"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe.
"Kalo Bima berusaha jujur dan terbuka, ini semua nggak akan terjadi, Bim. Gue takut—" (ucap Alana terpotong Bima). "Takut apa? Takut gue pacaran sama yang lain? Egois banget. Lo itu aneh." Bima masih menatap Alana. Alana menatap Bima. Bima mengangkat satu alisnya seraya menatap tajam. "Gue takut kalo emang pikiran gue beneran terjadi ... kalo selama ini lo nggak pernah serius sama gue!" "Alasannya? Bisa, lo jelasin itu semua?" "Karena gue kurang worth it, untuk semua itu, Bim. Lo nggak akan paham." "Gue pernah ngatain lo kaya gitu?" "Kalo lo sayang sama gue, lo nggak akan pernah biarin gue tersiksa sama semuanya." Alana hendak pergi, namun Bima menahannya. "Lo gini terus, lo pikir nggak buat gue bertanya-tanya? Duduk!" "Lo selalu gantungin hubungan kita, lo pikir pikiran gue aman-aman aja? Gue capek Bim. Gue capek selalu hidup dalam ketakutan." "Dan itu nggak terjadi Alana. Masalahnya cuma ada di diri lo." Alana hendak pergi lagi-lagi Bima menahannya. "Terserah!" "Bisa ngga jelasin dulu semuanya? Duduk! Kebiasaan banget kalo ada masalah suka nggak mau beresin," ucap Bima seraya menghela napas. "Semua unek-uneknya keluarin." "Dengan semua ketakutan gue, lo masih nggak paham? Dan lo tanya itu? Kalo lo beneran care selama ini, lo nggak akan biarin gue mengeklaim bahwa pikiran buruk gue itu bener. Lo nggak bilang hal-hal kecil berarti terbukti bahwa lo bukan orang yang terbuka. Kemungkinan besar selingkuh, berpaling, kan? Gue minta satu, tolong jujur kalo emang lo udah hilang respect ke gue, biar gue tau, hal apa yang harus gue lakuin." Alana menarik napasnya seraya menahan air matanya yang hendak keluar. "Sekarang lo dinner bareng orang lain, apa nggak sakit hati gue, Bim? Sekarang, mau apa? Penjelasan gue dan lo cuma sebatas menjelaskan bahwa ini nggak ada apa-apa. Sedangkan Adelio? Mila? Gimana?" Bima hanya menatap Alana sendu. "Gimana sekarang? Lo sayang sama Adelio?" Seketika itu, Alana menundukkan kepalanya seraya menangis. "Lo sayang sama Adelio, Na?" Bima terdiam menatap Alana dengan hati yang hancur. "Terus gue gimana?" "Maaf, Bim. Gue emang bodoh." Alana menangis tanpa henti. Bima menghampiri Alana seraya merendahkan diri dihadapan Alana. "Gue mohon, tetep jadi sahabat kecil yang gue kenal, Alana." Bima menjatuhkan dirinya seraya menangis memeluk Alana. "Sakit, Na." **** "Sayangg, happy anniversary yang ke 3 tahun ... aku bawa hadiah buat kamu." Suasana di kafe dengan pemandangan pantai. Suasana angin berhembus lembut. Diikuti suara ombak, membuat semuanya menjadi kontras. "Apaa??" tanya Alana dengan gembira. "Tutup matanya. Tunggu sebentar." Adelio mengambil buket bunga dari bagasi mobil. Sembari menutup matanya, hati Alana begitu bahagia menunggu hadiah dari Adelio. "Lama banget." Tak lama suara Adelio terdengar lagi. "Aku hitung sampai tiga, kamu buka matanya." Dengan buket bunga mawar yang sudah berada di pangkuannya. "Oke, sayangg." Rasanya tak sabar Alana menunggu hadiah kesekian kalinya dari Adelio. Pembuktian cinta Adelio akan Alana sangat terbukti dan menggebu. "Satu." "Dua." "Tiga." Dengan perlahan Alana membuka matanya. Samar-samar Adelio telah menyapa dengan raut wajah bahagia seraya membawa buket bunga. "Haahahha, omg! Thank u, bim ... babyyy!" Alana langsung memeluk Adelio. Di Pelukan Alana, Adelio terdiam. "Bim?" "Emh ... Lidah aku keseleo tadi, tadinya aku mau bilang 'babyy' ... aku punya sesuatu buat kamu juga." "Omg!! Ayolah beib. Hahahaha, apanih." "Tunggu ...." Alana mengambil sesuatu di tasnya. "Ini nggak seberapa. Tapi, aku harap kamu