Rania tampak berpikir setelah mendengar rekaman Rafa, ia pun berniat untuk membalas kejahatan Kinan. Satu persatu rencana disusunnya, terkadang ia berpikir harus bertindak kejam, demi memuaskan batinnya yang telah tersakiti, suatu kejahan harus dihukum ‘kan jika hukum negara tidak didapatnya maka hukuman harus dilakukan sendiri, itu adalah tekad Rania, ia tidak mau menjadi wanita bodoh yang hanya dimanfaatkan, dibohongi bahkan dihina setelah tidak lagi berguna.Mentari sudah berada di ufuk barat, Rania telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun bergegas menemui Adi, di suatu tempat, sengaja Rania saat ini mengenakan kaos hoodie dan celana jeans serta topi untuk menyamarkan penampilannya, ia pergi menghampiri bajai. Baru saja kakinya akan melangkah naik ke bajai, Fatma yang baru saja turun dari mobil memanggilnya.“Ran, mau ke mana? Aku bisa mengantarmu,” tawar Fatma.“Tidak perlu Bu Fatma, ada perlu apa kesini?”“Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat, dan aku perlu teman ngobrol ter
Rania malam ini tampak tegang Adi, mengatakan jika eksekusi butik Kinan akan dilakukan malam ini, Adi yang telah merencakannya, dan Rania hanya bisa berdiam di ruko, dan menunggu kabar dari Adi, ia sedikit takut, jika Adi tertangkap, tapi setiap perbuatan pasti ada resikonya. Waktu menunjukkan jam sebelas malam, pasti butik Kinan sudah tutup.Detik terus berjalan, menit berlalu begitu lama, Rania hanya bisa mondar-mandir, sambil matanya sesekali menatap jam dinding di kamarnya.Hingga bunyi ponsel, membuatnya kaget dan langsung mengangkat ponsel.“Hallo Adi,” sapa Rania.“Bu Rania, aku sudah melakukannya, sudah mulai menjalankan membakar butik,”“Tidak ada orang ‘kan, di dalamnya.”“Aman, toko sebelah kirinya kebetulan kosong, dan di sebelah kanannya, juga gudang kosong, jadi tidak akan merugikan kedua toko sebelahnya,” jelas Adi.“Bagus, bagaimana dengan cctv?”“Cctv aku sudah mengecek dan ternyata cctv tidak aktif, sejak satu minggu yang lalu, makanya aku segera mengeksekusi malam
Rania menuju ke ruang obat, ia sangat penasaran sekali dengan obat yang diberikan Fahri pada Kinan. Dengan mempercepat langkahnya ia pun sudah berada di ruang obat dan mendengarkan penjelasan dari ahli obat.“Ohh jadi jika di konsumsi tidak sesuai resep, akan mempengaruhi kerja jantung.”“Iya Bu Rania, dan obat ini tidak bisa dibeli tanpa resep dokter,” jelas apoteker“Okay terima kasih atas penjelasannya.”Rania berpamitan dan kemudian melangkah menuju ruang perawatan dimana Larasati dirawat, di sana ada Dinda yang menunggui ibunya.Tok! Tok “Boleh aku masuk,” pinta Rania.“Kak Rania, darimana tahu jika ibu dirawat disini?” tanya Dinda.“Kamu lupa, Din, jika aku bekerja di Harafa Hospital, dan kemarin aku bertemu Mas Faiz, lalu mengatakan jika Ibu sakit.”“Kak Rania, pasti senang melihat ibu tak berdaya seperti itu,” Dinda terlihat sedih.
