Tania menatap lama layar ponsel itu, ada perasaan iba tetapi ada juga khawatir.Mungkinkah selama ini suaminya masih sering menghubungi wanita itu?Lalu tujuan suaminya memintanya kembali untuk apa kalau mereka berdua masih sering berhubungan."Kenapa bengong?" tanya Hanif menghampiri istrinya. Bahakan Tania sendiri sampai tidak sadar ketika suaminya telah menyelesaikan mandinya."Enggak.""Kamu jangan berpikir macam-macam. Oh iya, udah kamu blokir nomor itu?" tanya Hanif.Tania menggeleng."Bukan hak ku untuk memblokir nomor seseorang di ponsel kamu, Mas. Kamu punya jari dan kalau pun kamu mau, sudah dari dulu kamu blokir nomor itu."Hanif mengangguk faham. Ia tahu istrinya tengah cemburu, karena tak mau Tania berpikir macam-macam lagi, ia pun mengambil ponselnya lalu memblokir nomor Murni."Sudah. Kamu bisa lihat," ucap Hanif sambil memperlihatkan bukti blokiran tersebut.Tania hanya menatap tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ntah kenapa moodnya mendadak hilang.Hanif pun berlutut di
Hanif masih diam mematung dan di posisi yang sama. Ia sama sekali enggan untuk sekedar mendekat. Ia tak mau terjadi konflik antara dirinya dan juga istrinya. Kedatangannya ke sini bukan karena inginnya, tetapi karena permintaan istrinya. Kalau bukan Tania yang meminta tentu ia sudah pergi. "Hanif?" panggil ibunya Murni."Maaf, Bu. Saya tidak bisa karena saya dengan Murni sudah tidak ada hubungan apapun. Seseorang yang boleh membutuhkan saya hanya Tania dan keluarga, tidak dengan wanita lain," jawab Hanif. Bahkan kini genggaman tangannya semakin dieratkan ke tangan istrinya."Lalu untuk apa kamu ke sini kalau bukan untuk Murni?" tanya ibunya Murni dengan tatapan tajam. Sebenarnya ia sangat mengharap kalau anaknya bisa kembali dengan Hanif, karena ia tahu anaknya masih sangat mencintai lelaki itu."Bukan saya, tetapi istri saya yang ingin melihat kondisi Murni."Tania menghela nafas panjang, lalu ia berjalan mendekat ke arah Murni. Ibunya pun hanya menatap sinis ke arah Tania tanpa me
Tani terdiam beberapa saat sambil menatap wanita itu. Segenap kekuatannya ia kumpulkan juga memikirkan harus dijawab apa ucapan wanita tak punya belas kasih ini.Seketika ia baru menyadari kalau wanita ini tidak terlalu menyukainya."Ingat, Tania. Kamu hanya orang ketiga dalam hubungan Hanif dan juga Murni," ucap ibunya Murni. Tania tersentak kaget, tidak menyangka kalau wanita itu akan berkata demikian. Rasanya kepalanya sudah mendidih, ia ingin sekali marah lalu memaki-maki wanita itu, tetapi hatinya berkata jangan.Tania sadar, ia harus mengahadapi wanita itu dengan kepala dingin, tidak mungkin ia akan bar-bar dan memaki-maki wanita itu. Hal ini akan semaki merendahkan dirinya sebagai wanita. Ia ingin menunjukkan siapa dirinya dan apa masih pantas untuk dihina."Tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap anda, tetapi asumsi anda tentang saya ternyata nol besar," ucap Tania menjeda ucapan. Bahkan wanita itu memandangnya dengan tatapan tak mengerti."Saya kira sebagai sesama wanit
"Kenapa?" tanya Hanif."Tidak ada.""Jawab jujur.""Kata ibunya Mbak Murni, kalian itu masih saling cinta, Mas. Apa itu benar?" tanya Tania. Memang yang mengganggunya sedari tadi adalah perkataan yang ini. Tania takut kalau suaminya hanya sandiwara saja agar ia bisa kembali ke rumah."Tidak sama sekali. Murni sudah tidak ada di hati, semua yang diucapkan ibunya Murni adalah sebuah kebohongan. Kamu tidak usah percaya padanya. Cukup aku yang kamu percayai, karena yang tahu isi hatiku hanya aku sendiri bukan ibunya Murni. Kamu harus percaya kalau cintaku hanya untukmu," ucap Hanif sambil menatap lekat ke arah istrinya. Seperti biasa, ketika dipandang seperti itu, Tania akan menundukkan kepala.Hanif pun memegang kedua pipi Tania sampai mereka berdua bertatap pandang. Ntah kenapa, setiap menatap mata indah itu, jantungnya berdegup dengan kencang. "Aku akan bicara dengan ibunya Murni agar tidak mengganggu hubungan kita. Mau tak mau dia harus sadar kalau hubunganku dengan anaknya sudah kan
