Share

2. Perginya Cinta Pertama Alana

Brughh!!!!

“Papa!” jerit Alana.

Tubuhnya tersungkur dan terjatuh dalam kerikil.

“Hahahhah, maaf ... enggak liat!” ejek Haidan. Ia mendorong Alana hingga terjatuh. “Nangis nih pasti! Dasar cengeng,” ejeknya lagi.

Mendengar itu, jiwa kecil Alana langsung bertekad untuk menjadi anak yang kuat. Alana teringat dengan anak lelaki itu. Yang dimana, Anak lelaki itu tidak mau berteman dengan anak yang lemah seperti Alana.

Alana berdiri tak peduli pada luka yang Haidan beri. Alana berjalan dengan kepalan di tangannya.

Raut wajah Alana penuh dengan kemurkaan.

Anak kecil dengan tubuh yang mungil, berambut panjang dan berponi itu, kini menjalankan aksinya. “Sini kamu!” Tonjokkan dari tangan mungilnya berhasil mendarat di daerah hidung Haidan.

Buggggg

“Makanya! Ini balasan dari Alana! Kalo kamu ganggu Alana lagi, Alana jedotin palanya! Alana bakalan bawa batu yang besar, sebesar badan kamu!” Seraya menunjuk-nunjuk Haidan. “Nangis! Nangis kamu! Sana! Padahal Alana juga pelan,” seru Alana.

Haidan menatap tajam Alana seraya menahan hidungnya yang sakit.

Alana mengancam untuk memukulnya lagi dengan posisi tangan hendak menonjok. “Alana pukul nih!” Alana tetap pada posisinya dengan ancang-ancang. “Alana pukul lagi ya?!”

Mendengar itu, Haidan merasa harga dirinya terinjak oleh Alana. Rasa ingin terpuji kini telah tercoreng di hadapan teman-temannya. Raut wajahnya berubah menjadi cemberut dengan napas yang terengah-engah, tanpa aba-aba Haidan hendak mendorong Alana dengan kencang. Namun, Alana langsung menendang kemaluan Haidan.

'Heg.' Haidan langsung memegang kemaluannya.

Raut wajahnya menahan sakit. Haidan terdiam, lalu, Ia menangis.

“Rasain! Makanya jangan remehin Alana lagi!” Alana dengan polosnya tidak tahu apa yang telah Alana tendang. Alana hanya merasa puas karena melihat Haidan merasakan kesakitan sama halnya dengan yang Haidan lakukan terhadapnya, nama lainnya impas.

“Awas ya! Ini terakhir kamu gangguin Alana! Alana sekarang bisa buat kamu lebih sakit lagi! Awas aja!” ancam Alana. Alana pergi meninggalkan Haidan yang kesakitan. "Alana copotin semua gigi kamu!"

Karena hari semakin gelap, Alana memutuskan untuk pulang ke rumahnya.

Seraya bersenandung lagu anak, Alana merasa puas karena telah berhasil melawan Haidan.

Dari kejauhan terlihat banyak sekali orang-orang dan banyaknya karangan bunga yang terpajang di depan rumah.

"Ada apa? Kok ada taman bunga, sih?" Alana meneruskan langkahnya untuk mengetahui apa yang telah terjadi.

Terlihat Anggun sedang menangisi seseorang yang berada di tandu hendak dimasukkan ke dalam mobil ambulans.

“Mama? Kenapa? Papa mana?” tanya Alana dengan polosnya.

Sedangkan Anggun hanya melirik tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Orang-orang kenapa sih?" ucap Alana lagi, seraya menatap penasaran ke arah tandu.

Hingga, Alana tersadar. Kain putih yang menutupi seseorang di dalam itu, terdapat bercak-bercak darah.

“Kenapa ada pewarna makanannya, Mama?” tanya Alana lagi, seraya memegang bercak darah itu.

Rasa penasaran Alana itu terus membara. Alana masih penasaran dan terus menanyakan pertanyaan yang berada di dalam pikirannya.

