Pukul 07: 23 pagi ...
Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. “Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!" Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.” Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12 Aldo! Mikir! Seenggaknya kalo belum bisa ngehasilin duit yang banyak, jadi anak yang baik!” tegas Alana. “Pulang! Jangan jadikan rumah saya sebagai base camp. Enak aja." “Loh kok gitu sih kak? Jangan gitu dong. Belagu banget." Alana menoleh dengan tatapan tajam. “Ngomong belagu ke gue, emangnya lo udah bisa dapetin apa? Pencapaian lo apa? Ngerengek minta motor? Mobil? Itu pencapaian lo? Bolos disekolah? Bangga lo?" Aldo menatap tajam. “Gue bisa hidup sendiri. Gue enggak butuh duit dari lo. Kayanya emang lo juga terlalu memaksakan. Lagian semua pencapaian lo juga dibantuin Kak Bima." Ucapan Aldo saat itu, sungguh menyakiti hati Alana. "Lo pikir gue mau diposisi kaya gini? Emangnya gue minta Bima buat lakuin ini? Lo tau apa brengsek! Lo pikir gue baik-baik aja selama ini atas apa yang telah terjadi sama gue sebagai 'takdir' yang udah ditetapin di hidup gue?” Alana melangkahkan kakinya seraya mengambil beberapa berkas dari kamarnya. "Hidup gue lebih menderita ketimbang hidup lo, Aldo." Emosi Alana tak bisa lagi dikendalikan. Ia berjalan menuju kamarnya, seraya menangis. “Lo pengen hidup sendiri, kan? Itu berkas-berkas yang harus lo bayar perbulan, termasuk cicilan ni rumah. Di tambah lagi, biayain nyokap lo. Gue lepasin semuanya. Termasuk biaya hidup lo, gue enggak ngurus. Gue nggak akan lagi mau anggap lo termasuk mama. Gue nggak kuat lagi.” Berpapasan dengan kedatangan Anggun. “Anakku, baru pulang. Gimana tugasnya? Lancar?” Anggun memeluk Alana. “Mama baru pesen tas Branded, tolong bayarin ya. Mama juga sekarang mau jalan sama Papa Edwin. Juga, Mama minta bekel buat Mama jalan.” Alana menatap tajam ke arah Edwin. “Di mana-mana, Cowok yang bayarin. Rendahan!" Alana melihat ke arah Aldo. "Mampu lo? Mampu biayain semuanya? Brengsek lo, Do." “Kok gitu sih, sayang? Ada apa?" “Maafin Alana, Alana udah enggak bisa buat tinggal sama-sama lagi.” "Loh? Nggak bisa gitu dong. Kamu lupa? Mama yang udah besarin kamu ... Sudah seharusnya kamu membalas budi!” Alana mengalihkan pandangannya seraya tersenyum murka. "Baru ngomong sekarang? Alana udah nggak butuh ucapan itu. Itu kalimat yang Alana butuhin dulu, bukan sekarang. Lepasin hidup Alana biar tenang." Tatapan Alana sendu seraya menahannya untuk tidak menangis. “Anak bukan Investasi, pelajaran untuk Hanifa ke depannya.” **** Bima sudah menunggunya di mobil, di depan rumah Alana. Bima terkejut melihat Alana dari kaca spion membawa koper yang besar sembari kesusahan membawanya. “Berkas apa yang dia bawa? Banyak banget ... emangnya dia lagi nyelesain kasus apaan? Apa skripsinya nunggak?” Bima terus menebak-nebak seraya melihat Alana. Bima membuka kaca mobilnya. Lalu, mengeluarkan kepalanya. “Lama banget, gue udah nunggu setengah jam. Katanya harus gesit, lo sendiri yang lama. Itu lo bawa koper segede ondel-ondel bawa apa aja? Mau kemana? Mau pindah rumah lagi?" Mata Alana terlihat sembab dan merah. “Buka bagasi,” ketus Alana. Tanpa lama-lama, Bima langsung membuka bagasi mobilnya. Banyak pertanyaan di kepalanya mengenai Alana saat itu. Alana terus berusaha mengangkat kopernya. Namun, tidak terangkat. Seraya sesekali mengelap air matanya. “Susah banget.” Beberapa kali Alana terus berusaha. Namun, masih saja tidak terangkat. “Susah banget, kenapa gini doang susah banget.” Lalu, Alana menangis tersedu-sedu seraya menutup wajahnya. Bima hanya memperhatikan Alana dengan banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin Bima tanyakan. Namun, Bima takut pertanyaannya salah. Dengan ragu-ragu Bima bertanya. “M-mau gue bantu nggak, Na?” tanya Bima dengan polosnya. Alana mengelap air matanya dan menatap tajam ke arah Bima. “Enggak usah, gue