"Iya tunggu sebentar ... aku sekarang berangkat. Ini lagi manasin motor." "Kok lama, kamu nggak mau ketemu aku lama-lama ya?" tanya Mitha ditelepon. "Nggak gitu dong, 3 menit aku sampe di depan rumah kamu." Bima membuka pintu seraya mengintip. "pstt!" Aldo menganggukkan kepalanya. "Alana udah panggil-panggil, lo budeg ya?!" ketus Bima. Melihat penampilan Aldo dari atas kebawah membuat Bima bertanya-tanya. "Widih, lo mau kemana? Gaya banget ... mana pake baju gue lagi." "Mau ngapelin pacar, kenapa?" "Idih belagu banget gaya lo, baju pinjem doang sok keras." "Lo gitu banget sama adik sendiri," ucap Aldo, masih sibuk dengan sesuatu yang dicarinya. "Cari apa? Cari parfum kan lo?" "Gue bauuuk apekkk! Minta satu semprot." Tak lama Athur datang dengan handuk di pundaknya. "Pagi-pagi gini makanya mandi! Sibuk banget, di parfum terus, mandi kagak. Belajar dari hidup gue dong, udah wangi sabun, keliatan seger. Mandi Aldo, mandi." Athur seraya melemparkan handuknya terhadap Aldo. "B
Brughh!! Dengan sigap Bima langsung masuk ke dalam rumahnya. Hanya ada Martha dan Mitha yang berdiri di depan Bima. Dengan tatapan yang tajam seraya tersenyum. "Kalian gila ya?!" Bima melihat ke arah pintu. Melihat tancapan pisau yang masih menancap. "Kalian lempar pisaunya? Maksudnya?" teriak Bima emosi. Tak ada jawaban. Mereka dengan konsisten memperlihatkan raut wajah yang serupa. "Mana Aldo!" ketus Alana. Alana melihat ke arah Mitha. "Mana Aldo! Mitha!" kesal Alana. Lagi-lagi mereka tak menjawabnya. "Apa kalian celakain Aldo juga? Dimana! Saya tuntut kalian ya!" teriak Alana. "Aldo!" teriak Alana, berharap jika Aldo akan keluar dari rumahnya. "Aldo! Pulang!" Alana langsung menggeledah rumah Mitha tanpa persetujuan, diikuti oleh Bima. "Awas ya kalian!" ketus Alana seraya menunjuk. Sedangkan Lili sibuk menyembuhkan luka Athur di mobil, untungnya ada kotak obat p3k, untuk bisa menolongnya sebagai pertolongan pertama. "Shh A-aaw! Sakit banget." "Diem kalo ma sembuh! Sebag
"Kunci rumah! Kuncinya dimana?" tanya Bima. Bima tak mampu melawan rombongan agresif itu. Ditambah lagi, Bima tak membawa senjata pribadi miliknya. Semuanya telah Ia kemas dan sudah dimasukkan ke dalam mobil."Hah? Aku nggak pegang ... dipegang Lili." Alana berusaha membuka handle pintunya. "Kunci cadangan dimana?""Dipegang Aldo."Mereka semakin mendekat, dengan suara serentak yang menyeramkan, seraya bernyanyi dengan nada yang khas."Biasanya Aldo simpan dimana?" tanya Alana. Alana mencari-cari disetiap sudut rumah, termasuk pada rak sepatu. Begitupun Bima. "Cari dibawah pot bunga, Bim!"Diantara beberapa pot bunga yang berada diluar rumah, Bima dan Alana terus mencarinya. Tak peduli berserakan, ataupun potnya yang pecah."Ketemu!" ucap Bima. Ia dengan cepat langsung membuka pintu rumahnya. "Masuk!""Lari ke kamar, Na!" teriak Bima. "Cepet!"Rombongan itu semakin mendekat. Hingga dimana, Alana mengintip dari jendela."Hah? Kak Martha dan Kak Mitha kok ada di rombongan itu?" tanya A
"Bim! Mereka semakin deket! Kita bisa mati, Bim," ucap Alana. Ia tidak bisa mengontrol rasa takutnya. "Kita harus pergi!"Bima hanya terdiam seraya menunduk."Bim! Kok gitu sih! Kita bakalan mati, Bima!" Tangisan Alana mulai pecah. Tubuhnya gemetar mendapati kondisi yang sedang Ia alami saat ini. "Bima!"Bima sesekali menatap Alana, tanpa berkutik."Bim! Gimana! Aku takut," ucap Alana sambil mengintip dicelah pintu.Wajah Bima terlihat bingung. "Aku harus hadapin mereka."Perlahan Alana menatap Bima. "Hah? Apanya yang 'hadapin mereka'? Siapa? Kamu? Gila! Nggak! Nggak ya! Jangan so jadi pahlawan." "Ya emang aku yang harus hadapin mereka."Alana mengerutkan keningnya. "What's wrong with you? Bukan saatnya! Tolong berpikir logis! Mereka bawa senjata loh, Bim. Mereka bukan satu orang. Banyak. Kamu mau mati?" Bima tak ingin mendengar perkataan Alana. Ia tetap kekeh pada pendiriannya. "Percaya deh, Na. Emang aku yang harus selesaiin ini.""Ya emang kamu udah lakuin apa? Ada hubungannya sa
