berteriak sambil terus memegang perutnya. "Apa aku mau melahirkan Ya?"Kali ini Eka pun langsung keluar dari kamar dengan masih berteriak. "Sakit!"Membangunkan Ais setelah melihat jika Eka saat ini tidak sedang bersandiwara. Untung saja putriku itu langsung bangun.Tok tok tok "Nisa. Tolong bantu aku. Aku mau melahirkan, Nis!"Suara ketukan yang lumayan keras
"Nis, kalau aku jadi kamu, sudah aku laporkan mereka ini ke polisi. Biar lahiran di penjara! Atau ... sekarang tinggalin aja di pinggir jalan! Biar tahu rasa!" Semua yang dikatakan oleh Bu Nana memang benar sekali. Orang gila mana yang mau mengantar si pelakor ke rumah sakit untuk melahirkan? Sepertinya hanya aku saja. Meski kini aku jahat karena sudah dikhianati, tetapi aku masih punya hati nurani. Bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain, tetapi ini murni dari hati kecilku. Tak akan bisa aku membiarkan siapa pun dalam keadaan terjepit seperti ini. Eka, setelah mendengar ucapan dari Bu Nana itu, entah apa yang dia pikirkan, yang pasti dia lebih memendam rintihannya, tak seperti tadi. Matanya terpejam sembari mendesis dan terus mengelus perut buncit nya. Aku mendengus kasar, seolah memang baru mengerti semua ini dari Bu Nana. "Pantas saja. Seperti ada yang janggal dari cerita Mas Asep dan Eka. Ternyata mereka." Kutatap wajah yang kesakitan itu. Sesaat mata kami bertemu, la
"Ya Allah, kenapa bayinya Eka begini?"Dengan tanpa dikomando, telapak tangan ini langsung menutup mulut. Ketika suster menunjukkan wajah seorang hati mungil yang baru saja di bersihkan.Cantik, cantik dengan kulit begitu bersih. Bentuk hidung dan mata itu, persis seperti Eka. Melihat wajah mungil itu, aku seperti teringat dengan seseorang. Entah siapa otu, saat ini aku tak bisa mengingatnya.Sedikit pun kurasa tak memiliki kesamaan dengan Mas Asep. Tetapi bukan karena itu yang membuat aku harus sedikit memekik dan kaget. Melainkan karena bayi cantik ini memiliki sebuah cacat bawaan. Sumbing. "Apa ini benar anak Eka?" Aku kembali bertanya sembari menggendong bayi itu, mata ini lekat pada dari wajah si bayi."Benar sekali, Bu. Ini bayi yang baru saja dilahirkan oleh Bu Eka dengan cara induksi." Akhirnya suster berkulit coklat itu pun bersuara. " Semua organ tubuh lengkap dan sehat. Hanya saja memiliki kelainan bentuk bibir yang disebut sumbing."Mau tetap tidak percaya, tetapi sudah
"Kenapa? Kamu sepertinya kaget banget Mas?" Aku pun mulai berucap. "Nggak perlu sandiwara lagi deh, aku sudah tahu semuanya kok. Aku sudah tahu jika selama ini kamu dan Eka telah menusukku dari belakang."Tak tahan juga aku untuk tak berucap, kurasa ini adalah momen yang tepat. Sangat menunggu reaksi seperti apa yang diperlihatkan oleh Mas Asep."Ka - Kamu ngomong apa sih, Nis?" Tetapi ternyata yang memberikan jawaban malah ibu mertua. Mas Asep terlihat makin bingung. Mungkin karena lebih senior, dalam urusan berbohong, maka sang ibu lah yang berani menjawab terlebih dahulu."Apa yang saya ucapkan tadi kurang jelas, Bu?" Aku mengalihkan pandangan kini.Tak masalah mengulur waktu sebelum mereka bertemu dengan Eka. Toh keadaan Eka dan bayinya sudah bagus menurutku.Bu Nana, tetap berada di sampingku, sepertinya beliau ingin langsung menimpali, tetapi dicegah oleh sang suami."Dari mana kamu dapat berita bohong seperti itu?" Ibu mertua berkata dengan begitu lembut padaku. Sebuah hal yan
"Enak saja, itu rumah gono gini ya. Bukan hanya rumah kamu, punya Asep juga. Jangan serakah Nisa!"Wah, ibu mertuaku akhirnya maju juga, setelah melihat anaknya kalah telak. Suaranya juga ditinggikan, beda sekali dengan beberapa menit yang lalu, saat bersuara begitu lembut padaku."Bu, tolong jangan terlalu keras bicaranya. Kita ada di rumah sakit. Jangan sampai Pak Satpam datang," ucapku sambil menaruh jari telunjuk di depan bibir. Ibu mertuaku itu langsung mendengus kasar. "Tahu nggak Nis. Asep seperti ini, itu karena kamu yang nggak pecus jadi istri!"Wah kenapa malah merembet ke sana? Apa ibu mertuaku ini hilang ingatan Ya?"Bu ... bagaimana mungkin saya bisa melakukan semua pekerjaan seorang istri, kan saya hampir tiga tahun ini bekerja jadi TKW di luar negeri?" Aku kini tersenyum. "Bukankah yang nyuruh dulu ibu dan Mas Asep sendiri? Bukankah semua hasil kerja kerasku, kalian pakai untuk foya foya?"Saking kesalnya, kuuraikan juga semua rincian uang yang aku kirim dan kemana p