bisa sendiri.” Alana terus mencoba. “Tapi kayaknya lo kesusahan. Mau ... mau di bantu gak?” suaranya semakin ciut. "Gue bantu ya?" “Gue benci banget sama lo, Bim!" **** “Ya tinggal bilang ‘tolong, Bim’ udah, selesai,” ucap Bima seraya menyetir. “Anak kecil balita juga tau, Bima. Kalo tadi gue lagi murat-marit kesusahan angkat koper. Lo aja yang kurang kesadaran dalam hal menolong,” sahut Alana seraya menyilangkan kedua tangannya. "Aneh." “Gak semua orang paham apa isi hati lo, Alana Athaya,” tukas Bima. “Itu semua tadi bukan perihal tentang isi hati, Bima Argiantara! Tapi tentang kesadaran! Ya ... tanpa orang minta, kalo emang ada kesadaran dalam diri lo dan kalo orang lain lagi kesusahan dan kalo manusia punya hati yang baik, dia pasti bantu tanpa harus di minta. Manusia yang baik itu langsung ngelakuin, enggak usah nunggu orang lain minta dulu. Aneh banget!” jelas Alana. “Ya ... orang kalo enggak di mintain tolong, bakalan bodoamat. Kenapa coba enggak minta tolong? Nyusahin hidup lo aja. Kalo ada apa-apa di luar batas kemampuan lo, ya tinggal minta tolong.” “Pokonya pandangan dan pendirian gue tetep di ‘kesadaran’ pandangan lo terserah. Terserah Lo! Males banget debat masalah yang enggak penting. Udah lupain,” Alana mendelik malas. Bima menatap Alana seraya tersenyum. Berusaha dengan tegar memahaminya. Bahwa, perempuan memang seperti itu. “Yaudah lupain. Jadi, apa strategi supaya kasus ini cepat terselesaikan?” kata Bima seraya menyetir. Alana memasang raut wajah yang jutek dengan pandangannya ke arah kaca mobil. “Bukannya kemarin udah di jelasin?” ketus Alana. Bima tersenyum seraya memandangi Alana. “Udah donggg, jangan personal, gue minta maaf. Jangan bawa masalah pribadi dong, katanya udah lupain aja, maaf,” kata Bima, berbicara pelan dan halus. “Lah? Memangnya ada kalimat yang saya katakan perihal masalah pribadi? Lagi pula memangnya kita ada masalah? Kenapa minta maaf?” jawab Alana. Bima menghela napas. “Kita langsung saja ke rumah Pak Sudi ya? Siapkan beberapa pertanyaan, agar tidak memakan waktu yang banyak. Kita bisa lebih fokus agar bukti semakin cepat terkumpulkan.” “Baik.”Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Secara langsung, mengotopsi jenazah. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya seraya batuk-batuk. "Rumah s
Setelah berpikir dan memilih tempat tinggal. Malam itu, Alana memilih tinggal di Apartemen. Alana sudah memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan lepas tanggung jawab. Hanya saja, di dalam posisinya, Alana selalu berkelahi dengan pikirannya. Tidak mudah jika harus bersama-sama lagi. Alana berdiam diri seraya melihat lampu kota yang sangat indah di Rooftop, seraya meminum Americano kesukaannya. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana melihat siapa yang meneleponnya. "Dia lagi." Alana lalu mengangkat teleponnya. "Apa?" tanya Alana. "Nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim. Enggak mood gue, lanjut aja," jawab Alana. "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa."Enggak," kekeh Alana. "Mau di beliin apa?" "Enggak, Bim." "Gue beliin laptop baru, ayo dong," pinta Bima lagi. "Enggak, Bimaa. Sama crush lo aja sana. Gue lagi mau sendiri." "Gitu banget, ayo dong cantikku," pinta Bima lagi.Bima terus
Malam itu, diparkiran mobil. Air mata Bima yang menetas tak bisa Bima pendam. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. Amarah Bima semakin detik semakin membara. Melihat tingkah Adelio yang memainkan perasaan Alana. "Mati lo!" Satu pukulan yang menghantam pipi kiri Adelio. Begitu pun, Adelio membalas pukulan Bima.Alana terus berusaha untuk menghentikan aksi Bima. Sedangkan, perempuan itu berusaha menghentikan aksi Adelio. Dan ya, Bima dan Adelio penuh luka lebam dan darah di wajahnya. Alana beberapa kali menenangkan bahkan memisahkannya. Namun, nihil dan sangat mustahil. Tubuhnya yang kecil, jelas jauh berbeda dengan Bima dan Adelio. Namun, seketika Bima bisa tenang saat mendengar Alana mengatakan. "Bima! Lupain Alana." Dan Adelio tenang karena kekasihnya yang melakukannya.Alana menatap wajah Adelio dengan penuh kesedihan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Terlihat Alana yang berusaha menahan tangisnya. "Jadi gimana, Adelio?" T
