“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan.
Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya.“Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu.“Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana.“Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat.“Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima.“Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana.Masih dengan bujukannya. “Yaudah, aku temenin. Kalo kamu enggak mau ngomong, kamu dengerin cerita aku aja, ya?”Alana hanya membalas dengan anggukan.“Aku juga suka sendirian. Dulu sebelum aku pindah, aku juga sama enggak punya temen. Tapi, di waktu-waktu ketika aku kesepian, itu yang buat aku jadi berani, loh. Selain itu juga, aku pernah tonjok temanku dulu.” Seraya memperagakannya.“Kenapa?”“Ya karena dia usil mau curi makananku.”“Kenapa?”“Walaupun Cuma makanan, tapi dia tetap mencuri. Coba kalo dia bilang ‘mau’, aku enggak akan setega itu buat nggak ngasih.”“Kenapa di tonjok?”Bima menghela napas. “Karena usil. Dia bercandanya berlebihan dan enggak di waktu yang tepat.”“Oh, kamu enggak di marahin, Mama?” tanya Alana, seraya memperhatikan Bima yang sedang bercerita.“Di marahin atau pun enggak, aku enggak peduli. Aku nggak akan bikin kesalahan kalo bukan dia yang mulai duluan.”“Tapi dia kamu tonjok, kasian,” ucap Alana.“Apapun pilihan yang baik dan buruk pasti ada konsekuensinya. Kamu harus tanggung jawab sama pilihan kamu. Kalo kamu mencuri, kamu harus siap di pukul orang. Simple-nya begitu,” jelas Bima. “Matahari udah mau terbenam, kita pulang. Konon, kalo pulang menjelang malam bakalan di ambil setan.” Bima menarik tanpa aba-aba tangan Alana, lalu berlari.Kedua tangan mungil itu berpegangan erat. Berlari seraya tertawa, menikmati usianya. Bima berhasil membuat Alana kembali tertawa.“Aku samper kamu besok ya, daah,” teriak Bima. Yang kini, mereka sama-sama berada di gerbang rumahnya.“Dahh.” Jawab Alana.****“Gue bingung, Bim. Gue lanjutin ke mana ya?” kata Alana. Memilih langkah apa yang harus Alana tuju. Setelah lulus dari sekolahnya.“Cita-cita lo Dokter Forensik, kan? Yaudah ambil aja itu, Sesuai dengan apa yang lo mau.” Bima memberikan support. “Konsekuensi pasti ada. Tapi, lo enggak sendiri. Ada gue.”“Biayanya enggak sedikit, Bim. Mama juga enggak bisa di andelin” kata Alana.“Gue bantuin.”“Lo fokus aja buat masa depan lo ... gue takut dan enggak mau jadi penghambat.”“Emang lo ngehambat? Kita harus sukses bareng-bareng Alana.”“Semisal gue enggak jadi apa-apa. Lo masih mau jadi sahabat gue? Lo pasti malu, ya?”Bima menghela napas. “Kok jadi ke mana-mana, sih? Gue pengen kenal sama lo bukan sebuah pencapaian yang lo dapetin. Tapi, apa yang ada di dalam diri lo."Alana terdiam merenungi keadaan. melihat itu, tentunya Bima tidak tega."Overthinkingnya udahan, ya? Udahlah semuanya terabas aja. Apapun yang akan terjadi, yaudah biarin terjadi. Lo juga enggak sendirian, kan? Gue juga selalu ada di sini."****“Mama bisa enggak sih, buat stop ngeluarin uang buat hal yang enggak penting?” kata Alana. Saat melihat Anggun yang terus menghabiskan uang dan berfoya-foya dengan pria lain.“Kamu nggak rela ngeliat Mama bahagia?” Anggun mendelik.“Bukan gitu, Mama. Kita tuh lagi di fase krisis uang. Pengeluaran kita tuh banyak banget. Di sini Alana juga harus kejar semuanya. Alana kerja sendiri, Alana banting tulang sendiri. Setidaknya, kita harus hemat,” ucap Alana, seraya menahan tangisnya.“Di bandingkan pengorbanan Mama dengan kamu, enggak akan pernah sebanding.”“Lo juga! Ngapain sih? Kerja! Lo tuh laki-laki! Jangan suka manfaatin uang Mama.Rendah banget harga diri lo,” murka Alana terhadap kekasih Anggun. “Enggak tau malu! Udah susah, enggak mau kerja.”