Sekumpulan anak lelaki menertawakan. “Yahahahahh kalo kamu bisa ambil sendal di pohon itu, kita enggak akan lagi gangguin kamu lagi,” jelas Haidan.
Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Haidan sangat nakal dan sangat nekat. Apalagi, untuk anak penakut dan lemah seperti Alana.Alana terus berupaya mengambil sendalnya yang Haidan lemparkan. Hingga memanjat-manjat pohon. Namun, tetap saja tidak terambil.“Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” tutur Haidan menjahili Alana.“Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan).“Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sendal satunya dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa!”“Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!”“Karena gue benci sama lo. Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan dan teman-temannya pergi.Namun, seseorang melemparkan batu ke arah Haidan dan teman-temannya.Hingga, tepat sasaran mengenai kepala.“Aw!” Haidan melihat ke arah lemparan batu itu dilemparkan. “Woi! Keluar lo kalo berani!”Seorang anak lelaki dengan saku yang dipenuhi oleh batu, keluar dari semak-semak yang tak jauh dari mereka. “Ngapain? Berani lo? Sini maju!” Anak kecil itu melemparinya batu dari sakunya. “Maju lo!”"Aduh! Aduh!""Aduh!"“Awas ya!” Membuat Haidan dan teman-temannya mau tidak mau harus berlari menghindari lemparan batu.Anak lelaki itu terus mengamati Haidan dan teman-temannya berlari. Kini sekumpulan Anak nakal itu sudah mulai menjauh dari pandangannya. Lalu, Ia melihat ke arah Alana. “Lagian ngapain sih kamu diem aja? Kan bisa lawan mereka, emang lemah.”“Siapa sih kamu?” tukas Alana, seraya mengelap air matanya.“Lain kali lawan aja. Jadi perempuan lemah banget. Tinggal ambil batu, lempar.”Anak laki-laki itu mengambilkan kedua sendal Alana yang di lempar Haidan. "Nih pake lagi." Lalu Ia berjalan mengambil sepedanya di semak-semak tepat di depan Alana.“Dari tadi kamu di situ kok baru bantuin Alana?” tanya Alana.“Males.” Ia masih sibuk membersihkan sepedanya yang penuh dengan rerumputan. Lalu, Ia pergi tanpa basa-basi.Alana penasaran. Ia mengikuti anak lelaki itu dari belakang seraya memberikan pertanyaan yang berada di dalam pikirannya.“Kok Alana nggak pernah liat kamu?”Anak lelaki itu terus berjalan dengan menuntun sepedanya tanpa menjawab pertanyaan Alana.“Kok kamu nggak jawab? Alana punya salah, ya?”Anak Lelaki itu masih melakukan hal yang sama.“Kamu rumahnya di mana?”Anak lelaki itu menghentikan langkah kakinya. “Kenapa?”Alana tersenyum manis seraya bertanya. “Kita boleh temenan, kan?” sambil mengajaknya bersalaman.Anak Lelaki itu berjalan lagi meninggalkan Alana. “Enggak. Gue nggak mau punya temen yang lemah.” Jawaban yang terucap dari anak lelaki itu cukup membuat Alana ingin menangis.“Alana nggak lemah!” Lalu, di iringi dengan tangisan.Tanpa menoleh Ia berucap. “Buktinya lo nangis, kan? Ya berarti lo lemah. Cengeng!”Sedangkan itu, Alana masih menangis seraya menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.****Hari lain, Alana sedang bermain di lapangan perumahan yang tidak jauh dari rumahnya.Alana sedang bermain masak-masakan."mau beli berapa? Tunggu yaa," ucap Alana, berimajinasi sedang melayani pembeli.Alana menjadikan sendalnya sebagai tempat duduknya. Dan juga, memang tidak ada anak perempuan seusianya, membuat Alana selalu bermain seorang diri. Tidak memiliki teman, aktivitas sehari-harinya Alana selalu habiskan dengan bermain di lapangan.