Sekumpulan anak lelaki menertawakan. “Yahahahahh kalo kamu bisa ambil sendal di pohon itu, kita enggak akan lagi gangguin kamu lagi,” jelas Haidan. Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Haidan sangat nakal dan sangat nekat. Apalagi, untuk anak penakut dan lemah seperti Alana. Alana terus berupaya mengambil sendalnya yang Haidan lemparkan. Hingga memanjat-manjat pohon. Namun, tetap saja tidak terambil. “Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” tutur Haidan menjahili Alana. “Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan). “Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sendal satunya dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa!” “Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!” “Karena gue benci sama lo. Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan dan teman-temannya pergi. Namun, seseorang melemparkan batu ke arah Haidan dan teman-temannya. Hi
Brughh!!!!“Papa!” jerit Alana.Tubuhnya tersungkur dan terjatuh dalam kerikil. “Hahahhah, maaf ... enggak liat!” ejek Haidan. Ia mendorong Alana hingga terjatuh. “Nangis nih pasti! Dasar cengeng,” ejeknya lagi. Mendengar itu, jiwa kecil Alana langsung bertekad untuk menjadi anak yang kuat. Alana teringat dengan anak lelaki itu. Yang dimana, Anak lelaki itu tidak mau berteman dengan anak yang lemah seperti Alana. Alana berdiri tak peduli pada luka yang Haidan beri. Alana berjalan dengan kepalan di tangannya. Raut wajah Alana penuh dengan kemurkaan.Anak kecil dengan tubuh yang mungil, berambut panjang dan berponi itu, kini menjalankan aksinya. “Sini kamu!” Tonjokkan dari tangan mungilnya berhasil mendarat di daerah hidung Haidan.Buggggg“Makanya! Ini balasan dari Alana! Kalo kamu ganggu Alana lagi, Alana jedotin palanya! Alana bakalan bawa batu yang besar, sebesar badan kamu!” Seraya menunjuk-nunjuk Haidan. “Nangis! Nangis kamu! Sana! Padahal Alana juga pelan,” seru Alana.Haidan
“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan. Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya. “Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu. “Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana. “Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat. “Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima. “Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana. Masih dengan bujukann
"Gimana Bim?? Lolos nggak?" Harapan yang berbinar terlihat dari mata cantik Alana.Alana telah diterima di perguruan tinggi yang Ia tuju. Sekarang, Alana sedang menunggu kabar baik dari Bima yang mengikuti Tes Kepolisian Bima terdiam menatap Alana."Yahh?? Nggak ya?" Alana menepuk-nepuk pundak Bima seraya memeluknya. "Jangan nyerah, Bim! Ayo berjuang lagi!"Raut wajah Bima berubah seketika menjadi ceria. "Panggil gue Pakpol sekarang!"Mendengar itu, suara hening kini berubah. Alana menutup mulutnya. "Omg... proud of you! Bima yang wangi!" seru Alana seraya memeluk tubuh Bima."Makacii banyakk ... eh, wangi doang? Gantengnya nggak?!!""Iya ganteng ... tapi banyakan wanginya.""Hahahah sialan emang orang cantik ini. Mau apa?" Bima mendongakkan kepalanya. "Apanya?""Gue kan lagi seneng ... jadi lo harus ikut ngerasain ... mau transfer atau cash?"****4 tahun kemudian ...Video call berlangsung."Bima, kangenn bangettt. Ayo ketemu!! Minggu gue wisuda!! Harus dateng yaaa.""Gue juga pel