"Kita harus secepatnya mencari pendonor jantung untuk Aarav. Melihat kondisinya yang semakin memburuk besar kemungkinan dia tidak akan bertahan lama." Keila meremas ujung jarinya, resah. "Lalu, apa yang harus kita lakukan? Sejauh ini tidak ada yang mau mendonorkan jantungnya untuk kita, jikapun ada, tidak cocok," jawab Keila. Pria dengan stelan jas putih itu menghirup udara dalam-dalam. "Aku akan berusaha mencari pendonor. Jika tidak maka akan aku cari ke negara lain.""Tapi—" "Mama tidak perlu khawatir, Salil pasti akan temukan pendonor jantung itu. Mau bagaimana pun, dia adik Salil. Jadi, sudah kewajiban Salil dalam mengurus serta menjaganya."Salil Aland William, anak pertama Keila yang berhasil kabur dari kekerasan sang Ayah. Seseorang yang berhasil mengharumkan nama baiknya dengan kerja keras seorang diri. Tidak disangka, kepergian Salil waktu itu banyak membawa perubahan pada diri Salil. Kepergian beberapa tahun yang lalu membuat Keila putus asa. Bukan hanya Salil, tapi anak
"Kinar?""Heum?""Boleh saya bertanya?" Aarav menggenggam erat tangan mungil istrinya. Tatapannya sayu dalam menatap. Sebuah ingatan yang dulu tersimpan teringat kembali dalam pikiran. Membuat Aarav merasakan arti ketakutan itu untuk yang kedua kalinya. Jujur. Ia ingin panjang umur. Ingin membina rumah tangga dengan Kinara, seseorang yang selama ini ia inginkan kehadirannya. Semata-mata bukan karena jasa Ayahnya Kinara dahulu yang memintanya untuk menjaga dia, melainkan jiwa ini yang terasa sudah tertaut dengan hati Kinara. Tidak terasa, air mata dipelupuk mata Aarav jatuh juga. Membuat Kinara dengan segera menghapusnya. "Mas mau bertanya kan? Gak perlu menangis Mas," ujar Kinara dengan senyuman kecil. Kinara tidak tahu saja kalau tangisan itu tangisan akan ketakutan Aarav. Ada begitu banyak hal yang sekarang Aarav takuti. Pertama, Aarav takut jika mulai detik ini umurnya tidak akan bertahan lama. Seperti yang dulu-dulu. Walau dokter memberitahukan bahwa ini hanya gejala kecil ta
"Udah sehatan?" Satu pertanyaan dari Kinara membuat Aarav membuka matanya. Sebelumnya matanya masih mengerjap, namun suara lembut nan tenang yang terdengar berhasil mencuri perhatian Aarav. Untuk pertama kalinya, Aarav menyunggungkan senyum tatkala mata itu menatap objek yang amat indah. Siapa lagi kalau bukan istrinya.Kinara tersenyum menatap sang suami, ia duduk dengan menopang dagu. "Senyum Mas manis ya?" celetuk Kinara berhasil membuat bibir Aarav kembali menurun. "Eh, kok ilang? Padahal manis banget …," ujar Kinara menegapkan tubuhnya. "Mas, senyum lagi dong … masa cuman sebentar?" tanya Kinara mulai mendekat kembali. "Senyumnya cuman ke Kinar aja ya, jangan ke orang lain." Kinara mengulum bibir, tangannya bersiap menarik sudut bibir Aarav, namun sang empu dengan sigap menahan pergelangan tangan Kinara. "Kinar …? Kamu sehat?"Tak! Kinara sedikit memukul bahu Aarav, bibirnya sedikit naik pula. Mengerucut kesal. Berbeda dengan Aarav dia malah ingin tertawa melihat muka jutek
"Kalian … saling kenal?" tanya Aarav melihat keduanya. Tatapan yang sebelumnya terkunci diantara Kinara dan Devan membuat Aarav risih dibuatnya. "Tidak!""Tentu saja kenal."Jawaban yang berbeda membuat Aarav menoleh pada Kinara. Dia menuntut pertanyaan dari keduanya. Tatapan Aarav juga tertoleh pada Devan. Pria itu hanya menatap Kinara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Turunkan pandanganmu Paman! Dia istriku!" kata Aarav tidak suka pada pandangan yang ditujukan Devan pada istrinya. Ya, Devan adalah pamannya—adik Darren. Atau anak terakhir Vanzo."Ayo keluar," kata Aarav pada Kinara. Kinara menurut, keluar dari mobil dengan perasaan gelisah. Terkejut pula akan kebenaran yang satu ini. Devan? Dia … pamannya Aarav? Gemetar sudah kaki Kinara kala tatapan Devan tertuju padanya. Entah apa arti dari tatapan itu,namun berhasil membuat jantungnya menciut. Kinara mendekat pada Aarav, memeluk lengannya dengan erat. Menghindari tatapan Devan yang sedari tadi mengarah padanya. Aarav mer