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi."Di hari liburnya, Alana sedang merapikan kamarnya. "Bim, sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja," gerutu Alana, seraya berjalan menuju dapur untuk menata beberapa barang yang berantakan. Sedangkan Bima, terus mengikuti Alana seperti Anak yang terus mengikuti Induknya. "Ayo jogging, Na," ajak Bima. Sudah menggunakan style olahraga serba hitam, terlihat gagah dan tampan. Siapa pun yang melihatnya pasti sangat terpesona dengan pesona Bima, terkecuali Alana. "Sendiri aja, gue sibuk," ketus Alana seraya menata telur di kulkas. Bima menghalangi jalan Alana. "Lo pasti gabut kan di Apartemen sendirian? Mending jogging, bikin sehat juga." "Gue udah sehat." Alana menunjukkan otot lengannya. Bima menyipitkan kedua matanya. "Mana? Itu lemak sama kadar air. Kaya balon di kasih air," ejek Bima. "Syalan!" ketus Alana seraya men
Alana melihat keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas yang di temukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang yang mengenalnya, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan, karena terlihat rambutnya yang mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberap
"Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima."Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi."Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili."Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar.""Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana."Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso."Bima menimpal. "Atau le
"Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang.Perempuan dengan untunan kepang di rambutnya itu, meminta tolong untuk bisa ikut dengan mereka. Apapun itu, pekerjaan apapun itu, Sri akan lakukan asalkan Sri tidak sendirian. Karena memang hal ini menyangkut hal mistis. Alana beserta Tim mengajak Sri untuk ikut dengan mereka agar Sri tidak merasa terancam dan memiliki teman. Mayang mengajaknya untuk bekerja di salah satu kafe baru milik keluarganya sebagai waitress. Perjalanannya memakan waktu 4 jam. Hingga larut malam, Mereka masih di dalam perjalanan pulang menuju kota. Ya, melewati pepohonan yang menjulang tinggi. Memakan waktu yang cukup lama, hingga sampai di markas Tim. "Kita akan melanjutkan esok hari, karena sudah larut malam. Agenda pertama kali untuk besok, kita akan melakukan olah TKP, lalu di lanjutkan untuk penggeledahan di rumah Zea," ucap Bima.****"Bim! Saya menemukan pisau di ujung pohon sana." Athur kembali menemui Bima yang sedan
Lili meneliti identitas lebih jauh di internet mengenai jenazah tanpa identitas itu. "Motif ditambahkan kotoran sapi, agar tidak meninggalkan jejak. Namun, sepertinya pelaku sedang sial," kata Alana, membuat Lili terpukau. Lili tersenyum. "Ini yang saya suka dari Alana. Keren," kata Lili."Dari awal saya sudah mencurigai bahwa jenazah tanpa identitas itu bukan asli kota ini. Maksudnya, Ia pendatang. Dari postur tubuhnya memang terlihat warga lokal," jelas Alana. "Hidungnya terlihat orang timur, rambutnya yang panjang, bulu mata yang lentik. Coba tolong bantu amati."Alana mengeluarkan beberapa sumber dari laptopnya dan dari buku yang sengaja Alana beli. "5 bulan yang lalu, ada sukarelawan yang mengekspos mengenai Kota Hema. Di sana hanya kota terpencil. Namun, kota itu makmur dan sangat tentram. Karena memang, kini sudah banyak diketahui orang." Alana menjelaskan seraya menunjukkan potret seorang sukarelawan wanita. "Jadi?"Alana memberikan satu video. "Ini cuplikan video singkat b