Rafael dibuat keheranan setiap melihat Livia. Bagaimana tidak, secara, Rafael adalah laki-laki yang terkenal di satu sekolah. Untuk tatapannya saja bahkan sangat tajam, bisa membuat kaum hawa Mleyot!. Tapi anehnya, Livia bersikap biasa saja saat berhadapan dengannya. 'Kebal sekali dia!' Pasti semua orang bekata demikian. Rafael saja keheranan melihat tingkah Livia. Dia memberanikan diri untuk mendekati Livia terlebih dahulu.
Kebetulan untuk diwaktu itu, Rafael tidak sengaja melihat Livia yang tengah terduduk di kursi taman. Dia berjalan menghampiri Livia dengan percaya diri. Duduknya Rafael di sebelah Livia, membuat dia mulai bertatap sinis terhadapnya.
"Ngapain lo duduk disini?" lontar Livia kesal.
'gimana bisa orang ini main duduk duduk aja," pikir Livia, tidak masuk akal sekali seseorang mencoba berinteraksi dengannya. Satu sekolah saja tahu, bahkan mungkin sudah kesal menghadapi dinginnya sikap Livia.
"Lah serah gue dong, kepala sekolah aja ga larang?" sewot Rafael menumpangkan kakinya.
"Oke, terserah."
Kini Livia memutuskan untuk menghiraukan Rafael, menganggapnya tidak bersampingan dengannya. Namun, suara bisikan beberapa gadis yang ber lalu lalang, membuat Livia risih.
"Ahh, itu Rafael ngapain sama Livia? Apa pacaran?" tanya satu gadis kesal.
"Ga mungkin lah. Mereka tuh ga cocok tau! Rafael tuh cocoknya sama gue. Dahlah, no debat!" jawab gadis lainnya.
Sontak lensa mata Rafael melakukan kontak bersama lensa mereka, membuatnya seketika histeris berjerit, berjingkrak.
"Dia liatin gue kan?" tanya satu gadis.
"Bukan! Dia liatin gue tau!" tekan gadis lainnya.
Kekesalan Livia sepertinya semakin bertambah, jujur saja, dia bukan tipe orang yang suka berada dalam tempat keramaian. Kebisingan itu sangat mengganggu pikirannya.
"Heh! pergi sana! Gue keganggu sama kebucinan mereka terhadap lo!" titah Livia dengan ketus.
Rafael mengangkat alis kananya,
"Ngapain ke ganggu sih?" tanyanya kembali."Gue gamau jadi bahan gibahan mereka. berasa pangeran benget lo," kesal Livia.
"Eh? Tanya aja sama mereka, gue emang kaya pangeran tau."
"I-iii jiji banget, pangeran? Kalo pangeran Kodok mah iya," ketus Livia meninggalkan Rafael kesal.
Rafael yang melihat tingkah Livia mulai tersenyum tipis.
"Gue suka gaya dia, jarang banget ada cewe kaya gini," gumamnya sambil terus memperhatikan langkah Livia.
Rafael yang mencuri-curi pandang itu, tiba-tiba di rangkul, terkekik perlahan oleh sahabatnya Aka.
"Hey bro! Burruan masuk, bentar lagi jam terakhir mulai."
Rafael yang kesakitan hanya menepuk-nepuk lengan Aka, berusaha mencoba untuk melepasnya.
"Lepasin gue jenggg!" kesalnya.
Tanpa menggubris satupun perkataan Rafael, kini Aka hanya terus menyeretnya untuk pergi ke dalam kelas. Sementara kepala Rafael masih terdengkek.
"Heh, anjeng, sesek gue!" keluh Rafael setelah tiba di kelasnya.
Aka hanya tersenyum lebar, menampilkan senyuman paling manis pada dunia.
"Pengen muntah tau" tambah Rafael.
"Haha. Ya kalo gue, ga seret lo. Bakalan lelet. Jalan lo kan kaya siput," Aka mulai terkekeh."Eh, Anj-" ucapan itu sempat terpotong, dikarenakan guru akhirnya datang.
Datangnya guru ke dalam kelas, membuat seluruh siswa-siswi menghentikan kebisingan. Bagi Rafael mapel akhir itu sangat membosankan dan melelahkan. Dia hanya terus memainkan pulpen sambil mencuri-curi pandang ke arah Livia berada.
Aka yang tidak sengaja memergoki Rafael, melihat keadaan lensanya yang mengarah pada meja di sebelah kanan.
"Ngapain sih lo? Merhatiin Livia mulu perasaan?" pergok Aka yang melihat Rafael.
"Hah? Nggak gue cuman bingung. Kenapa dia dingin banget, susah diajak ngomong gitu."
"Dia emang terkenal jutek ke semua orang kali," bisik Aka.