“Beraninya kamu!” Tamparan itu melayang di pipi Alana. “Yang enggak tau malu itu kamu, Alana! Keluar kamu dari rumah ini.”Dada Alana begitu sesak mendengarnya. Rasa tamparan itu tak sebanding dengan melihat Anggun membela orang lain di banding darah dagingnya sendiri.“Apa? Boti! Ngumpet di belakang cewek!” Dengan emosi yang meledak-ledak, Alana pergi ke kamarnya. Membereskan semua pakaiannya.“Kakak mau ke mana?” Aldo sedang merebahkan diri di kasur Alana. Seketika terkejut, melihat Alana membereskan semua pakaiannya. Dengan tangisan yang tersedu-sedu. “Aldo mau ikut.”“Diem Aldo! Udah, diem di rumah!” bentak Alana.“Tapi, Aldo mau ikut.”Dengan terburu-buru Alana langsung menutup kopernya dan pergi.“Sana pergi! Bawa tuh adik kamu si Aldo,” murka Anggun.Hal itu membuat Alana semakin marah dan kembali untuk membawa Aldo pergi dari rumah. Alana memasukkan kembali pakaian Aldo dan barang-barangnya ke dalam koper lain.“Aldo! Ikut kakak!”“Yeay ... okee kak.” Dengan reaksinya yang polos, Aldo sangat gembira saat Alana mengajaknya pergi. Tanpa mengetahui, apa yang telah terjadi.“Jangan mau pulang! Oke, Aldo?” Alana memberikan beberapa nasehat untuk Aldo. “Harus baik! Sekarang kamu Cuma punya kakak. Tapi, jangan benci ... jangan benci Mama ya Aldo.” Alana menahan tangisnya.Alana dan Aldo keluar dari kamarnya, membawa beberapa koper yang sudah Alana rapikan.“Nama Aldo masih di kartu keluarga Mama. Kamu udah bukan. Sudah di proses, tunggu hasilnya. Sana pergi,” ketus Anggun.“Dengan senang hati." Rasa nekat yang terus membara, keberanian akan perubahan di dalam diri Alana terus menghantamnya. Tatapan tajam Alana tak lepas tertuju kepada kekasih Anggun saat itu.****“Jangan takut, ada gue. Lo harus bisa berdiri di kaki lo sendiri. Sekarang, lo tinggal di rumah yang dulu gue aja. Di sana juga kosong.” Pelukan erat tubuh Bima menghangatkan dan menenangkan Alana.“Gue bayar perbulannya ya, Bim. Enggak tau harus gimana lagi sama semua kebaikan lo. Kenapa selalu bantuin gue sih, Bim?”“Karena lo selalu ada di saat mereka pergi ninggalin gue. Lo kasih waktu lo, ketika orang-orang sibuk dengan waktunya. Bahkan, lebih dari itu. Udah, enggak usah mikirin aneh-aneh. Sekarang, lo udah tau kan? Alasan buat kejar gelar forensik, lo?”"Gimana Bim?? Lolos nggak?" Harapan yang berbinar terlihat dari mata cantik Alana.Alana telah diterima di perguruan tinggi yang Ia tuju. Sekarang, Alana sedang menunggu kabar baik dari Bima yang mengikuti Tes Kepolisian Bima terdiam menatap Alana."Yahh?? Nggak ya?" Alana menepuk-nepuk pundak Bima seraya memeluknya. "Jangan nyerah, Bim! Ayo berjuang lagi!"Raut wajah Bima berubah seketika menjadi ceria. "Panggil gue Pakpol sekarang!"Mendengar itu, suara hening kini berubah. Alana menutup mulutnya. "Omg... proud of you! Bima yang wangi!" seru Alana seraya memeluk tubuh Bima."Makacii banyakk ... eh, wangi doang? Gantengnya nggak?!!""Iya ganteng ... tapi banyakan wanginya.""Hahahah sialan emang orang cantik ini. Mau apa?" Bima mendongakkan kepalanya. "Apanya?""Gue kan lagi seneng ... jadi lo harus ikut ngerasain ... mau transfer atau cash?"****4 tahun kemudian ...Video call berlangsung."Bima, kangenn bangettt. Ayo ketemu!! Minggu gue wisuda!! Harus dateng yaaa.""Gue juga pel
"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe. "Kalo Bima berusaha jujur dan terbuka, ini semua nggak akan terjadi, Bim. Gue takut—" (ucap Alana terpotong Bima). "Takut apa? Takut gue pacaran sama yang lain? Egois banget. Lo itu aneh." Bima masih menatap Alana. Alana menatap Bima. Bima mengangkat satu alisnya seraya menatap tajam. "Gue takut kalo emang pikiran gue beneran terjadi ... kalo selama ini lo nggak pernah serius sama gue!" "Alasannya? Bisa, lo jelasin itu semua?" "Karena gue kurang worth it, untuk semua itu, Bim. Lo nggak akan paham." "Gue pernah ngatain lo kaya gitu?" "Kalo lo sayang sama gue, lo nggak akan pernah biarin gue tersiksa sama semuanya." Alana hendak pergi, namun Bima menahannya. "Lo gini terus, lo pikir nggak buat gue bertanya-tanya? Duduk!" "Lo selalu gantungin hubungan kita, lo pikir pikiran gue aman-aman aja? Gue capek Bim. Gue capek selalu hidup dalam ketakutan." "Dan itu nggak ter
Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya. Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku me
Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. “Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!" Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.” Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12
Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Secara langsung, mengotopsi jenazah. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya seraya batuk-batuk. "Rumah s
Setelah berpikir dan memilih tempat tinggal. Malam itu, Alana memilih tinggal di Apartemen. Alana sudah memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan lepas tanggung jawab. Hanya saja, di dalam posisinya, Alana selalu berkelahi dengan pikirannya. Tidak mudah jika harus bersama-sama lagi. Alana berdiam diri seraya melihat lampu kota yang sangat indah di Rooftop, seraya meminum Americano kesukaannya. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana melihat siapa yang meneleponnya. "Dia lagi." Alana lalu mengangkat teleponnya. "Apa?" tanya Alana. "Nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim. Enggak mood gue, lanjut aja," jawab Alana. "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa."Enggak," kekeh Alana. "Mau di beliin apa?" "Enggak, Bim." "Gue beliin laptop baru, ayo dong," pinta Bima lagi. "Enggak, Bimaa. Sama crush lo aja sana. Gue lagi mau sendiri." "Gitu banget, ayo dong cantikku," pinta Bima lagi.Bima terus
Malam itu, diparkiran mobil. Air mata Bima yang menetas tak bisa Bima pendam. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. Amarah Bima semakin detik semakin membara. Melihat tingkah Adelio yang memainkan perasaan Alana. "Mati lo!" Satu pukulan yang menghantam pipi kiri Adelio. Begitu pun, Adelio membalas pukulan Bima.Alana terus berusaha untuk menghentikan aksi Bima. Sedangkan, perempuan itu berusaha menghentikan aksi Adelio. Dan ya, Bima dan Adelio penuh luka lebam dan darah di wajahnya. Alana beberapa kali menenangkan bahkan memisahkannya. Namun, nihil dan sangat mustahil. Tubuhnya yang kecil, jelas jauh berbeda dengan Bima dan Adelio. Namun, seketika Bima bisa tenang saat mendengar Alana mengatakan. "Bima! Lupain Alana." Dan Adelio tenang karena kekasihnya yang melakukannya.Alana menatap wajah Adelio dengan penuh kesedihan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Terlihat Alana yang berusaha menahan tangisnya. "Jadi gimana, Adelio?" T
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi."Di hari liburnya, Alana sedang merapikan kamarnya. "Bim, sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja," gerutu Alana, seraya berjalan menuju dapur untuk menata beberapa barang yang berantakan. Sedangkan Bima, terus mengikuti Alana seperti Anak yang terus mengikuti Induknya. "Ayo jogging, Na," ajak Bima. Sudah menggunakan style olahraga serba hitam, terlihat gagah dan tampan. Siapa pun yang melihatnya pasti sangat terpesona dengan pesona Bima, terkecuali Alana. "Sendiri aja, gue sibuk," ketus Alana seraya menata telur di kulkas. Bima menghalangi jalan Alana. "Lo pasti gabut kan di Apartemen sendirian? Mending jogging, bikin sehat juga." "Gue udah sehat." Alana menunjukkan otot lengannya. Bima menyipitkan kedua matanya. "Mana? Itu lemak sama kadar air. Kaya balon di kasih air," ejek Bima. "Syalan!" ketus Alana seraya men