"Oh, kita emang pelit, Thur." Melihat baju Aldo dari atas hingga bawah memakai baju Bima dan Athur, termasuk pomade-nya. "Nggak apa-apa lah Bim, nggak di anggep udah hal biasa dalam hidup." Aldo menghiraukan ucapan mereka dan terus memakan daging. "Itu secomot kalo di pindahin ke piring, piringnya penuh," tukas Athur. "Seharusnya lo bersyukur punya senior yang tiada tara tampan sedunia." "Kalo gue jadi nyawanya ... mending sementara ngontrak aja, pasti cape," jawab Aldo, seraya terus menyantap daging dengan sikap tengilnya. "Sialan! Hasrat ingin membunuhnya semakin besar," ucap Bima menatap Aldo. Athur menimpal. "Tengil banget sikapnya." "Emang—" (terpotong dengan kedatangan Rita, Martha dan Mitha). Tatapan Aldo langsung tertuju pada Mitha. Perempuan berkulit putih, bermata sipit, rambutnya di ikat satu, terlihat pemalu dan pendiam. Mitha hanya mengikuti langkah Martha di sampingnya. Mata Aldo tak menoleh sedikit pun, pesona Mitha rupanya menyejukkan hati Aldo saat itu.
Matahari bersinar terang, suasana pagi itu sangat gaduh dan rusuh. Masing-masing dari ketiga orang pria itu, memukuli satu sama lain memakai bantal. Bughhhh!!! “Sialan! Sini lo!” seru Athur mengejar Aldo. Bughhh!!! Lemparan Bima tepat pada wajah Athur. "Awas!" teriak Bima. Niat awal akan melemparnya terhadap Aldo, tetapi Aldo berhasil menghindarinya. “Salah sasaran! Sorry!” Sekarang Aldo harus melawan Bima dan Athur. 2 vs 1, tak ada bantal yang harus Aldo lempar lagi. Hal yang harus Aldo lakukan hanya kabur keluar rumah. Waktunya kini tak banyak, Aldo harus memikirkan strategi, bagaimana bisa sampai di pintu luar. Sedangkan harus melewati dua orang pendendam yang tiada lain adalah Bima dan Athur. Terlintas di pikiran Aldo bahwa Ia harus memancingnya agar mereka mengejar. "Ciuwittt," siul Aldo. “Lemah banget, berdua aja kalah, malu-maluin!” Aldo berlari menyelusuri tangga menuju lantai atas. "Sini lo! Sialan!" Athur hendak mengejarnya. Namun Bima menghentikannya. “
Aldo bergegas dengan cepat keluar rumah. “Maaf, Mitha. Lama ya? Tadi aku habis bantuin Kakakku dulu.” “Enggak apa-apa, yaudah kita jalan sekarang.“ “Jalan?” “Iya, kenapa?” “Jalan? Naik kendaraan nggak bisa?" “Bisa," ucap Mitha seraya mengangguk. “Sekitar 2km” “Ayo pake motor aja.” Mitha mengangguk lagi. "Boleh, aku ikut aja." "Tunggu satu menit, aku ambil motor dulu." Aldo mengeluarkan motornya dari garasi. Motor ninja hitam gagah miliknya dengan suaranya yang padat mengelilingi lingkup sekitar yang sepi pada pagi itu. "Naik," ucap Aldo, seraya memegang tangan Mitha. "Sini aku bantu ... awas hati-hati." "Geli banget, emang mencari kesempatan dalam kesempitan," ucap Athur mengintip di jendela bersama Bima. "Emang banyak akalnya tuh anak." "Emang ... sangat disayangkan, Mitha dapetin bocah lem kaya si Aldo. Kalo next dia berhasil dapetin Mitha, pasti belagunya minta ampun," sahut Bima. "Iya sih bener, kok mau yaa?" sahut Lili disebelah Athur. "Sikapnya aja bikin gue p
“Setiap hari kamu selalu main basket di sini?” tanya Aldo lagi. “Iya,” jawab Mitha. “Hari ini first time, punya teman.” “Nggak takut sendirian?” “Nggak, sengaja sih ... menurutku sendiri itu damai, karena setiap pulang aku selalu mampir ke tebing buat liat laut. Ya ... lumayan sedikit nenangin.” “Laut?” “Iya, nggak jauh dari sini,” ucap Mitha. "Ayo kita ke sana, aku pengen liat juga." **** Siang menjelang sore, menuju tebing laut. Gradasi warna orange matahari sedikit demi sedikit terganti. “Pegangan.” Aldo meninggikan kecepatan motornya. Pelukan Mitha pada pinggang Aldo mulai terasa, kedekatannya setiap detik semakin hangat. "Kamu gapapa pulang kemaleman?" tanya Aldo. "Apa??" tanya Mitha dengan suara tinggi karena tak terdengar oleh angin yang menggelebug. "Gapapa pulang malem?" "Oh ... iya, gapapa." "Pegangan yang kenceng," ucap Aldo lagi, lalu meninggikan kecepatan motornya. **** Tidak lama, sampai di sebuah tanah luas. “Udah di sini aja simpen motornya.” “