suka." "Omgg!! Ini jam tangan yang aku mau. Thank u beib!" Adelio mencium kening Alana. Mereka berbincang-bincang, canda tawa yang saling dilontarkan, begitu bahagia kehidupan Alana dan Adelio saat itu. "Aku ke kamar mandi dulu ya, kalo mau pesen makanan lagi, tinggal pesen aja." "Okee honey." Adelio pergi meninggalkan Alana saat itu. Tentunya Alana menikmati suasana pantai seraya meneguk honey lemon kesukaannya. Handphone Adelio berdering. Alana melihat nama dari penelepon. "Tukang service handphone?" Alana terus berpikir keras. "Ada keperluan apa? Apa ada barang yang Adelio service ya?" Lagi-lagi telepon Adelio berdering kembali. Karena Alana merasa panggilan itu penting, Alana mengangkatnya. "Sayanggg, kok lama banget angkatnya." Mendengar itu Alana reflek menjauhkan dari telinganya. "Sayangggg!!! Kamu lagi dimana sih?" "Sayanggg!!!! Aku ngambek nih!" "Ha-halo? Ini siapa?" ucap Alana. "Ini siapa?? Kok handphone Adelio bisa di tangan lo!!" Hati Alana begitu remuk mendengarnya. Alana menarik napasnya dengan berat. "Saya kakaknya. Ada apa?" "Omgg!" Perempuan itu membenahi suaranya. "Ekhemm." "Ada apa?" tanya Alana lagi. "Maaf kak, sore ini aku bakalan jalan sama Adelio. Adelionya kemana?" Alana melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas. "Nanti saya sampaikan." Alana menutup teleponnya. Dan menyimpan handphone Adelio ketempat semula. Tak lama Adelio kembali. "Hai sayangkuuu, maaf lama banget ya nunggu." Alana hanya menatap Adelio seraya tersenyum menikmati minumannya. "Jadi sampai mana kita?" tanya Adelio lagi. "Emm ... sore bisa anter aku beli baju nggak?" Adelio berpikir. "Aduh, aku ada jadwal lain. Besok aja gimana?" "Kemana?" "Aku ada reunian temen sekolah, pasti pulang malem. Aku juga jaga malam hari ini. Sebentar lagi kita pulang, gapapa, kan?" jelas Adelio. "Oalah, ada pasien." Alana mengaduk-aduk minumannya. "3 tahun masih juga melakukan hal yang sama ya? Satu kali, dua kali, tiga kali, masih aja aku maafin. Sekarang? Lagi?" Alana tersenyum. "Maksudnya?" "Aku pulang sekarang deh, udah dijemput Lili juga." Alana memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. "Itu bunga bawa aja buat 'tukang service' di daftar kontak lo." "Loh? Na? Tunggu, aku bisa jelasin." Adelio menghalangi jalan Alana. "Aku, bisa jelasin semuanya sayangku." "Omong kosong." Alana masih dalam pendiriannya, Ia pergi meninggalkan Adelio. Lagi-lagi Adelio berusaha menghalanginya. "Aku minta maaf, kasih aku terakhir kesempatan lagi." Pelukan Adelio langsung menyelimuti Alana. "Maaf, aku dipaksa Mama. Buat save nomor Fira. Tapi aku benci banget dan gamau. Aku juga selalu dimarahin untuk ganti namanya sama Mama, tapi aku tetep nggak mau." Alana terdiam menatap Adelio. "Berulang kali ya Adelio, aku kasih kesempatan ke kamu. Tapi buktinya?" "Iya maaf sayangkuu, aku punya something." Adelio mengeluarkan kotak cincin berlian dari jaketnya. "Kali ini aku emang beneran mau serius sama kamu." Cincin itu diberikan ke jari manis Alana. "Tapi tunggu aku 2 tahun lagi. Ini ngiket kamu aja, supaya kamu nggak sama orang lain." Alana lagi-lagi memaafkan tingkah Adelio. 'Mungkin kali ini Adelio benar-benar berubah'.Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya. Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku me
Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. “Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!" Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.” Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12
Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Secara langsung, mengotopsi jenazah. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya seraya batuk-batuk. "Rumah s
