Share

7. Pergi

Pukul 07: 23 pagi ...

Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota.

Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan.

Ceklekk

Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya.

Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan.

“Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!"

Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.”

Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12 Aldo! Mikir! Seenggaknya kalo belum bisa ngehasilin duit yang banyak, jadi anak yang baik!” tegas Alana. “Pulang! Jangan jadikan rumah saya sebagai base camp. Enak aja."

“Loh kok gitu sih kak? Jangan gitu dong. Belagu banget."

Alana menoleh dengan tatapan tajam. “Ngomong belagu ke gue, emangnya lo udah bisa dapetin apa? Pencapaian lo apa? Ngerengek minta motor? Mobil? Itu pencapaian lo? Bolos disekolah? Bangga lo?"

Aldo menatap tajam. “Gue bisa hidup sendiri. Gue enggak butuh duit dari lo. Kayanya emang lo juga terlalu memaksakan. Lagian semua pencapaian lo juga dibantuin Kak Bima."

Ucapan Aldo saat itu, sungguh menyakiti hati Alana. "Lo pikir gue mau diposisi kaya gini? Emangnya gue minta Bima buat lakuin ini? Lo tau apa brengsek! Lo pikir gue baik-baik aja selama ini atas apa yang telah terjadi sama gue sebagai 'takdir' yang udah ditetapin di hidup gue?” Alana melangkahkan kakinya seraya mengambil beberapa berkas dari kamarnya. "Hidup gue lebih menderita ketimbang hidup lo, Aldo."

Emosi Alana tak bisa lagi dikendalikan. Ia berjalan menuju kamarnya, seraya menangis.

“Lo pengen hidup sendiri, kan? Itu berkas-berkas yang harus lo bayar perbulan, termasuk cicilan ni rumah. Di tambah lagi, biayain nyokap lo. Gue lepasin semuanya. Termasuk biaya hidup lo, gue enggak ngurus. Gue nggak akan lagi mau anggap lo termasuk mama. Gue nggak kuat lagi.”

Berpapasan dengan kedatangan Anggun.

“Anakku, baru pulang. Gimana tugasnya? Lancar?” Anggun memeluk Alana. “Mama baru pesen tas Branded, tolong bayarin ya. Mama juga sekarang mau jalan sama Papa Edwin. Juga, Mama minta bekel buat Mama jalan.”

Alana menatap tajam ke arah Edwin. “Di mana-mana, Cowok yang bayarin. Rendahan!" Alana melihat ke arah Aldo. "Mampu lo? Mampu biayain semuanya? Brengsek lo, Do."

“Kok gitu sih, sayang? Ada apa?"

“Maafin Alana, Alana udah enggak bisa buat tinggal sama-sama lagi.”

"Loh? Nggak bisa gitu dong. Kamu lupa? Mama yang udah besarin kamu ... Sudah seharusnya kamu membalas budi!”

Alana mengalihkan pandangannya seraya tersenyum murka. "Baru ngomong sekarang? Alana udah nggak butuh ucapan itu. Itu kalimat yang Alana butuhin dulu, bukan sekarang. Lepasin hidup Alana biar tenang."

Tatapan Alana sendu seraya menahannya untuk tidak menangis. “Anak bukan Investasi, pelajaran untuk Hanifa ke depannya.”

****

Bima sudah menunggunya di mobil, di depan rumah Alana. Bima terkejut melihat Alana dari kaca spion membawa koper yang besar sembari kesusahan membawanya.

“Berkas apa yang dia bawa? Banyak banget ... emangnya dia lagi nyelesain kasus apaan? Apa skripsinya nunggak?” Bima terus menebak-nebak seraya melihat Alana.

Bima membuka kaca mobilnya. Lalu, mengeluarkan kepalanya.

“Lama banget, gue udah nunggu setengah jam. Katanya harus gesit, lo sendiri yang lama. Itu lo bawa koper segede ondel-ondel bawa apa aja? Mau kemana? Mau pindah rumah lagi?"

Mata Alana terlihat sembab dan merah. “Buka bagasi,” ketus Alana.

Tanpa lama-lama, Bima langsung membuka bagasi mobilnya. Banyak pertanyaan di kepalanya mengenai Alana saat itu.

Alana terus berusaha mengangkat kopernya. Namun, tidak terangkat. Seraya sesekali mengelap air matanya. “Susah banget.”

Beberapa kali Alana terus berusaha. Namun, masih saja tidak terangkat. “Susah banget, kenapa gini doang susah banget.” Lalu, Alana menangis tersedu-sedu seraya menutup wajahnya.

Bima hanya memperhatikan Alana

dengan banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin Bima tanyakan. Namun, Bima takut pertanyaannya salah. Dengan ragu-ragu Bima bertanya. “M-mau gue bantu nggak, Na?” tanya Bima dengan polosnya.

Alana mengelap air matanya dan menatap tajam ke arah Bima. “Enggak usah, gue bisa sendiri.” Alana terus mencoba.

“Tapi kayaknya lo kesusahan. Mau ... mau di bantu gak?” suaranya semakin ciut. "Gue bantu ya?"

“Gue benci banget sama lo, Bim!"

****

“Ya tinggal bilang ‘tolong, Bim’ udah, selesai,” ucap Bima seraya menyetir.

“Anak kecil balita juga tau, Bima. Kalo tadi gue lagi murat-marit kesusahan angkat koper. Lo aja yang kurang kesadaran dalam hal menolong,” sahut Alana seraya menyilangkan kedua tangannya. "Aneh."

“Gak semua orang paham apa isi hati lo, Alana Athaya,” tukas Bima.

“Itu semua tadi bukan perihal tentang isi hati, Bima Argiantara! Tapi tentang kesadaran! Ya ... tanpa orang minta, kalo emang ada kesadaran dalam diri lo dan kalo orang lain lagi kesusahan dan kalo manusia punya hati yang baik, dia pasti bantu tanpa harus di minta. Manusia yang baik itu langsung ngelakuin, enggak usah nunggu orang lain minta dulu. Aneh banget!” jelas Alana.

“Ya ... orang kalo enggak di mintain tolong, bakalan bodoamat. Kenapa coba enggak minta tolong? Nyusahin hidup lo aja. Kalo ada apa-apa di luar batas kemampuan lo, ya tinggal minta tolong.”

“Pokonya pandangan dan pendirian gue tetep di ‘kesadaran’ pandangan lo terserah. Terserah Lo! Males banget debat masalah yang enggak penting. Udah lupain,” Alana mendelik malas.

Bima menatap Alana seraya tersenyum. Berusaha dengan tegar memahaminya. Bahwa, perempuan memang seperti itu. “Yaudah lupain. Jadi, apa strategi supaya kasus ini cepat terselesaikan?” kata Bima seraya menyetir.

Alana memasang raut wajah yang jutek dengan pandangannya ke arah kaca mobil. “Bukannya kemarin udah di jelasin?” ketus Alana.

Bima tersenyum seraya memandangi Alana. “Udah donggg, jangan personal, gue minta maaf. Jangan bawa masalah pribadi dong, katanya udah lupain aja, maaf,” kata Bima, berbicara pelan dan halus.

“Lah? Memangnya ada kalimat yang saya katakan perihal masalah pribadi? Lagi pula memangnya kita ada masalah? Kenapa minta maaf?” jawab Alana.

Bima menghela napas. “Kita langsung saja ke rumah Pak Sudi ya? Siapkan beberapa pertanyaan, agar tidak memakan waktu yang banyak. Kita bisa lebih fokus agar bukti semakin cepat terkumpulkan.”

“Baik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status