Share

LOVE A FRIEND
LOVE A FRIEND
Penulis: Rinkania

-AWAL-

° >Kadang hal bahagia yang kita inginkan, bisa dengan cepat orang lain hancurkan!!!

Beberapa tahun lalu tepat orang tua Livia mulai berpisah. Pemandangan yang membuat hati sang anak begitu hancur, melihat kebisingan yang dihasilkan oleh kedua orang tuanya.

"Izinin orang tua lo cerai! Atau lo kehilangan Ibu, buat selama lamanya."

Ancaman yang datang dari benda tipis yang sering disebut handphone itu, selalu terbayang dibenaknya. Tepat beberapa kali wanita itu mengayunkan perkataan kasar terhadap anak perempuan yang masih berumur 7 tahun itu.

"Ma, Pa. J-jangan berantem," Pinta Livia yang gemetar menahan air matanya seakan berontak ingin keluar.

Raka sebagai Kaka kandung Livia, sedari tadi memberikan dekapan erat pada Adiknya itu. Berusaha menenangkan Livia karena situasi ini, mengelus berulang punggung kecil milik Livia.

"Bukannya aku ga mikirin anak-anak mas, tapi aku udah ga tahan liat sikap kamu yang selalu main hati sama Tiara."

Isakan tangis itu menggema di ruangan yang besar, entah itu berasal dari Livia atau sang Ibu. Livia dapat mendengar dengan jelas jika Ibunya menangis kesakitan, menahan nada bicaranya agar masih terlihat baik-baik saja. Itu semua benar-benar membuat hati nya begitu rapuh.

Rama sebagai Ayah dari Livia dan juga Raka, hanya menatap bingung terhadap Denia. Entah apa yang lelaki itu pikirkan sampai menatap Istrinya seperti itu.

"De, tapi aku sayang sama dia, dan sayang sama kamu juga," pungkasnya.

Jawaban yang diberikan itu seakan membuat semua orang di ruangan itu membesarkan matanya, tidak percaya sang Ayah mengucapkan semua itu dengan lantang. Ibu yang tidak habis pikir hanya mulai berfikir melalui otaknya yang sedang berasap itu.

"Oke, kalo gitu. Raka, Livia, kalian mau ikut ibu apa papa kalian?" tanyanya lantang.

Raka mulai menggeleng tak percaya, mulai memegang erat tangan mungil Adiknya. Menatap sendu seakan mengisyaratkan agar ingin selalu tetap bersama.

"De, ikut mama, yah," pinta Raka tetap memegang tangan Livia.

Livia yang mulai bingung hanya meneteskan air mata yang selama ini dia tahan, ingin rasanya mempertahankan keluarganya namun seperti sudah tidak mungkin. Keinginannya seakan dihancurkan oleh beberapa kalimat yang diciptakan oleh Mama dan Papanya. Otaknya mulai berfikir, bukan hal yang bagus jika meninggalkan Ayahnya sendiri bersama Tiara. Seberapa banyak harta yang mungkin bisa wanita itu rebut dari sang Ayah, namun yang paling Livia khawatirkan ketika Rama di salah gunakan. Bagaimana pun Livia sangat menyayangi Rama. bukan hal yang membahagiakan juga jika dia harus hidup bersama Ibu tanpa sang Ayah.

Livia mulai menggelengkan kepalanya, meneteskan lebih banyak air pada pipi manisnya. Semua itu berhasil membuat Raka kecewa, melepaskan genggamannya.

"Maaf ka," ujar Livia yang berusaha dengan sangat keras menahan rasa sakitnya.

Kini badan Raka mulai ditarik oleh Denia pergi meninggalkan rumah itu dengan wajah penuh kekecewaan. Larian kecil Livia segera menghentikan tubuh Denia, menyentuh pelan tangannya.

Memperhatikan arti sorotan mata seorang anak yang hendak ditinggalkan oleh ibunya.

Denia mulai merengkuhkan badannya jongkok, mendekap Putri kesayangannya dengan penuh cinta. Walapun dia kini sedang kecewa, namun Ibu mana yang sanggup berpisah dengan anak-anaknya.

"Yang baik ya, sayang, mama pergi dulu," pamit Denia mengusap sisa air mata di pipi Livia.

Denia mulai pergi membawa Raka, bahunya mulai menjauh dari keberadaan Livia kini. Pemandangan suram ini selalu sukses masuk ke dalam mimpinya setiap malam.

...

Kini dencingan alarm keras mulai terdengar, sontak Livia meraba ke arah suara itu berada. Dia mengangkat badannya agar bisa duduk dengan nyaman, mengucek mata kanannya.

"Again," keluhnya.

Sudah 15 tahun berlalu, menjalani hidup dengan sangat membosankan. Tanpa adanya tawa didalam keluarga ini, tanpa tahu dimana keberadaan salah satu anggota keluarganya, atau mungkin tanpa seorang teman yang selalu berada disampingnya.

"Ayah!" ujarnya

Rama yang hendak pergi ke perusahaannya terlihat sedang merapihkan dasi yang berada dilehernya. Livia mulai mendekati Rama berniat memberikan bantuan pada sang Ayah. Tangannya yang lincah kini mulai merapihkan dasi itu.

"Perfect," Gumamnya

Livia mulai memberi salam pada Ayahnya, mengecup punggung tangan Rama dan hendak pergi untuk berangkat ke sekolah. Sebelum itu, sebenarnya Rama sempat memberikan pelukan hangatnya pada Livia. Semua itu sering dia lakukan pada Anak perempuannya, namun kadang tetap saja Livia merasa kurang.

