Share

Misteri Kematian di Kota Hema
Misteri Kematian di Kota Hema
Penulis: Peony's

1. Kala Itu

Sekumpulan anak lelaki menertawakan. “Yahahahahh kalo kamu bisa ambil sendal di pohon itu, kita enggak akan lagi gangguin kamu lagi,” jelas Haidan.

Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Haidan sangat nakal dan sangat nekat. Apalagi, untuk anak penakut dan lemah seperti Alana.

Alana terus berupaya mengambil sendalnya yang Haidan lemparkan. Hingga memanjat-manjat pohon. Namun, tetap saja tidak terambil.

“Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” tutur Haidan menjahili Alana.

“Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan).

“Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sendal satunya dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa!”

“Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!”

“Karena gue benci sama lo. Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan dan teman-temannya pergi.

Namun, seseorang melemparkan batu ke arah Haidan dan teman-temannya.

Hingga, tepat sasaran mengenai kepala.

“Aw!” Haidan melihat ke arah lemparan batu itu dilemparkan. “Woi! Keluar lo kalo berani!”

Seorang anak lelaki dengan saku yang dipenuhi oleh batu, keluar dari semak-semak yang tak jauh dari mereka. “Ngapain? Berani lo? Sini maju!” Anak kecil itu melemparinya batu dari sakunya. “Maju lo!”

"Aduh! Aduh!"

"Aduh!"

“Awas ya!” Membuat Haidan dan teman-temannya mau tidak mau harus berlari menghindari lemparan batu.

Anak lelaki itu terus mengamati Haidan dan teman-temannya berlari. Kini sekumpulan Anak nakal itu sudah mulai menjauh dari pandangannya. Lalu, Ia melihat ke arah Alana. “Lagian ngapain sih kamu diem aja? Kan bisa lawan mereka, emang lemah.”

“Siapa sih kamu?” tukas Alana, seraya mengelap air matanya.

“Lain kali lawan aja. Jadi perempuan lemah banget. Tinggal ambil batu, lempar.”

Anak laki-laki itu mengambilkan kedua sendal Alana yang di lempar Haidan. "Nih pake lagi." Lalu Ia berjalan mengambil sepedanya di semak-semak tepat di depan Alana.

“Dari tadi kamu di situ kok baru bantuin Alana?” tanya Alana.

“Males.” Ia masih sibuk membersihkan sepedanya yang penuh dengan rerumputan. Lalu, Ia pergi tanpa basa-basi.

Alana penasaran. Ia mengikuti anak lelaki itu dari belakang seraya memberikan pertanyaan yang berada di dalam pikirannya.

“Kok Alana nggak pernah liat kamu?”

Anak lelaki itu terus berjalan dengan menuntun sepedanya tanpa menjawab pertanyaan Alana.

“Kok kamu nggak jawab? Alana punya salah, ya?”

Anak Lelaki itu masih melakukan hal yang sama.

“Kamu rumahnya di mana?”

Anak lelaki itu menghentikan langkah kakinya. “Kenapa?”

Alana tersenyum manis seraya bertanya. “Kita boleh temenan, kan?” sambil mengajaknya bersalaman.

Anak Lelaki itu berjalan lagi meninggalkan Alana. “Enggak. Gue nggak mau punya temen yang lemah.” Jawaban yang terucap dari anak lelaki itu cukup membuat Alana ingin menangis.

“Alana nggak lemah!” Lalu, di iringi dengan tangisan.

Tanpa menoleh Ia berucap. “Buktinya lo nangis, kan? Ya berarti lo lemah. Cengeng!”

Sedangkan itu, Alana masih menangis seraya menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

****

Hari lain, Alana sedang bermain di lapangan perumahan yang tidak jauh dari rumahnya.

Alana sedang bermain masak-masakan.

"mau beli berapa? Tunggu yaa," ucap Alana, berimajinasi sedang melayani pembeli.

Alana menjadikan sendalnya sebagai tempat duduknya. Dan juga, memang tidak ada anak perempuan seusianya, membuat Alana selalu bermain seorang diri. Tidak memiliki teman, aktivitas sehari-harinya Alana selalu habiskan dengan bermain di lapangan.

