Di tengah suasana makan siang yang ramai, tiba-tiba saja Miranda berdiri dan mengamuk dengan wajah memerah karena marah. Semua mata di restoran langsung tertuju pada Miranda yang meluapkan emosinya."Gimana aku nggak curiga sementara kamu aja berani nikahin wanita lain di belakang aku? Kamu nggak nyadar kalau sikap aku yang kaya gini dikarenakan trauma menghadapi kelakuanmu?" teriak Miranda dengan air mata mengalir deras di pipinya."Stt ... Miranda. Apa yang kamu lakukan?" bisik Abian sambil berusaha menenangkan Miranda agar tidak membuat keributan semakin menjadi-jadi.Abian langsung menarik tangan Miranda keluar dari restoran, meninggalkan pandangan penasaran para pengunjung. Untungnya mereka sudah makan dan membayar bill sebelumnya.Setelah berada di luar restoran, Abian memohon pada Miranda agar tidak mempermalukan dirinya di depan umum seperti itu. Dia mengerti betapa Miranda merasa terluka, namun bukan cara seperti itu untuk menyelesaikan masalah.Miranda, yang masih menangis,
Diana berbaring di ranjangnya dengan mata lebar, tak mampu terlelap. Saat jarum jam menunjukkan pukul empat pagi, jantungnya berdegup keras menyadari bahwa Abian belum juga pulang ke rumah sampai detik ini. "Lagi dan lagi... kali ini entah keberapa kalinya dia ingkar janji untuk segera pulang," gumamnya lirih. Otaknya terus mengkhayal, mempertanyakan apakah Abian bersama Miranda di waktu-waktu seperti ini dan apa saja yang mungkin mereka lakukan bersama. "Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir, ini hanya membuatku semakin tidak bisa tidur," bisik Diana pada dirinya sendiri. Namun, semakin ia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya, pikiran tentang Abian dan Miranda terus menghantui dan menyesakkan dada. Tidak sadar, Diana merasa air matanya mengalir saat ia melamun memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi. Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, tubuh Diana terasa lemas dan pusing. Pemikiran mengenai Abian dan Miranda yang menghantui sepanjang malam telah menguras sel
Abian menarik napas panjang saat dia memasuki kosan Miranda. Tadi saat Abian hendak menyuruhnya turun dari mobil, gadis itu tiba-tiba saja mendesah kesakitan, memegang perutnya yang katanya sakit luar biasa."Perutku sakit banget, Bian. Tolong temani aku di kosan sampai dokter datang," pinta Miranda dengan wajah memelas.Abian merasa muak, namun ia harus berpura-pura menjadi pacar yang baik. Meski tidak ingin, ia mengangguk setuju untuk menemani Miranda.Di dalam kosan, Abian tetap waspada. Dia masih trauma dan tidak ingin mengulangi kesalahan. Ia menolak minuman atau makanan apa pun yang ditawarkan Miranda, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Aduh, sakit banget, Bian!" keluh Miranda lagi, kemudian meminta Abian untuk mengusap perutnya.Dengan perasaan terpaksa, Abian mulai mengurut perut Miranda dengan hati-hati. Sebenarnya ia tahu gadis itu hanya berpura-pura sakit supaya mendapat perhatian lebih darinya. Namun, Abian harus bermain dengan peran ini hingga akhir."Kapan
Abian menatap Diana yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan matanya terlihat yang sayu. Hatinya terasa sangat bersalah melihat keadaan Diana. Dari kemarin ia berpikir Diana sedang marah padanya karena tidak ada bekas panggilan satu pun saat Abian menyalakan ponsel, ternyata wanita itu justru sedang sakit hingga harus dilarikan ke rumah sakit."Maafkan aku, Diana. Sekali lagi, maafkan aku," ucap Abian dengan suara bergetar, menahan tangis."Iya, Mas. Aku nggak papa kok. Mas Abian apa kabar? Kenapa ponselnya nggak aktif dari kemarin? Mas Abian dari mana aja?" tanya Diana dengan lemah, berusaha menunjukkan kecemasan layaknya istri yang baik.Sebelum Abian sempat menjawab, tiba-tiba kakeknya datang dengan langkah cepat dan wajah yang memerah karena marah. "Abian! Apa yang sudah kamu lakukan selama ini? Diana sampai sakit, kenapa kamu malah menghilang tanpa kabar!" bentak kakeknya, mengejutkan Abian dan Diana.Abian menunduk, merasa sangat bersalah atas kelalaian