"Lah iya? Lo kenal dia dari kapan?"
"Dari kecil gue tau dia. Orang setiap tahun, gue pasti sekelas sama dia."
"Oo gitu, kira kira kenapa ya?" membulatnya bibir Rafael saat berkata.
"Mana gua tau bang."
"Oke," jawab Rafael sambil mengangguk
Bel pulang pun berbunyi, bebarengan dengan getaran hp Livia. Liviapun segera mengambil hp yang ada di atas mejanya, juga menggendongkan satu tali ranselnya, berniat segera meninggalkan kelas yang sudah mulai sepi.
@PapaRama
[Udah pulang belum? Cepetan pulang yah. Ada sesi potret.]Melihat tulisannya saja berhasil membuat Livia menggerutu kesal, sebelum hendak membalasnya kembali.
'Ah sebel, baru juga pulang. Udah di pesenin kaya gini,' kesal Livia.
@Liv
[Iya.]Rasanya kesal dalam diri itu mulai meluap, [Ha?] kesal sekali, saat harus menuruti apa yang Rama inginkan, namun semua itu pun tidak dapat dia tolak.
Semenjak kejadian itu, Livia harus menjadi satu-satunya anak yang bisa Rama andalkan. Dia mulai mengikuti arahan Rama untuk meneruskan perusahaannya, dan menjadi model nomor 1. Kadang dia juga merasa kesal dengan apa yang Rama lakukan, namun untuk membuat Rama melupakan Tiara dia rela untuk melakukan semuanya, bahkan selama 15 tahun ini Livia tidak pernah bermain, Layaknya anak-anak pada umumnya. Terlebih lagi, di paksa untuk tidak berteman dengan siapapun. Hidup sendirian dengan keadaan keluarga yang seperti ini, sangat menyakitkan bukan?.
Helaan Livia yang begitu berat menggema di lorong yang sepi, berjalan dengan meninggalkan sisa gemaan dari sepatunya, melangkah satu demi satu meninggalkan sekolah. Angin yang mulai datang membuat Livia membulatkan matanya juga menelan saliva karena terkejut.
'Apaan itu?' batinnya merintih. Sempat saja bulu kuduknya terangkat kareta angin dadakan itu, Livia terdiam sejenak, membisu, sebelum memberanikan dirinya untuk memutar, memastikan apa yang terjadi. Setelah mengumpulkan nyali yang sangat besar, akhirnya dia mulai memutar badannya.
Awalnya saja kedua mata itu tertutup rapat-rapat, sampai membuka satu matanya memeletet. Melihat siapa yang berada tepat di hadapannya, kini malah membuat dirinya kesal kembali.
"Ehhhh, lo lagi lo lagi! Ngapain lagi sih?" bentak Livia kesal, ternyata hembusan angin itu berasal dari Rafael, dia sengaja meniup perlahan agar Livia ketakutan.
"Eits, sabar, Mbaknya. Ngapain sih sendiri aja? Gue liat lo, gapernah tuh bareng bareng sama temen temen sekelas lo, gitu?" tanya Rafael mengangkat alisnya.
"Gausah ngurusin idup orang bisa kan? Baru punya temen satu aja belagu," jawab Livia lebih kesal, dan hendak mempercepat langkahnya.
Mendengar ucapan itu, membuat Rafael mulai menyerngit, hingga tertawa tipis. Namun, semua itu tidak membuat Rafael berhenti mengikuti Livia, dia malah kembali mengikutinya. Gemaan sepatu itu kini bertambah, karena Rafael yang terus mengikuti Livia. Semua itu berhasil membuat amarah Livia juga bertambah, masalah hidupnya saja sudah sukses membuat dirinya jengkel, dan sekarang dia harus dihadapkan dengan orang ini. (ARRRGH!).
Dia memutar badannya cepat, memelototi Rafael kesal. Rafael saja sampai terkejut dengan kecepatan Livia, matanya membulat, dia mengangkat bibirnya tersenyum di hadapan Livia. Tidak dapat berkutik, kini dia seperti telah mendapatkan sebuat tatapan 'skakmate' dari Livia.
"Berenti ngikutin gue bisa kan!?" bentak Livia sekali lagi kesal.
Hari ini, entah sudah berapa kali dia dibuat kesal oleh Rafael, membentak juga mengomeli Rafael.
'Gue aja bosen banget ngomelin nya, batu banget!' batin Livia benar-benar gregat dengan kelakuan Rafael.
"Ga bisa!" jawab Rafael sembari mengangkat satu alisnya.
Dengan gampangnya perkataan itu terlontar.
'Keras ya,'
"Mau lo, apa, hah?" kesal Livia menatap Rafael sinis.
"Gue? mau jagain lo," jawab Rafael menekan.
Kini Livia mengangkat satu alis kananya.