Sementara itu Rafa telihat kesal, ia menatap Dinda yang masih menyuapi Fano.“Kenapa sih, ibu harus tinggal disini?”“Apa kamu keberatan, dia itu ibuku, ibu mertuamu,” timpal Dinda kesal.“Halah, dulu saja, kita menikah tidak direstui oleh ibu, sekarang malah mau tinggal disini.”“Sudah Raf, jangan banyak mengeluh, jaga Fano, aku akan ke rumah sakit menjenguk ibu, kalau kau bekerja, titipkan Fano pada tetangga sebelah,” suruh Dinda.Setelah Dinda selesai menyuapi Fano, ia bergegas pergi, naik montor maticnya. Tak lama ponsel Rafa berdering, nomor Kinan ada di layar ponsel, dengan wajah sumringah Rafa mengangkatnya.“Hallo Kak Kinan?”“Rafa, datanglah ke salonku sekarang!” perintah Kinan.“Okay Kak, segera aku akan ke sana,” jawab Rafa, kemudian dengan cepat menitipkan Fano pada tetangganya, dan meluncur pergi, menemui Kinan.Sampail
Faiz sudah menunggu kedatangan Rania, di sebuah kafe dekat dengan Harafa Hopital, Faiz tampak gelisah, entah kenapa ia takut jika selama ini keputusannya menikahi Kinan adalah suatu kesalahan. Pria yang masih mengenakan seragam abdi negara itu, beberapa kali meneguk jus di tangannya. Hingga matanya tertuju pada sosok wanita yang semakin hari semakin terpancar kecantikan alaminya, Rania melangkah pelan, menghampiri Faiz.“Maaf, aku terlambat.”Faiz hanya tersenyum, lalu mepersilakan Rania duduk, bahkan aroma parfum, wangi masih tercium, sangat menyegarkan, sesuatu yang Faiz tak pernah dapati selama Rania menjadi istrinya.“Kamu ingin minum apa Ran?”“Es teh lemon saja, Mas..”“Seleramu masih sama, aku pikir selera minum dan makanmu berubah, seperti penampilanmu yang berubah?”“Kalau soal perut, pasti tidak akan berubah,” sahut Rania.Kemudian Faiz memesan es teh lemon, kesukaa
Rafa yang mendengar hal itu hanya tersenyum simpul.”Wah... ide hebat itu Ibu, aku sangat mendukung sekali,” selorohnya.“Diam kamu Rafa, jangan menyela omongan orang tua,” timpal Dinda matanya melotot ke arah Rafa.“Tidak semudah itu Bu, Aku dan Kinan, akan memperbaiki pernikahan ini, mungkin demi Nayla, kau tak tega, jika kebahagian Nayla melihat orang tuanya bersatu dan kini hancur dengan perceraian, aku masih mencintai Kinan, walau tak bisa aku pungkiri, sebagai seorang istri, Rania lebih baik dari Kinan,” sahut Faiz.Larasati terlihat sedih, baginya Kinan itu hanya wanita munafik dan sangat berbahaya.“Kak Faiz, hati-hati ya, setelah aku mengetahui perbuatan Kak Kinan, sunguh aku mengkhawatirkan keselamatan Kak Faiz,” sela Dinda.“Jangan Kahawatir. Aku kesini ingin memberi tahukan, jika aku sudah membeli rumah untuk ibu, walau tak besar, tapi mudah-mudahan bisa membuat ibu nyam
Dalam sekejab Rania sudah berada dipelukan Fathan, pelukan yang erat dan hangat, bagai tersengat aliran listrik, desiran jantung Rania mengalir keseluruh pembuluh darah, hingga tak kuasa untuk menolak pelukan itu, dalam kegelapan itu Rania hanya pasrah, bererapa menit dalam dekapan Fathan, hingga terdengar suara Fathan. “Harafa, aku merindukanmu.” Rania tersentak, ia kemudian perlahan mengurai pelukan Fathan, dan membuat pria itu tersadar dari mimpi berjalannya. “Pak Fathan, saya, bukan Harafa,” sahut Rania. Fathan yang menyadarinya, langsung menekan saklar lampu dan ia terkejut di depannya Rania berdiri. “Rania, maafkan aku, sakitku kumat lagi, aku mengalami tidur berjalanan, padahal aku sudah dalam pengobatan, tapi kambuh lagi, maaf, aku tadi bermimpi bertemu Harafa,”ucap Fathan “Tidak apa-apa Pak Fathan, aku keluar hanya ingin mengambil air minum, aku tidak mau membuat Pak Fathan terbangun, oleh karena itu aku tidak menghidupkan lampu.” “Duduklah, biar aku ambilkan, aku akan
Di tempat lain Rania tersenyum, mengingat jika ia telah menerima lamaran Fathan, hatinya berbunga-bunga seperti remaja yang jatuh cinta lagi.Ketukan pintu ruangannya membuyarkan lamunannya, dan menyuruh si pengetuk pintu.Ceklek! Pintu terbuka, terlihat Fathan tersenyum ke arah Rania.”Yuk makan siang,” ajak Fathan.“Pak Fathan, saya malu, jika banyak orang yang akan melihat kebersamaan kita,” ucap Rania.“Kenapa harus malu, apa aku kurang tampan jika berjalan denganmu?”“Bukan begitu Pak Fathan, saya tidak enak jadi bahan gunjingan.”“Jangan hiraukan, mereka mengunjing di belangkang kita Ran, kita harus terus maju, jangan berhenti hanya karena sebuah omongan yang menyakitkan,” tegas Fathan.“Baiklah Pak Fathan benar, kita tidak akan maju jika hanya terpaku pada omongan orang, aku yang sekarang, pantas jika bersanding dengan seorang Dokter.”“Nah begitu dong, percaya diri.”Rania bangkit dari kursinya, lalu keluar ruangan bersama Dokter Fathan, sepanjang melewati koridor rumah saki