Miranda merasakan gelisah yang menusuk hatinya sejak dua hari ini. Entah kenapa, rasa cemas dan resah begitu menyelimuti hari-harinya karena Abian tak juga memberi kabar padahal kemarin dia janji akan menceraikan istrinya demi Miranda. Pikirannya bercelaru, antara marah karena diacuhkan dan bingung akan sikap Abian yang menghilang begitu saja. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mencoba menghindar dariku?" batin Miranda, merasa terpukul. Rasa penasaran menggerogoti hatinya hingga tak mampu menahan perasaan. Meluapkan kekesalannya, Miranda mengambil keputusan nekat. Dalam satu pesan singkat, dia mengancam akan menyebarkan foto mesra mereka berdua jika Abian masih menghilangkan diri. Namun ternyata, ancamannya tak berbekas sama sekali. Abian tetap saja seperti menghilang dari dunia. "Sialan kamu Bian. Apa kamu kira ancamanku cuma gertakan saja?" Miranda mulai kalut."Baiklah. Karena kamu tidak ada kabar. Aku terpaksa harus melakukan ini Bian. Aku harap setelah semuanya hancur
Abian berdiri di antara Doni dan Raka yang terdiam seperti patung, tatapannya kosong, dan tidak bergerak sama sekali. Kepala Abian penuh dengan kebingungan yang memuncak, seolah-olah dunia ini menjadi labirin tanpa jalan keluar."Rak, jangan diam saja! Jelasin ke aku apa yang terjadi!" Abian menoleh pada Raka."Don! Jelasin ke aku. Diana pergi kemana? Dia cuma pergi sebentar kan?" Abian menoleh geram. Tidak mungkin kan Diana mati! Semalam gadis itu masih sehat sekali. Kalaupun Diana meninggal jelas mereka akna menangis. Tapi ini tampang-tampang sahabatnya lebih mirih orang bodoh ketimbang orang sedih.Tiba-tiba, Kakek yang sejak tadi diam tak mau menjelaskan rinci berseru. Membuat Abian terlonjak kaget "Diana sudah pergi. Gak usah dicari!" ujar sang kakek dengan nada santai, seolah-olah kepergian Diana hanyalah hal yang biasa."Maksud Kakek pergi yang gimana sih?"Abian terdiam sejenak, mencoba mencerna kabar yang baru saja diterimanya. Pergi? Apa yang dimaksud kakek dengannya? Diana
Abian mengamuk seperti orang gila, memukul apa pun dan mengamuk pada Raka dan Doni, ia menyalahkan mereka atas kepergian Diana. Dia menangis, berteriak, dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Raka dan Doni benar-benar kewalahan menghadapi Abian yang sudah tak seperti manusia lagi."Gimana ini Rak? Apa baiknya kita bawa Abian ke rumah sakit jiwa saja?"Sementara itu, Kakek Bram merasa tertekan dengan tuduhan-tuduhan Abian yang tak berhenti. Dia terus dituduh menyembunyikan Diana, padahal memang benar dia yang membantu Diana pergi demi kebaikan semua pihak. Kakek Bram berusaha menenangkan diri, namun sia-sia karena Abian menggila minta dibawakan Dian.Akhirnya, Kakek Bram mengambil keputusan untuk memberi Abian garis telak. "Abian, cukup sudah kamu berkelahi dan menyalahkan orang lain, kenapa kamu tidak intropeksi diri? Apakah kamu sudah berusaha menjadi suami yang baik untuk Diana?" ujarnya dengan tegas."Diana pergi atas kemauannya sendiri. Dia memberi kamu waktu menyelesai
Sejak foto mesra Abian tersebar luas, hidupnya berubah drastis. Dulu ia seorang CEO yang dihormati, kini ia terpuruk dan hanya bisa berbaring di atas ranjang, tubuhnya semakin lemah dan kurus karena kurang makan. Sudah satu minggu berlalu, namun Abian tak kunjung bangkit dari keterpurukannya.Kakek Bram, yang sangat mencintai cucunya, tak tega melihat keadaan Abian yang semakin memburuk. Terlebih Raka terus merengek dan menyuruh Bram memaafkan Diana."Ayolah Kek! Tolong Abian. Aku sungguh tidak tega melihat keadaanya.""Mau bagaimana lagi? Diana sudah terlanjur sakit hati apalagi saat dirinya melihat foto mesra Abian dan Miranda. Meskipun nantinya Abian bisa membuktikan kalau dia dijebak, tetap saja foto itu bukan editan.""Tapi itu bukan atas dasar kemauan Abian Kek. Oke saya tahu Abian bersalah, tapi apa dia pantas diperlakukan seperti ini. Setidaknya bantu Abian bertemu Diana satu kali saja agar dia bisa menjelaskan langsung pada Diana!""Hmmm. Nanti coba Kakek bicarakan dengan Dia