"Terdakwa kini sudah terbukti sebagai pelaku. Telah ditemukan kurang lebih 100 foto orang-orang di dalam lemari, sebagai bukti bahwa mereka korban-korban yang telah menjadi target terdakwa, yakni Fidi dengan Gea. Antara lain, pembunuhan terhadap seorang wanita berusia 17 tahun, seorang wanita berusia 25 tahun, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki berusia 9 tahun, korban lainnya, sudah tak dapat dilihat lagi tubuhnya secara utuh. Terdakwa melakukan pencurian sejumlah 80 gram emas. Hasil DNA yang cocok dengan milik korban, antara lain darah bergolongan A+ milik saudari Gea dan di temukannya robekan baju milik saudari Fidi, keduanya di jatuhi hukuman mati sesuai dengan dilakukannya terhadap korban-korban." Di ketuknya palu oleh Hakim. Rasanya, kemenangan telah tiba. Mendengar keputusan Hakim membuat Tim sangat gembira akan kasusnya yang telah selesai. Mereka berjalan menuju parkiran, matahari yang bersinar terang, rasa resah kini telah hilang, hari ini hari ya
"Harta sih nggak ada, tapi bolehlah, lo bawa Ibu gue sama tuh Lakinya, plus rumah, tapi lo yang cicilin." "Durhaka si kunyuk. Lo mau dikutuk jadi batu?" "Boleh juga tuh, gue tandain orang-orang yang buat hidup gue susah. Gue timpa habis-habisan." "Tengil banget nih anak bau kencur," gumam Athur. "Emang ... kenapa? Lo nggak suka? Gue tengilin lagi nih, biar jiwa raga dan ruh lo terbakar." "Tau gedenya tengil gini waktu pertama gue liat dia kenapa nggak langsung gue buang aja, ya?" Athur menjepit leher Aldo menggunakan sikutnya. Walaupun usianya yang berbeda, sejak dulu Bima dan Athur memang dekat dengan Aldo. Tak tinggal diam lehernya dijepit Athur. Aldo membalasnya dengan bantingan tubuh. "Gue juga lagi ikutan gulat, nih. Sengaja, biar lo makin panas ... btw, lo mandi nggak, sih?" Aldo menutup hidungnya. "Bau kadal." Masih dengan rasa sakitnya akibat dibanting Aldo, Athur menjawab. "Sengaja ... biar lo nggak deket-deket gue terus, gatel gue deket sama biduan Kunti laki kaya l
"Oh, kita emang pelit, Thur." Melihat baju Aldo dari atas hingga bawah memakai baju Bima dan Athur, termasuk pomade-nya. "Nggak apa-apa lah Bim, nggak di anggep udah hal biasa dalam hidup." Aldo menghiraukan ucapan mereka dan terus memakan daging. "Itu secomot kalo di pindahin ke piring, piringnya penuh," tukas Athur. "Seharusnya lo bersyukur punya senior yang tiada tara tampan sedunia." "Kalo gue jadi nyawanya ... mending sementara ngontrak aja, pasti cape," jawab Aldo, seraya terus menyantap daging dengan sikap tengilnya. "Sialan! Hasrat ingin membunuhnya semakin besar," ucap Bima menatap Aldo. Athur menimpal. "Tengil banget sikapnya." "Emang—" (terpotong dengan kedatangan Rita, Martha dan Mitha). Tatapan Aldo langsung tertuju pada Mitha. Perempuan berkulit putih, bermata sipit, rambutnya di ikat satu, terlihat pemalu dan pendiam. Mitha hanya mengikuti langkah Martha di sampingnya. Mata Aldo tak menoleh sedikit pun, pesona Mitha rupanya menyejukkan hati Aldo saat itu.
