Feiza masuk ke dalam kamar Furqon dengan perasaan gamang. Gadis itu bahkan meremas ujung jari-jarinya karena perasaan gugup dan was-wasnya. Tidak jauh dari Feiza, Furqon yang sudah ada di dalam kamar terlebih dulu terlihat berbaring di atas ranjang sembari memainkan ponsel.
Mereka baru saja selesai makan malam beberapa waktu lalu setelah salat Isya dan Feiza kembali diajak ngobrol berdua dengan Bu Nyai Farah. Tidak lama karena ibu dari Furqon itu kemudian menyuruh Feiza segera kembali ke kamar putranya untuk beristirahat, mengingat besok pagi-pagi sekali, Feiza dan Furqon akan kembali ke Plosojati. Jikalau boleh jujur, Feiza lebih memilih bercakap-cakap dengan Bu Nyai Farah saja sepanjang malam daripada kembali masuk ke kamar Furqon. Ia takut. Gadis itu juga sudah berusaha mengulur waktu berlama-lama dengan ibu mertuanya, tapi sayangnya usahanya sia-sia karena Bu Nyai Farah cepat mengakhiri konversasi mereka dan menyuruh Feiza segera tiduDrtt ... Drtt .... Ponsel Feiza yang ia taruh di nakas samping ranjangnya berdering. Ia yang memang belum bisa tidur langsung meraih ponselnya dan menemukan nama Fahmi sebagai orang yang tengah menghubunginya. Feiza melirik Furqon yang tampak sudah terlelap lalu turun dari atas ranjang dan berjalan ke luar, menuju balkon kamar Furqon untuk mengangkat telepon dari teman satu kelasnya itu. "Assalamu'alaikum, gimana, Mi?" kata Feiza. "Wa'alaikumussalam, Fe." Suara berat Fahmi mengalun dari seberang sana. "Kamu udah sampe mana, Fe? Jadi kujemput kan?" tanya laki-laki itu. "Eh?" Feiza sedikit terkejut. Ia lupa kalau semula ia akan kembali ke kota rantauan dengan menaiki kereta api seperti bagaimana ia pulang ke Jombang sebelumnya. Dan Fahmi, laki-laki itu yang berjanji akan menjemput Feiza begitu tiba di stasiun. Karena sebelumnya, laki-laki itu pula yang memaksa mengantar Feiza ke stasiun saat berangkat pulang ke rumahnya. Pukul 22.00 WIB, sekarang seharusnya Feiza masih ada di
Feiza tidak tahu bagaimana akhirnya ia bisa tertidur. Namun, ketika dirinya bangun, gadis itu merasa langsung diliputi canggung. Bagaimana tidak? Feiza sangat yakin jika posisinya saat mencoba terlelap adalah berbaring terlentang. Bagaimana bisa ketika bangun dirinya dan Furqon saling berhadapan? Baiklah. Mereka berdua memang tidak saling berpelukan. Tapi posisi itu masih begitu memalukan bagi Feiza karena selain membuka mata dengan posisi tidur saling berhadapan, jaraknya dengan Furqon sangat dekat dan tangan mereka saling bertautan. Feiza merasa malu luar biasa karenanya. Terlebih ketika dirinya dan Furqon sarapan pada pukul 05.00. Begitu lebih awal daripada biasanya karena keduanya berencana kembali ke Plosojati pukul 06.00 pagi. Bu Nyai Farah, umi dari Furqon yang tak lain adalah ibu mertuanya menggodanya. "Jadi sudah sampai mana progres cucu Umi? Semalam Umi dengar ribut sekali." Uhuk uhuk uhuk!
"Kenapa kamu seperti ingin menangis lagi, Fe?" tanya Furqon. "Tenang. Salim bisa dipercaya." Furqon tertawa. "Njenengan yakin?" sambar Feiza. "Iya. Meski aku tidak memintanya langsung untuk itu, aku tahu Salim tidak akan menceritakan pernikahan kita kepada siapa pun tanpa seizinku." Feiza langsung menghela napasnya lalu mengusap air mata yang ada di ujung pelupuk matanya dengan tisu. "Sudah, kan?" tanya Furqon sembari melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 05.47. "Ada yang ingin kukatakan lagi, Gus," balas Feiza. "Nggak nanti saja saat di Plosojati?" "Ndak." Feiza menggeleng. "Aku ingin bilang sekarang." "Baiklah. Soal apa?" tanya Furqon. "Soal pemilwa, pemilihan mahasiswa." Feiza tidak langsung berterus-terang, menunggu tanggapan Furqon. Namun, laki-laki itu hanya diam hingga Feiza pun memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya. "Aku dida
Furqon benar-benar menepati kata-katanya. Laki-laki itu mengantar Feiza kembali ke indekosnya di Plosojati. Ia tidak mengajak Feiza pergi ke sebuah rumah yang hampir tiga tahun ini menjadi tempat hunian Furqon di daerah perumahan elite yang menjadi tempat tinggalnya. Bangunan rumah cukup besar yang dengan sengaja laki-laki itu kontrak secara cash di muka untuk empat tahun setelah selesai melihat-lihat, karena Furqon memang sudah merasa cocok dengan rumah itu sejak awal. Bahkan jika pemiliknya mau melepaskan, maka dapat dipastikan, sertifikat kepemilikan rumah itu sudah berada di kantongan Furqon. Namun sayangnya, sang pemilik rumah tidak pernah berniat menjualnya dan hanya bersedia mengontrakkannya. Feiza menghela napasnya begitu Furqon menghentikan laju mobilnya. Alasannya? Furqon menghentikan mobil sedannya tepat di depan gerbang masuk indekos Feiza. Padahal, Feiza sudah mewanti-wanti Furqon agar laki-laki itu menurunkannya di tempat lain. Namun, rupanya Furqon tida