"Gajelas!" ketus Livia sembaril meninggalkan Rafael.Entahlah, Rafael terlihat senang melihat Livia yang tengah memberi raut wajah kesal terhadapnya, melihat Livia yang pergi dari hadapannya.
"Gue gajelas yah Liv? ... "
" ... Gue juga gatau, sejak kapan gue ngelakuin hal ini," gumam Rafael melakukan monolognya sendiri, sambil memperhatikan punggung kecil Livia yang tengah menghilang.
"Kesel banget gue. Ko ada sih orang kaya gitu?" Livia terus menggerutu selama dia di perjalanan menuju rumahnya.
...
"Pa, aku pulang," ujarnya Kejadian di hari ini begitu sangat mengjengkelkan bagi Livia. Kekesalan yang meluap itu seakan membuat seluruh tubuhnya kepanasan. (HAH!?) Kini yang hanya dia lakukan, adalah mendesah memberikan helaan nafas berat, mengingat segala yang telah dia lalui. "Ayo! Para wartawan udah pada nunggu kamu," jawab Rama yang melihat Livia kembali. Belum juga sempat untuk merebahkan badannya di ranjang terempuk, dia sudah melihat beberapa orang menyiapkan baju ganti untuknya. Di lanjut dengan perintah yang Rama berikan. Livia yakin sesi potret kali ini akan lama, di tambah lagi para wartawan sudah berjajar rapi untuk mewawancarainya. "Gue cape ... " gumamnya mengikuti gerakan melangkah. Setelah berganti pakaian, dia dilanjutkan dengan harusnya merapihkan wajah. Ya, walaupun dia hanya duduk diam, tapi semua itu membuat hidup Livia menjadi sangat membos
"Jadi kan?" tanya Rafael kembali.Livia menyergit menanggapi semua pertanyaan Rafael."Jangan-jangan lo, lupa?" tanya kembali Rafael memastikan.Livia menggeleng,"Apa?" tanyanya kembali datar."Iya, kan, kamu beneran lupa," Rafael kini mengerang kesal, menampilkan raut wajah marahnya."Kan udah janji," sambungnya"Bentar ...," tahan Livia yang berusaha mulai mengingat, kapan dia menjanjikan sesuatu hal yang ekstrem. (HA!) Benar, dia menjanjikan semua itu saat berusaha mengusir Rafael kemarin malam.'Kenapa bisa gue ngomong gitu,' batin Livia merintih, karena ketakutannya pada malam itu, dia mulai berbicara omong kosong, dan semua itu Rafael anggap serius?.Livia menghela nafasnya prustasi,"Gue becanda, masa iya gue beneran!" tolak Livia datar.Rafael mengangkat satu alis kanannya, dia memegangi lengan Livia, menampilkan ra
>>> Hari berikutnya berjalan seperti biasa, sudah satu bulan berlalu. Semenjak hari itu, hari di saat Livia mulai membuka dirinya terhadap Rafael. Livia mengurungkan niatnya setelah mendapati pesan entah dari siapa itu. Dia kembali bersikap dingin juga acuh terhadap Rafael. Namun, laki-laki itu tak sedikitpun menyerah, dia selalu mengikuti Livia kemanapun dia pergi, membuat ricuh kehidupannya. Kemanapun Livia pergi, dia terus bertemu atau mungkin melihat Rafael yang selalu dia pergoki sedang mengikutinya. Rasanya jengkel juga, namun apalah daya. Sikap Rafael yang degil itu, membuat dia susah untuk di hentikan. "Livia!" teriak Rafael memanggil Livia yang sedang duduk di antara angin sepoi di siang hari. Livia meoleh datar, melihat Rafael yang sedang berlari mendekatinya. "Hem ... Apa?" tanya Livia setelah Rafael sampai. "Gausah judes, udah! Ga abis-abis
Sebelum mendengar penjelasan Livia. Rama, benar-benar pergi meninggalkan Livia di ruang pribadinya itu. Niat awal Livia adalah hendak pergi menuju sekolah, namun perkataan Rama dapat menyayat hatinya kecewa, Livia bahkan menahan tangisnya di sepanjang jalan menuju sekolah.'Andai Papa ngertiin gue sedikit aja ...,'' ... Gue udah cukup kesepian, semenjak Mama, sama Kaka pergi! Dan sekarang, di saat gue udah punya sumber kebahagiaan? Gue harus kembali jauh dengannya?'Matanya kini memerah, menggenang air mata yang dia tahan. Livia berusaha menekan kedua rahangnya, menahan semua rasa sakit yang dia lalui.'Udah cukup.'Livia seperti digiring dalam kesepian yang kekal, di paksa untuk berpisah dengan Rafael.Rafael yang melihat Livia, kini mulai tersenyum cerah,"Livia!" teriak Rafael dari kejauhan. Namun, entahlah Livia sama sekali tidak mengdengarnya, membuat Rafael mempercepat langkahnya."Heh! Sayang" ucapan