"Sekali lagi saya tekankan, tidak akan pernah ada pernikahan antara suami saya dengan Mbak Murni," tegas Tania."Kamu tidak tahu, suamimu berani datang ke sini untuk menemui Murni, jadi kamu jangan coba-coba memisahkan mereka," ketus Ibu Murni."Suami saya ke sini atas perizinan dari saya, tidak ada cinta lagi dari suami saya untuk Mbak Murni, kalau saya tidak mengizinkan maka suami saya tidak mungkin ke sini. Mas Hanif bukan ingin menemui Mbak Murni, tetapi ingin menemui Ibu, tanyakan saja kalau tidak percaya! Sekali lagi Ibu berbuat seperti ini, maka jangan salahkan saya kalau saya akan bertindak lebih dari ini. Bisa saya pastikan Ibu akan merasakan malu semalu-malunya.""Kamu mengancamku!" bentaknya tak terima. Ia merasa dipermalukan oleh Tania karena wanita itu berani membantahnya. Hal yang paling tidak ia sukai ketika ucapannya dibantah oleh orang lain, apalagi oleh wanita yang umurnya masih dibawahnya."Saya tidak merasa mengancam, tetapi kalau Ibu merasa ucapan saya ini adalah
{Jangan macam-macam atau kamu akan tahu akibatnya}Hanif dan juga Tania membaca pesan surat itu yang terletak bersama dengan batu dan pecahan kaca. Mereka berdua nampak terkejut ketika membaca surat tersebut.Siapa orang yang telah melakukan ini, batin mereka berdua."Siapa, Mas, dalang dari semua ini?" tanya Tania.Hanif menggeleng lemah. "Aku juga tidak tahu.""Kita lapor polisi saja.""Benar, tetapi tidak untuk saat ini. Besok aku akan pasang CCTV, kalau hal ini terulang lagi maka biar diusut polisi," jawab Hanif."Tapi aku takut.""Jangan takut, kan ada aku di sini.""Tapi kamu kerja, aku di rumah sendiri.""Ada Bi Yun.""Tapi tetap takut."Hanif memegang wajah istrinya. "Aku akan selalu menjagamu. Kalau masih takut, kamu bisa ke rumah Ibu, sepulang kerja baru ku jemput.""Apa nggak merasa repot?"Hanif tersenyum. "Demi kamu aku tak pernah merasa repot."Tania langsung memeluk suaminya. Jujur saja, sekuat-kuatnya dia, belum pernah seumur hidupnya merasakan teror seperti ini. Ia
"kalian tinggal di sini saja, lagian Ibu juga merasa sepi di rumah sendiri," ucap ibunya saat mereka tengah menikmati sarapan pagi."Rencananya kalau keadaan sudah membaik kami akan pulang ke rumah, tetapi untuk sementara waktu kita akan di sini, Bu, aku nggak tega ninggalin Tania sendirian di rumah," jawab Hanif sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.Rasanya sudah lama sekali ia tak merasakan makanan yang diolah sang Ibu. Semenjak memutuskan menikah dan tinggal di rumah sendiri, ia sangat jarang mau makan di rumah ibunya, ia selalu berkilah istrinya sudah memasak dan tak mau mengecewakan Tania.Walaupun saat itu rasa cinta belum ada tetapi ia selalu ingin menjaga hati Tania, dia bukan lelaki kejam. Ia ingin menghargai jerih payah istrinya walau tak bisa dipungkiri dari hal sekecil itu maka tumbuh benih-benih cinta tanpa ia sadari."Tinggal di sini sajalah, biar Ibu punya teman. Apalagi kalau setelah lahiran tinggal di sini, maka rumah ini akan rame anak kecil," ucap ibunya.
"Viola?" Tania merasa terkejut karena calon Hildan adalah Viola, seorang wanita yang akan dinikahi Randi. Bahkan terakhir yang ia dengan Randi sudah menyebar undangan."Tania?" Sekarang ganti Viola yang tak kalah terkejutnya."Kalian saling kenal?" tanya Hildan sambil menatap ke arah wanita di depannya.Tania sendiri bungkam, ia takut salah bicara. Apalagi Hildan dengan Viola adalah calon pengantin, ia takut kalau bicara sejujurnya malah membuat hubungan keduanya hancur."Kenal, Mas. Tania itu yang pernah tinggal di rumah Mbak Sri, saudaranya Mas Randi yang tempo hari aku ceritain itu," jawab Viola. "Randi yang mau dijodohkan dengan kamu waktu itu?""Iya.""Wah, aku sampai tidak tahu," jawab Hildan dengan senyum lebar.Sedangkan Tania dan juga Hanif menatap dengan tak mengerti dua insan di depannya.Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan, tetapi melihat saat ini banyak keluarga termasuk budhenya, maka ia urungkan niat itu.Obrolan ringan pun dilanjutkan, Tania sama sekali t