Setelah berpikir dan memilih tempat tinggal. Malam itu, Alana memilih tinggal di Apartemen. Alana sudah memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan lepas tanggung jawab. Hanya saja, di dalam posisinya, Alana selalu berkelahi dengan pikirannya. Tidak mudah jika harus bersama-sama lagi. Alana berdiam diri seraya melihat lampu kota yang sangat indah di Rooftop, seraya meminum Americano kesukaannya. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana melihat siapa yang meneleponnya. "Dia lagi." Alana lalu mengangkat teleponnya. "Apa?" tanya Alana. "Nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim. Enggak mood gue, lanjut aja," jawab Alana. "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa."Enggak," kekeh Alana. "Mau di beliin apa?" "Enggak, Bim." "Gue beliin laptop baru, ayo dong," pinta Bima lagi. "Enggak, Bimaa. Sama crush lo aja sana. Gue lagi mau sendiri." "Gitu banget, ayo dong cantikku," pinta Bima lagi.Bima terus
Malam itu, diparkiran mobil. Air mata Bima yang menetas tak bisa Bima pendam. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. Amarah Bima semakin detik semakin membara. Melihat tingkah Adelio yang memainkan perasaan Alana. "Mati lo!" Satu pukulan yang menghantam pipi kiri Adelio. Begitu pun, Adelio membalas pukulan Bima.Alana terus berusaha untuk menghentikan aksi Bima. Sedangkan, perempuan itu berusaha menghentikan aksi Adelio. Dan ya, Bima dan Adelio penuh luka lebam dan darah di wajahnya. Alana beberapa kali menenangkan bahkan memisahkannya. Namun, nihil dan sangat mustahil. Tubuhnya yang kecil, jelas jauh berbeda dengan Bima dan Adelio. Namun, seketika Bima bisa tenang saat mendengar Alana mengatakan. "Bima! Lupain Alana." Dan Adelio tenang karena kekasihnya yang melakukannya.Alana menatap wajah Adelio dengan penuh kesedihan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Terlihat Alana yang berusaha menahan tangisnya. "Jadi gimana, Adelio?" T
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi."Di hari liburnya, Alana sedang merapikan kamarnya. "Bim, sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja," gerutu Alana, seraya berjalan menuju dapur untuk menata beberapa barang yang berantakan. Sedangkan Bima, terus mengikuti Alana seperti Anak yang terus mengikuti Induknya. "Ayo jogging, Na," ajak Bima. Sudah menggunakan style olahraga serba hitam, terlihat gagah dan tampan. Siapa pun yang melihatnya pasti sangat terpesona dengan pesona Bima, terkecuali Alana. "Sendiri aja, gue sibuk," ketus Alana seraya menata telur di kulkas. Bima menghalangi jalan Alana. "Lo pasti gabut kan di Apartemen sendirian? Mending jogging, bikin sehat juga." "Gue udah sehat." Alana menunjukkan otot lengannya. Bima menyipitkan kedua matanya. "Mana? Itu lemak sama kadar air. Kaya balon di kasih air," ejek Bima. "Syalan!" ketus Alana seraya men
Alana melihat keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas yang di temukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang yang mengenalnya, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan, karena terlihat rambutnya yang mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberap
"Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima."Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi."Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili."Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar.""Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana."Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso."Bima menimpal. "Atau le