'Ektrem! Ekstrem!' Rafael yang mendengar perkataan Livia mulau tersenyum lembut, memandangi tingkah laku yang Livia berikan untuknya. *Getaran dalam gadgetnya bergetar, sebelum dirinya akan tertidur pulas pada ranjang yang ia miliki. Dia memutuskan untuk mengintip, apa yang datang pada gadgetnta. @FROG🐸Have a nice dream My Queen<3 Terlihat Rafael yang mengirimi pesan, di barengi dengan satu PAP yang Rafael lakukan. Dengan wajah yang datar, menatap camera, memberikan efek Damage di dalam fotonya. Livia saja hampir menjerit kesal."Aarrgghhhhh, kenapa kirim foto kaya gini!" @Myqueen<3Oke, you too. Rafael berdeham girang,'akhirnya Livia mulai luluh!' ...Pagi pun datang, Livia yang tampaknya sudah selesai mandi tiba-tiba dikejutkan. Barang-barangnya kini telah terkemas rapi, di dalam koper besar yang dia punya. Koper besar itu kini sedang digiring ke dalam mobil yang
Siulan itu semakin tedengar begitu jelas. Jelas saja Livia tidak ingin memutar badannya, melihat siapa yang kini sedang berada di belakangnya. Langkah demi langkah lelaki itu ajukan, terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, Livia terlihat gemetar, walaupun menghiraukan suara itu. "DOR!!!" kejut Rafael menyorotkan wajahnya dengan lampu senter. Lelaki itu sengaja sekali membuat wajahnya menjadi seram, akibat serangan lighting dari smartphone nya itu. Kaget, semua itu benar-benar membuat sport jantung. Ekpresi Livia yang ketakutan, di tambah dengan terkejut oleh kejahilan Rafael. "Astaghfirullah!" teriak Livia kaget. Wajahnya mulai memucat, entahlah. Kini kejahilan Rafael sudah tak bermoral, untung saja Jantung Livia tidak jatuh ke jalanan. "Kebiasaaan banget sih lo. Gimana kalo lo beradapan sama orang yang punya riwayat jantung? Udah lah, kelar." kesal Livia yang mulai sadar siapa dalang dari semua ini. Rafael hanya terbahak mel
"Nah bener Liv, anggep aja kita tuh temen lo. Karena mulai hari ini kita temenan yah. Gila aja sih, kalo ga temenan sama cewe cakep kaya gini," serobot Iqbal. Betul-betul yah, sikapnya yang pecicilan itu membuat suasana menjadi kacau. Hari ini saja, sudah sukses membuat schedule Rafael berantakan. Dan semua ekspentasinya benar-benar jauh dari reality. Iqbal tersenyum manis merayu Livia, membuat Livia membalas senyumanya. "Hah, tipe-tipe buaya nih!" kekeh Livia.Lagi-lagi Rafael dibuatnya kesal, dia menghalangi wajah Livia dengan buku kecil agar Iqbal tidak melihat Livia, juga Livia tidak membalas senyuman Iqbal itu. "Iya temenan boleh, tapi sikap lo itu, gausah di keluarin ya!" ujarnya dengan nada di tekan kembali. Livia memperhatikan Rafael, tersenyum tipis melihat tingkah Rafael hari ini. Terlihat begitu jelas Rafael tidak menyukai Livia yang memberikan senyuman itu pada Iqbal. "
"Ngapain?" tanya Livia mengangkat satu alisnya. "Naik!" titah Rafael. Perintah itu membuat Livia terdiam sejenak, memandangi punggung Rafael yang samar-samar terlihat kekar. Rafael menoleh ke arah belakang, menatapi Livia yang melihat punggungnya, lalu menggeleng kesal. Tanpa mendengarkan penolakan apapun yang keluar dari mulut Livia, Rafael mulai menggendongnya memaksa. Sempat kaget, Livia melihat kelakuan Rafael kini, dia sampai memukul-mukul pelan bahu lebarnya berulang. Namun pukulan itu terhenti, ketika kepalanya mulai pusing dan terasa seperti nut-nut tan. "Raf, Raf. Gue ga kuat ini, pusing banget," ujar Livia menghentikan langkah Rafael. Livia menidurkan kepalanya tepat pada bahu milik lelaki itu. Berbicara semakin membisik, karena rasa sakitnya yang mungkin membuat Livia tidak sanggup berbicara seperti biasa. "Pulang aja ya, gausah ke tempat makan. Nanti makan di rumah aja!" pinta Livia lirih. Livia mulai memejamkan matan