“Beli berapa? Satu ya? Oke tunggu ya, harap antri,” kata Alana lagi.

Percakapan itu terdengar oleh Haidan dan teman-temannya. Dari kejauhan mereka sudah berniat ingin mengganggunya.

“Idih si gila. Ngomong sendiri,” kata Andre, di barengi tawa teman-temannya.

Haidan menimpal. “Enggak punya temen sampe gila gini, hahahaha."

Awalnya Alana mulai takut dan berniat untuk pulang kembali ke rumahnya. Namun, tiba-tiba teringat anak lelaki itu yang tidak mau berteman dengan Anak lemah. Hal itu membuat rasa berani dalam diri Alana mulai muncul.

Haidan melihat kedua sendal Alana yang tergeletak di hadapannya. Melihat itu tentunya Haidan merasa bahagia. Lalu Haidan mengambil dan mengejek Alana. “Yeyeyeyey! Ambil kalo berani!”

Dengan tatapan yang tajam, Alana membalikkan badannya seraya berjalan menuju rumah. “Ambil aja. Sendalnya juga udah jelek, hitam dan buluk. Kalo kamu mau ambil, silakan. Sekalian cuci sana,” ketus Alana seraya menyilangkan kedua tangannya dan tetap terus berjalan.

Mendengar jawaban Alana, Haidan sangat terpukul. Karena harapannya terhadap Alana dengan kenyataan sangat jauh berbeda. Haidan berharap Alana akan menangis.

"Nih satu lagi." Alana melempar sendal satunya lagi. "Makan tuh sendal! Nggak punya uang buat beli sendal, ya? Kasian."

Haidan terkejut karena Alana baru pertama kali melakukan hal seperti itu, setelah sekian lama Haidan menjahili Alana.

Haidan tak terima. “Yaudah sendal kamu aku buang! Biar tau rasa.”

Alana menghiraukan perkataan Haidan.

“Sendal kamu udah aku buang!!!” teriak Haidan.

Alana membuka pagar rumahnya, lalu berbalik. “Berisik! Buang aja!” Lalu, Alana masuk ke dalam rumahnya.

****

"Jadi, bebek itu nggak punya teman seperti Alana ya, Papa?" tanya Alana polos, ketika Fadli selesai membacakan buku cerita sebelum tidur.

Fadli menatap Alana. "Beda dong, Nak."

"Bedanya apa? Sama-sama kesepian dan sedih, Alana juga rasain itu, Papa."

Fadli tersenyum. "Tapi, bebek itu nggak punya Papa yang sayang seperti Papa ke Alana ... nggak punya Mama yang tulus seperti Mama ke Alana."

"Bebek itu kasian ya, Pa." Alana menatap wajah Fadli. "Papa ... papa bakalan tinggalin Alana, nggak?" Alana menunjuk gambar bebek. "Mamanya kan udah pergi, Papanya juga ... Mama kan sering kerja, Papa kerja juga, tapi sering main sama Alana. Kalo Papa pergi, Alana gimana?"

"Nggak dong sayang."

****

Alana mencari Anak Lelaki itu lagi. Tetapi tetap saja sulit untuk ditemukan.

Matahari sudah berada di barat. Keindahannya, akan di ganti dengan gelapnya malam. Di kepergiannya, Ia akan selalu tetap membentuk lingkar yang indah.

Alana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pencariannya dan pulang menuju rumahnya.

Berjalan seorang diri seraya berandai-andai untuk bisa dekat dengan anak lelaki itu. Karena, bila di dekatnya Alana merasa aman.

Melihat anak-anak bercanda ria, bermain sarung di masjid dengan tawaan yang begitu lepas membuat Alana sangat iri melihatnya.

“Kapan ya ... Alana kan juga pengen punya temen,” kata Alana seraya mengayunkan kedua tangannya. "Kenapa sih nggak ada yang mau jadi temen Alana. Alana kan juga nggak nakal."

Alana berjalan menuju rumah dengan pandangan yang tak kunjung lepas memandang anak-anak yang lain.

Brughh!!!!

“Papa!” jerit Alana dengan tubuhnya yang tersungkur dan terjatuh dalam kerikil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status