“Next.” “Ganti.” “Ganti.” “Next.” “Eh udah, yang itu dulu,” suruh Alana seraya menyantap beberapa makanan yang Aldo bawa sebagai permintaan maaf, antara lain pizza, mac n cheese, hingga beberapa makanan ringan. Tubuh Aldo mulai pegal karena sejak tadi tidak di perbolehkan duduk dan ikut makan. Ia hanya mengganti beberapa saluran televisi sesuai dengan suruhan keempat orang itu. “Pegel banget! Seengaknya satu suapan doang! Pelit—“ (terpotong Athur dengan beberapa makanan di tangan dan di mulutnya). “Lo ngomong kita pelit, gue jadiin lo santapan buaya,” cela Athur. Bima mencubit Athur, seraya memberikan kode. “Jangan bawa-bawa buaya lagi!” bisik Bima dengan pelan. Alana tersenyum karena mengingat sesuatu. “Sebagai nafkah buat istri ya, Thur.” Lili menimpal. “Gimana keluarga kecilnya? Tentram?” Ucapan Bima terbukti benar. Kini penyesalan telah datang gara-gara mengucapkan kalimat itu. Athur mengambil satu persatu makanan, dengan tangannya hingga penuh, lalu Ia ber
“Bim.” Alana memanggil Bima saat Ia sedang menonton televisi. “Apaa sayangg?” sahut Bima dengan lembut. Raut wajahnya penuh dengan gengsi. Namun, Alana berusaha untuk mengatakannya. “Mau ikut jalan, nggak? Ya, sebelum kita pulang, kita banyakin jalan-jalan dan momen di sini.” “Kemana? Sama siapa?” “Ya ... jalan-jalan sore aja. Gue nggak maksa kok,” ajak Alana. “Siapa aja?” "Ck!" "Oalah, berdua. Bilang dong, susah banget." "Gue nggak maksa juga." Alana berdehem. "Nggak jadi ah." Bima tersenyum. "Yaudah ... gue mau jalan hari ini, lo ikut yaaa?? Temenin gue." Bima tersenyum melihat tingkah Alana, Ia sangat paham perasaan Alana bahwa Alana sedang menutupi gengsinya. "Gimana??" tanya Bima seraya menatap dalam. Alana mengalihkan pandangannya, sesekali menatap Bima, yang lagi-lagi Alana tak bisa menatapnya. "Terserah, gue ikut aja." "Yaudah, kita berangkat 10 menit lagi yaaa." **** “Ekhem.” Lili membuka pintu kulkas hendak mengambil buah. Saat itu, Athur sedang m
Di malam yang hening, keempat orang dewasa itu belum pulang ke rumah. Karena Alana sejak pagi mengomeli Aldo untuk segera mengemasi pakaiannya, kini Aldo menurutinya. Aldo sedang mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam koper, seraya membayangkan kisah asmaranya dengan Mitha. “Next, gue bakalan datangin Mitha sebulan sekali deh ... satu tahun gue kerja keras, gue bakalan langsung nikahin Mitha, punya anak, hidup bahagia.” Baju terakhir telah Ia masukkan ke dalam koper, dan menutupnya. Aldo membaringkan tubuhnya di kasur. "Dipikir-pikir gampang banget ya gue hidup. Nggak ada tantangannya. Aduhh, nggak sabar jadi ayah dari anak-anak Mitha. Pantes banget banyak yang iri, kehidupan gue nikmatnya nggak ada lawan." Pintu kamar tertutup rapat. Terbuka secara perlahan, ternyata Bima dan Athur yang datang. "Byee, tidur nyenyak yaaa." Athur mengatakannya dengan gugup ke arah kamar Alana dan Lili. "Istirahat yaa, good night, Na," timpal Bima. Aura pada wajahnya terlihat sangat bahagia, mena
Pagi itu, Alana sedang berdiam diri di balkon. Seraya menikmati sinar matahari yang menusuk hangat menyelimutinya. "Aku cari-cari." Suara itu membuyarkan kenikmatan Alana pagi ini. "Mau apaa? Tumben bangettt." "Kangen aja, emangnya kamu nggak kangen aku?" ucap Bima seraya merangkulnya dari belakang. "Kalo nggak gimana??" "Nggak masalah, selagi aku masih bisa rasain pelukan kamu," ucap Bima. "Asal jangan main cowok di belakang." "Emang kalo aku selingkuh, kamu mau apaa??" kekeh Alana, menguji Bima. "Aku bakalan hukum kamu dengan cara nikahin kamu, kamu nggak bisa lepas dari aku, aku bakalan jadi orang yang cuma bisa milikin kamu, seorang ... bodoamat, dia bisa kaya aku nggak?" Pelukan itu semakin erat di tubuh Alana. Alana tersenyum. "Posesif banget cowokku ini, yaudah ... nikahin aku cepet, apa aku harus selingkuh dulu, biar kamu aja yang bisa milikin aku?" "Sepele banget yang deketin kamu ... gantengan aku, huuu ...." "Okee ... nantang nih, aku telpon siapa, yaa?" Bima men