Share

3. Perkenalan

“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan.

Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya.

“Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”

Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu.

“Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”

“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana.

“Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.

“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”

“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat.

“Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima.

“Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana.

Masih dengan bujukannya. “Yaudah, aku temenin. Kalo kamu enggak mau ngomong, kamu dengerin cerita aku aja, ya?”

Alana hanya membalas dengan anggukan.

“Aku juga suka sendirian. Dulu sebelum aku pindah, aku juga sama enggak punya temen. Tapi, di waktu-waktu ketika aku kesepian, itu yang buat aku jadi berani, loh. Selain itu juga, aku pernah tonjok temanku dulu.” Seraya memperagakannya.

“Kenapa?”

“Ya karena dia usil mau curi makananku.”

“Kenapa?”

“Walaupun Cuma makanan, tapi dia tetap mencuri. Coba kalo dia bilang ‘mau’, aku enggak akan setega itu buat nggak ngasih.”

“Kenapa di tonjok?”

Bima menghela napas. “Karena usil. Dia bercandanya berlebihan dan enggak di waktu yang tepat.”

“Oh, kamu enggak di marahin, Mama?” tanya Alana, seraya memperhatikan Bima yang sedang bercerita.

“Di marahin atau pun enggak, aku enggak peduli. Aku nggak akan bikin kesalahan kalo bukan dia yang mulai duluan.”

“Tapi dia kamu tonjok, kasian,” ucap Alana.

“Apapun pilihan yang baik dan buruk pasti ada konsekuensinya. Kamu harus tanggung jawab sama pilihan kamu. Kalo kamu mencuri, kamu harus siap di pukul orang. Simple-nya begitu,” jelas Bima. “Matahari udah mau terbenam, kita pulang. Konon, kalo pulang menjelang malam bakalan di ambil setan.” Bima menarik tanpa aba-aba tangan Alana, lalu berlari.

Kedua tangan mungil itu berpegangan erat. Berlari seraya tertawa, menikmati usianya. Bima berhasil membuat Alana kembali tertawa.

“Aku samper kamu besok ya, daah,” teriak Bima. Yang kini, mereka sama-sama berada di gerbang rumahnya.

“Dahh.” Jawab Alana.

****

“Gue bingung, Bim. Gue lanjutin ke mana ya?” kata Alana. Memilih langkah apa yang harus Alana tuju. Setelah lulus dari sekolahnya.

“Cita-cita lo Dokter Forensik, kan? Yaudah ambil aja itu, Sesuai dengan apa yang lo mau.” Bima memberikan support. “Konsekuensi pasti ada. Tapi, lo enggak sendiri. Ada gue.”

“Biayanya enggak sedikit, Bim. Mama juga enggak bisa di andelin” kata Alana.

“Gue bantuin.”

“Lo fokus aja buat masa depan lo ... gue takut dan enggak mau jadi penghambat.”

“Emang lo ngehambat? Kita harus sukses bareng-bareng Alana.”

“Semisal gue enggak jadi apa-apa. Lo masih mau jadi sahabat gue? Lo pasti malu, ya?”

Bima menghela napas. “Kok jadi ke mana-mana, sih? Gue pengen kenal sama lo bukan sebuah pencapaian yang lo dapetin. Tapi, apa yang ada di dalam diri lo."

Alana terdiam merenungi keadaan. melihat itu, tentunya Bima tidak tega.

"Overthinkingnya udahan, ya? Udahlah semuanya terabas aja. Apapun yang akan terjadi, yaudah biarin terjadi. Lo juga enggak sendirian, kan? Gue juga selalu ada di sini."

****

“Mama bisa enggak sih, buat stop ngeluarin uang buat hal yang enggak penting?” kata Alana. Saat melihat Anggun yang terus menghabiskan uang dan berfoya-foya dengan pria lain.

“Kamu nggak rela ngeliat Mama bahagia?” Anggun mendelik.

“Bukan gitu, Mama. Kita tuh lagi di fase krisis uang. Pengeluaran kita tuh banyak banget. Di sini Alana juga harus kejar semuanya. Alana kerja sendiri, Alana banting tulang sendiri. Setidaknya, kita harus hemat,” ucap Alana, seraya menahan tangisnya.

“Di bandingkan pengorbanan Mama dengan kamu, enggak akan pernah sebanding.”

“Lo juga! Ngapain sih? Kerja! Lo tuh laki-laki! Jangan suka manfaatin uang Mama.

Rendah banget harga diri lo,” murka Alana terhadap kekasih Anggun. “Enggak tau malu! Udah susah, enggak mau kerja.”

“Beraninya kamu!” Tamparan itu melayang di pipi Alana. “Yang enggak tau malu itu kamu, Alana! Keluar kamu dari rumah ini.”

Dada Alana begitu sesak mendengarnya. Rasa tamparan itu tak sebanding dengan melihat Anggun membela orang lain di banding darah dagingnya sendiri.

“Apa? Boti! Ngumpet di belakang cewek!” Dengan emosi yang meledak-ledak, Alana pergi ke kamarnya. Membereskan semua pakaiannya.

“Kakak mau ke mana?” Aldo sedang merebahkan diri di kasur Alana. Seketika terkejut, melihat Alana membereskan semua pakaiannya. Dengan tangisan yang tersedu-sedu. “Aldo mau ikut.”

“Diem Aldo! Udah, diem di rumah!” bentak Alana.

“Tapi, Aldo mau ikut.”

Dengan terburu-buru Alana langsung menutup kopernya dan pergi.

“Sana pergi! Bawa tuh adik kamu si Aldo,” murka Anggun.

Hal itu membuat Alana semakin marah dan kembali untuk membawa Aldo pergi dari rumah. Alana memasukkan kembali pakaian Aldo dan barang-barangnya ke dalam koper lain.

“Aldo! Ikut kakak!”

“Yeay ... okee kak.” Dengan reaksinya yang polos, Aldo sangat gembira saat Alana mengajaknya pergi. Tanpa mengetahui, apa yang telah terjadi.

“Jangan mau pulang! Oke, Aldo?” Alana memberikan beberapa nasehat untuk Aldo. “Harus baik! Sekarang kamu Cuma punya kakak. Tapi, jangan benci ... jangan benci Mama ya Aldo.” Alana menahan tangisnya.

Alana dan Aldo keluar dari kamarnya, membawa beberapa koper yang sudah Alana rapikan.

“Nama Aldo masih di kartu keluarga Mama. Kamu udah bukan. Sudah di proses, tunggu hasilnya. Sana pergi,” ketus Anggun.

“Dengan senang hati." Rasa nekat yang terus membara, keberanian akan perubahan di dalam diri Alana terus menghantamnya. Tatapan tajam Alana tak lepas tertuju kepada kekasih Anggun saat itu.

****

“Jangan takut, ada gue. Lo harus bisa berdiri di kaki lo sendiri. Sekarang, lo tinggal di rumah yang dulu gue aja. Di sana juga kosong.” Pelukan erat tubuh Bima menghangatkan dan menenangkan Alana.

“Gue bayar perbulannya ya, Bim. Enggak tau harus gimana lagi sama semua kebaikan lo. Kenapa selalu bantuin gue sih, Bim?”

“Karena lo selalu ada di saat mereka pergi ninggalin gue. Lo kasih waktu lo, ketika orang-orang sibuk dengan waktunya. Bahkan, lebih dari itu. Udah, enggak usah mikirin aneh-aneh. Sekarang, lo udah tau kan? Alasan buat kejar gelar forensik, lo?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status