Karena, di dalam pikiran Alana masih ingin membuktikan bahwa Alana adalah anak yang pemberani. Alana akan melakukan apa pun itu dengan berani. Alana tidak ingin kalah dengan rasa penasarannya. Tanpa lama-lama, Alana menyingkirkan kain penutup yang menutupi raga seseorang itu. Hingga akhirnya, Alana terdiam tak menyangka. Ketika melihat cinta pertamanya terbaring kaku tak berdaya. Raganya yang mengenaskan dan wajahnya yang begitu pucat. Namun, darah terus mengalir dari setiap lubang telinga dan hidungnya. Hal itu, membuat Alana tak mampu memalingkan pandangannya, Alana terus menatapnya. Cinta pertamanya, seseorang yang begitu dekat dengan Alana, selalu menyemangati Alana, menyayangi Alana, kini sudah tiada dengan raganya yang memprihatinkan.

“Pa–pa.” Bahkan, ketika mengucapkan kalimat itu pun, tak mampu lagi bersuara.

Alana terdiam, menatap.

Raga dan jiwa kecil anak perempuan itu sedang bergelut dengan pikirannya.

Tercambuk dan di seret oleh keadaan. Berharap semua ini hanya mimpinya yang indah. Bahkan, Alana terkejut karena mendapati mimpi yang menyeramkan. Betapa sakit rasanya, ketika Alana menyadari bahwa ini semua adalah kenyataan.

****

“Alana.” Terdengar suara remang-remang seseorang dari kejauhan. Seseorang menepuk-nepuk pipinya dan berusaha membangunkannya.

Hingga, Alana membuka matanya sedikit demi sedikit. Pandangan Alana begitu kabur. Alana berusaha mengingat apa yang telah terjadi saat ini.

Pandangannya semakin jelas berbarengan dengan ingatannya yang telah kembali. Seketika semuanya kembali dalam ingatannya, Alana menangis dengan sejadi-jadinya. Alana mengeluarkan semua emosinya yang terpendam. Menjerit hingga sesak, mengeluarkan semua tenaganya hingga lelah, menangis terisak-isak. Hingga, menyakiti dadanya. Semua itu Alana tidak bisa dan tidak mampu untuk mengontrolnya.

Dekapan Anggun pun tak mampu meredakannya. “Alana, enggak boleh kaya gini. Alana kan anak baik.” Anggun terus berusaha supaya Alana bisa menerima yang telah terjadi. “Papa enggak suka loh, kalo Alana kaya gini.”

Dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Semakin Anggun memberitahu untuk menerimanya, Alana semakin tidak mempercayainya dan mengamuk. “Papa enggak boleh pergi!” Kalimat yang terus Alana lontarkan. “Papa enggak boleh ninggalin Alana!”

“Alana.” Anggun tak henti mendekap tubuh mungil Alana. “Ada Mama ... dunia memang seperti ini. Alana enggak boleh kaya gini. Mama di sini.”

Energinya semakin detik semakin habis terkuras. Hanya tersisa rasa letih dan senggukan yang tak bisa terhenti. Bahkan, kejadian itu terus mengelilingi pikiran Alana. Namun, Alana sudah tidak bisa melerai lagi.

****

Suasana pemakaman telah berlangsung. Terlihat rasa letih dan sakit yang mendalam di raut wajah Alana.

Anak kecil berusia tujuh tahun itu, kini sedang di titik paling rendah dan hancur. Hanya terdiam, melihat batu nisan. Yang di mana kini Alana sedang menyemangati dirinya sendiri. Bahwa, jarak dengan Papanya tidaklah jauh. Hanya sebatas bahwa Alana sedikit lebih di atas.

Bahkan, saat itu Alana tidak ingin pulang. Karena, jika Alana pulang jarak dengan Papanya semakin menjauh, pikirnya begitu.

“Ayo pulang, Alana.” Anggun terus membujuk Alana dengan lembut. “Alana, tapi Papa pengen Alana pulang dan jadi anak yang baik. Kata papa, Alana harus jadi anak yang kaya gimana?”

“Pemberani.” Jawaban itu Alana katakan seraya sesenggukan yang tak kunjung hilang.

“Yash ... pemberani. Bahwa, Alana harus bisa tanpa Papa dan menjadi seseorang yang berani. Mama bisa kok jadi sosok Mama sekaligus Papa. Alana enggak akan sendirian. Tugas Alana sekarang jadi anak yang?”

“Pemberani!” Kini Alana sudah sedikit terobati. Kini, Anggun berhasil untuk membujuknya pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status