“Aku tidak perduli bagaimana statusmu sekarang. Dan pun, aku tidak akan mengurusi urusanmu apapun itu— dan ya ….” Kinara menjeda ucapannya, menghela nafas untuk menetralkan degup jantungnya. “Hubunganmu dengan Mas Aarav adalah keponakan bukan? Jadi, anggap diriku dengan hal semestinya. Bukan lagi sebagai teman lamamu yang pernah jatuh cinta, melainkan orang baru yang harus saling menghargai dan menghormati.” Setelah mengatakan hal tersebut Kinara berlari masuk ke dalam rumah, sekarang urusannya dengan Devan sudah selesai, tidak ada hubungan apapun lagi menyangkut masalalu, karena yang lebih penting dari sekarang adalah masa depan. Dan masa depan Kinara jelas ada pada suaminya–Aarav, tidak ada yang lain. Namun berbeda dengan Devan, pria itu mengepalkan kedua tangannya erat. Merasa direndahkan? Tentu saja! “Cih, dia sudah mulai berani?” tanyanya terkekeh sinis, tatapan matanya masih setia menatap Kinara yang sudah menghilang diambang pintu. “Kau berani sebab Aarav yang menjadi suamim
“... Kak Devan.”Lusi menundukkan kepalanya, berpaling dari tatapan Devan yang tampak seperti ingin membunuhnya. Sedang Kinara mengernyit, dia masih menatap Devan yang tengah berjalan ke arahnya. Namun, pikirannya berubah kala melihat sang adik tampak ketakutan, gadis itu hanya menunduk dengan jari tangan yang ia mainkan. “Kenapa ini? Kenapa kalian melihatku seperti hantu saja?” Devan berdiri di hadapan keduanya, tatapannya silih berganti antara Kinara dan Lusi. Kinara memutar matanya malas. “Kau kan yang mengganggu adikku?” tanya Kinara to the point. Devan tersenyum tipis, ikut mendudukan dirinya di samping Kinara. Refleks, Kinara sedikit menggeser kursinya, tidak ingin berdekat-dekat dengan pria itu. “Aku tidak memarahinya, hanya menegurnya saja,” jawab Devan dengan santai. Saking santainya ia mengambil buah apel yang tersimpan di atas meja—depannya.“Kemarin adikmu membawa beberapa teman ke rumah ini. Mungkin perkara ini hal yang sepele tapi, coba kamu pikir, apa ada tamu yang
Di atas ranjang seorang lelaki tampak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia sedari tadi berguling ke kanan-kiri, tidak bisa tidur. “Ish! Kenapa dari tadi susah sekali untuk tidur?” tanyanya mendengus kesal. Dia Aarav, tidak bisa tidur sebab pikirannya merindukan Kinara. Mungkin tidur dengan Kinara sudah menjadi kebiasaan, menjadikan ia mudah tidur kala tubuh menempel di atas ranjang, apalagi jika menempel pada Kinara. Namun, karena Kinara tidak ada di sampingnya membuatnya ia uring-uringan tak jelas. Sebelum itu, saat Aarav baru pulang dari kantor ia sudah disuguhi Kinara yang sudah tertidur. Bukan di atas king size melainkan di bawah lantai. Ditambah Lusi yang juga ada di sana membuat Aarav heran dibuatnya. Rasa lelah sehabis pulang terasa hilang tatkala menatap sang istri yang tertidur pulas. Terlihat cantik. Ah, istrinya memang selalu cantik, Aarav akui itu. Aarav berjongkok, mengelus kepala Kinara yang selalu tertutup hijab. Pelan, ia mencium kening Kinara, kemudian beralih menciu
“Kinar, kamu?”“Kinar udah tau Mas … Mas masih mau menyembunyikannya?” tanya Kinara membuat Aarav menggeleng. Di luar perkiraan, Aarav dengan sigap menarik Kinara ke dalam pelukan. Perasaan yang ia rasakan hari ini benar-benar bercampur aduk. Entah harus mengatakan apa tapi … “Benar. Aku cinta kamu Kinar. Aku—-” Aarav tidak bisa berkata-kata selain merasakan pelukan hangat ini. Merasakan gejolak hati yang kini berbunga-bunga dibuatnya. Seakan di dalam perutnya berterbangan kupu-kupu, terasa tergelitiki namun juga mendebarkan. “Kinar juga cinta Mas Aarav kok.” Kinara membalas memeluk Aarav, bibirnya melengkung ke atas, tidak percaya bahwa pernyataan cinta itu akhirnya keluar juga dari mulut Aarav. Setelah hari itu Kinara tahu kalau Aarav memang mencintainya. Maka saat itu ia berjanji akan membuat Aarav menyatakan cinta padanya, tapi tak disangka, waktu secepat itu memutarkan semuanya. Rasa cinta yang terpendam itu akhirnya tersalurkan juga. Ada rasa bahagia yang dirasa Kinara, ada