*

Lorong di sekolah terdengar begitu ricuh seperti biasanya, kadang membuat Livia ingin berteriak dan bertegur sapa pada teman-temannya. Namun lagi-lagi dia tidak bisa melakukan hal yang mungkin tidak sulit bagi orang lain.

Tanpa berfikir panjang dia hanya terus berjalan melangkahkan kaki menuju kelasnya, menghela nafasnya berat hingga masuk ke dalam kelas.

"Hey, lo Rafael kan?" tanya Aka yang tiba-tiba mendekati Rafael.

Waktu itu, hari pertama Rafael memasuki sekolah. Aka yang tiba-tiba mendekati Rafael yang tengah terduduk diam.

Rafael Saputra...

Cowo Badboy yang susah berbaur. Dia banyak ditakuti siswa lain hingga membuatnya juga jarang mendapatkan teman. Namun dia termasuk orang yang populer di kalangan kaum hawa, parasnya yang tampan membuat Rafael selalu menjadi contoh tipe boyfie para kaum hawa. Tak sedikit juga yang sudah berjuang hingga akhir, namun tidak ada yang berhasil. Rata-rata semua cewe pasti dia tolak oleh Rafael.

Rafael hanya melihat sinis mendengar seorang lelaki tiba tiba berada dihadapannya, disetai duduk tepat di depan Rafael.

"Gosah sombong gitu, Masnya. Buruan kenalan sama gua! Jadi temen gua!" Pintahnya.

Entah siapa lelaki itu, tanpa rasa malu melontarkan kata-kata pada Rafael yang jelas-jelas selalu mengacuhkan orang lain.

"Lo bisu ya?" celetuk Aka kembali.

Rafael yang kesal dengan berat hati mulai memberikan balasan.

"Siapa si lo? Gua gakenal sama lo!" jawab Rafael kesal.

"Hha, sante, masnya. Gue, Aka prawira, kita sekelas loh. Masa lo gamau punya temen kelas sih," sembari menjulurkan tangannya

"Gue ga butuh!" jawab Rafael singkat.

"Oke."

Aka Perwira...

Dia adalah salah satu siswa dengan nilai raport tertinggi dan juga populer. Tidak kalah dengan kepopuleran Rafael Saputra. Namun Rafael bukan salah satu siswa pintar itu.

(Toktoktok!) Gembarakan meja paling depan berbunyi.

"5 menit lagi, PR Fisika tolong dikumpulkan!" umum Livia sebagai Ketua Kelas (KM).

Rafael yang kebingungan, karena buku PR Fisikanya sama sekali belum terisi. Dia hanya bisa kebingungan tanpa bisa mengisi soalan tersebut.

"Anjir, gimana nih?" gerutu Rafael sambil melihat buku PR Fisika yang belum terisi.

"Lo belum ngerjain yah?" teriak Aka.

Dengan tangan yang reflek Rafael menutup mulut Aka, teman sekelasnya mulai melihat kedua orang tersebut. Memandang aneh dengan posisi yang sekarang mereka lakukan.

Rafael yang kaget, dengan cepat menjauhkan tangannya dari mulut Aka dan kembali duduk seperti biasa.

"Ehem," deham Rafael sambil memperbaiki seragamnya.

"Jangan teriak!" sambungnya setelah jeda.

"Oke sorry. Yauda, gue mau ngumpulin dulu. By," ucap Aka sambil beranjak.

Rafael pun sepertinya mulai panik, menahan Aka agar tidak segera mengumpulkan buku miliknya.

"Emm, gue nyontek dong," Gumam Rafael ragu.

"Tadi bilang ga butuh temen?" ledek Aka tetap maju.

"Engga, engga. Gue tarik ya. Gue butuh temen, gue butuh lo. Ayolah, gua nyontek boleh ya," dengan hati hati Rafael terus merayu Aka agar dia bisa membantunya.

Al hasil akhirnya dia berhasil merayu Aka.

"Ah, untung gua baik. Nih!" Aka mulai menyodorkan buku fisika miliknya.

Rafael yang mendapatkan pinjaman buku itu segera menyalin jawaban jawaban secara rinci. Lima menit pun berlalu, begitu cepat.

Ketua murid dari kelas itu membawa satu persatu buku milik siswa. Hingga saatnya buku Aka dan Rafael di bawa.

"Mana buku lo?" tanya Livia

"Ada bentar ya," jawab Aka memohon

"Cepetan Pa Arif udah nungguin."

Kini nada livia yang mulai memaksa. Tidak sengaja Livia melihat ke arah Rafael. Dia melihat Rafael yang sedang sibuk menyalin hasil jawaban Aka di bukunya.

"Oh jadi ini yang bikin lama tuh?" tanya kembali Livia sambil menarik buku salah satunya.

Rafael tidak menggubris Livia. Dia hanya melihat ke arahnya dan kembali menulis dengan cepat.

"Nih!" ujar Rafael memberikan buku buku yang selesai dia salin.

"Oke. Lain kali jangan lama lagi!" Tanpa permasalahan Livia hanya mengambil buku itu.

"Heran, ko dia biasa aja ya liat gue?"

Pikiran Rafael tiba tiba mulai bertanya tanya melihat sikap Livia yang tidak seperti gadis lain saat menatapnya.

Tbc guys

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status