Matahari bersinar terang, suasana pagi itu sangat gaduh dan rusuh. Masing-masing dari ketiga orang pria itu, memukuli satu sama lain memakai bantal. Bughhhh!!! “Sialan! Sini lo!” seru Athur mengejar Aldo. Bughhh!!! Lemparan Bima tepat pada wajah Athur. "Awas!" teriak Bima. Niat awal akan melemparnya terhadap Aldo, tetapi Aldo berhasil menghindarinya. “Salah sasaran! Sorry!” Sekarang Aldo harus melawan Bima dan Athur. 2 vs 1, tak ada bantal yang harus Aldo lempar lagi. Hal yang harus Aldo lakukan hanya kabur keluar rumah. Waktunya kini tak banyak, Aldo harus memikirkan strategi, bagaimana bisa sampai di pintu luar. Sedangkan harus melewati dua orang pendendam yang tiada lain adalah Bima dan Athur. Terlintas di pikiran Aldo bahwa Ia harus memancingnya agar mereka mengejar. "Ciuwittt," siul Aldo. “Lemah banget, berdua aja kalah, malu-maluin!” Aldo berlari menyelusuri tangga menuju lantai atas. "Sini lo! Sialan!" Athur hendak mengejarnya. Namun Bima menghentikannya. “
Aldo bergegas dengan cepat keluar rumah. “Maaf, Mitha. Lama ya? Tadi aku habis bantuin Kakakku dulu.” “Enggak apa-apa, yaudah kita jalan sekarang.“ “Jalan?” “Iya, kenapa?” “Jalan? Naik kendaraan nggak bisa?" “Bisa," ucap Mitha seraya mengangguk. “Sekitar 2km” “Ayo pake motor aja.” Mitha mengangguk lagi. "Boleh, aku ikut aja." "Tunggu satu menit, aku ambil motor dulu." Aldo mengeluarkan motornya dari garasi. Motor ninja hitam gagah miliknya dengan suaranya yang padat mengelilingi lingkup sekitar yang sepi pada pagi itu. "Naik," ucap Aldo, seraya memegang tangan Mitha. "Sini aku bantu ... awas hati-hati." "Geli banget, emang mencari kesempatan dalam kesempitan," ucap Athur mengintip di jendela bersama Bima. "Emang banyak akalnya tuh anak." "Emang ... sangat disayangkan, Mitha dapetin bocah lem kaya si Aldo. Kalo next dia berhasil dapetin Mitha, pasti belagunya minta ampun," sahut Bima. "Iya sih bener, kok mau yaa?" sahut Lili disebelah Athur. "Sikapnya aja bikin gue p
“Setiap hari kamu selalu main basket di sini?” tanya Aldo lagi. “Iya,” jawab Mitha. “Hari ini first time, punya teman.” “Nggak takut sendirian?” “Nggak, sengaja sih ... menurutku sendiri itu damai, karena setiap pulang aku selalu mampir ke tebing buat liat laut. Ya ... lumayan sedikit nenangin.” “Laut?” “Iya, nggak jauh dari sini,” ucap Mitha. "Ayo kita ke sana, aku pengen liat juga." **** Siang menjelang sore, menuju tebing laut. Gradasi warna orange matahari sedikit demi sedikit terganti. “Pegangan.” Aldo meninggikan kecepatan motornya. Pelukan Mitha pada pinggang Aldo mulai terasa, kedekatannya setiap detik semakin hangat. "Kamu gapapa pulang kemaleman?" tanya Aldo. "Apa??" tanya Mitha dengan suara tinggi karena tak terdengar oleh angin yang menggelebug. "Gapapa pulang malem?" "Oh ... iya, gapapa." "Pegangan yang kenceng," ucap Aldo lagi, lalu meninggikan kecepatan motornya. **** Tidak lama, sampai di sebuah tanah luas. “Udah di sini aja simpen motornya.” “
“Next.” “Ganti.” “Ganti.” “Next.” “Eh udah, yang itu dulu,” suruh Alana seraya menyantap beberapa makanan yang Aldo bawa sebagai permintaan maaf, antara lain pizza, mac n cheese, hingga beberapa makanan ringan. Tubuh Aldo mulai pegal karena sejak tadi tidak di perbolehkan duduk dan ikut makan. Ia hanya mengganti beberapa saluran televisi sesuai dengan suruhan keempat orang itu. “Pegel banget! Seengaknya satu suapan doang! Pelit—“ (terpotong Athur dengan beberapa makanan di tangan dan di mulutnya). “Lo ngomong kita pelit, gue jadiin lo santapan buaya,” cela Athur. Bima mencubit Athur, seraya memberikan kode. “Jangan bawa-bawa buaya lagi!” bisik Bima dengan pelan. Alana tersenyum karena mengingat sesuatu. “Sebagai nafkah buat istri ya, Thur.” Lili menimpal. “Gimana keluarga kecilnya? Tentram?” Ucapan Bima terbukti benar. Kini penyesalan telah datang gara-gara mengucapkan kalimat itu. Athur mengambil satu persatu makanan, dengan tangannya hingga penuh, lalu Ia ber
“Bim.” Alana memanggil Bima saat Ia sedang menonton televisi. “Apaa sayangg?” sahut Bima dengan lembut. Raut wajahnya penuh dengan gengsi. Namun, Alana berusaha untuk mengatakannya. “Mau ikut jalan, nggak? Ya, sebelum kita pulang, kita banyakin jalan-jalan dan momen di sini.” “Kemana? Sama siapa?” “Ya ... jalan-jalan sore aja. Gue nggak maksa kok,” ajak Alana. “Siapa aja?” "Ck!" "Oalah, berdua. Bilang dong, susah banget." "Gue nggak maksa juga." Alana berdehem. "Nggak jadi ah." Bima tersenyum. "Yaudah ... gue mau jalan hari ini, lo ikut yaaa?? Temenin gue." Bima tersenyum melihat tingkah Alana, Ia sangat paham perasaan Alana bahwa Alana sedang menutupi gengsinya. "Gimana??" tanya Bima seraya menatap dalam. Alana mengalihkan pandangannya, sesekali menatap Bima, yang lagi-lagi Alana tak bisa menatapnya. "Terserah, gue ikut aja." "Yaudah, kita berangkat 10 menit lagi yaaa." **** “Ekhem.” Lili membuka pintu kulkas hendak mengambil buah. Saat itu, Athur sedang m