"Ya Allah. Barusan itu apa?" Feiza memegangi dadanya yang terasa berdedar-debar. Ia menyandarkan tubuhnya di gerbang indekos yang baru saja ia tutup setelah turun dari mobil Furqon.Feiza mengatur napasnya. Inhale. Exhale. Seperti itu beberapa kali kemudian kembali melangkahkan kaki setelah detak jantungnya dirasa normal. Ia menenteng beberapa paper bag yang diberi Furqon dan berjalan menuju kamarnya.Sampai di depan pintu kamar, Feiza mendapati sandal teman satu kamarnya ada di depan pintu. Itu berarti satu, Ella, teman satu kamarnya itu ada di dalam.Feiza pun kembali menghela napasnya, meraih gagang kenop pintu yang ada di depannya lalu membukanya dan masuk."Assalamu'alaikum," salam Feiza."Wa'alaikumussalam." Ella yang tampak rebahan di kasurnya menjawab. "Fe, dari mana?" Gadis itu mengalihkan atensi dari ponsel yang ada di genggaman tangannya untuk menatap Feiza dan menanyainya."Dari jalan, El." Feiza memilih menjawab sepe
Sama seperti Ella, Feiza memutuskan kembali membersihkan dirinya sebelum berangkat kuliah. Ia mandi kemudian mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih pantas dan sopan untuk pergi ke kampus. Setelan rok plisket berwarna hitam dengan kemeja biru muda dan kerudung senada yang menjadi outfit pilihannya.Selesai mandi, Feiza langsung memulas make up ke wajahnya. Saat itulah, Feiza sadar ada cincin emas pemberian Furqon yang melingkar di jari manis tangan kanannya lewat pantulan cermin lipat seukuran buku A4 yang digunakannya untuk berkaca.Feiza langsung bingung, haruskah cincin itu tetap dipakai atau dilepaskannya saja? Tapi jika dilepas, bagaimana kalau Furqon memergokinya? Dan kalau dipakai, bagaimana jika ada yang bertanya macan-macam kepadanya?Drtt ... Drtt ....Ponselnya yang berdering beberapa kali mencuri perhatian Feiza. Gadis itu meletakkan kacanya kemudian meraih ponsel dan menyalakannya.Rupanya ada keributan yang diciptakan te
"Fe, pulang kapan?" tanya Nisa pada Feiza. Gadis itu duduk di samping Feiza di deretan bangku yang ada di barisan depan kelas.Beberapa saat lalu, kelas telah diakhiri oleh dosen mereka dan teman-teman sekelas Feiza yang lain sudah mulai bejibun keluar meninggalkan ruangan itu."Bentar ya, Nis. Aku masih ada urusan bentar di kampus. Kamu balik aja duluan ke kos sama Ririn-Binta. Nggak pa-pa, ya?" tutur Feiza."Ohh. Iya, Fe. Oke deh." Nisa yang sudah merapikan barang-barang yang ada di atas bangkunya tersenyum."Balik, yuk!" ajak Ririn yang kini berdiri di depan bangku Feiza dan Nisa dengan Binta yang ada di sebelahnya.Jika Feiza dan Nisa suka duduk di bangku deretan depan. Maka Ririn dan Binta sebaliknya. Kedua gadis yang sama-sama berasal dari Kediri itu lebih suka duduk di deret tengah atau bangku belakang.Feiza itu gampang mengantuk kalau mengikuti pelajaran di kelas formal. Apalagi di siang, tengah hari. Jadi, duduk di bang
"Mas Fahmi, ini pesanannya."Sekeluarnya Feiza dan Fahmi dari ruangan dosen ketua jurusan mereka guna mendapatkan surat rekomendasi pencalonan, seseorang menghampiri Fahmi dan Feiza, menyerahkan sebuah kresek bening berukuran sedang kepada Fahmi."Eh, Fatkhur? Makasih, ya. Udah di sini lama?" Fahmi menerimanya. Ia cepat mengeluarkan dompet dari saku celana dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada pemuda pengantar makanan itu."Sama-sama, Mas. Baru aja kok, terus sampean keluar," jawabnya sembari menerima uang Fahmi. "Matur nuwun juga ya, Mas. Bentar, tak carikan uang kembalian dulu."Fahmi langsung mencegah tangan Fatkhur yang hendak merogoh saku jaketnya. "Nggak usah. Kembaliannya anggap aja ongkir sama sedikit bonus." Laki-laki itu tersenyum."Wah, beneran, Mas?""Iya."Anak dari salah satu penjual di kantin kampus yang menjadi langganan Fahmi itu langsung memekarkan senyumnya. "Siap, matur nuwun, Mas Fahmi."