“Beli berapa? Satu ya? Oke tunggu ya, harap antri,” kata Alana lagi.Percakapan itu terdengar oleh Haidan dan teman-temannya. Dari kejauhan mereka sudah berniat ingin mengganggunya.“Idih si gila. Ngomong sendiri,” kata Andre, di barengi tawa teman-temannya.Haidan menimpal. “Enggak punya temen sampe gila gini, hahahaha."Awalnya Alana mulai takut dan berniat untuk pulang kembali ke rumahnya. Namun, tiba-tiba teringat anak lelaki itu yang tidak mau berteman dengan Anak lemah. Hal itu membuat rasa berani dalam diri Alana mulai muncul.Haidan melihat kedua sendal Alana yang tergeletak di hadapannya. Melihat itu tentunya Haidan merasa bahagia. Lalu Haidan mengambil dan mengejek Alana. “Yeyeyeyey! Ambil kalo berani!”Dengan tatapan yang tajam, Alana membalikkan badannya seraya berjalan menuju rumah. “Ambil aja. Sendalnya juga udah jelek, hitam dan buluk. Kalo kamu mau ambil, silakan. Sekalian cuci sana,” ketus Alana seraya menyilangkan kedua tangannya dan tetap terus berjalan.Mendengar jawaban Alana, Haidan sangat terpukul. Karena harapannya terhadap Alana dengan kenyataan sangat jauh berbeda. Haidan berharap Alana akan menangis."Nih satu lagi." Alana melempar sendal satunya lagi. "Makan tuh sendal! Nggak punya uang buat beli sendal, ya? Kasian."Haidan terkejut karena Alana baru pertama kali melakukan hal seperti itu, setelah sekian lama Haidan menjahili Alana.Haidan tak terima. “Yaudah sendal kamu aku buang! Biar tau rasa.”Alana menghiraukan perkataan Haidan.“Sendal kamu udah aku buang!!!” teriak Haidan.Alana membuka pagar rumahnya, lalu berbalik. “Berisik! Buang aja!” Lalu, Alana masuk ke dalam rumahnya.****"Jadi, bebek itu nggak punya teman seperti Alana ya, Papa?" tanya Alana polos, ketika Fadli selesai membacakan buku cerita sebelum tidur.Fadli menatap Alana. "Beda dong, Nak.""Bedanya apa? Sama-sama kesepian dan sedih, Alana juga rasain itu, Papa."Fadli tersenyum. "Tapi, bebek itu nggak punya Papa yang sayang seperti Papa ke Alana ... nggak punya Mama yang tulus seperti Mama ke Alana.""Bebek itu kasian ya, Pa." Alana menatap wajah Fadli. "Papa ... papa bakalan tinggalin Alana, nggak?" Alana menunjuk gambar bebek. "Mamanya kan udah pergi, Papanya juga ... Mama kan sering kerja, Papa kerja juga, tapi sering main sama Alana. Kalo Papa pergi, Alana gimana?""Nggak dong sayang."****Alana mencari Anak Lelaki itu lagi. Tetapi tetap saja sulit untuk ditemukan.Matahari sudah berada di barat. Keindahannya, akan di ganti dengan gelapnya malam. Di kepergiannya, Ia akan selalu tetap membentuk lingkar yang indah.Alana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pencariannya dan pulang menuju rumahnya.Berjalan seorang diri seraya berandai-andai untuk bisa dekat dengan anak lelaki itu. Karena, bila di dekatnya Alana merasa aman.Melihat anak-anak bercanda ria, bermain sarung di masjid dengan tawaan yang begitu lepas membuat Alana sangat iri melihatnya.“Kapan ya ... Alana kan juga pengen punya temen,” kata Alana seraya mengayunkan kedua tangannya. "Kenapa sih nggak ada yang mau jadi temen Alana. Alana kan juga nggak nakal."Alana berjalan menuju rumah dengan pandangan yang tak kunjung lepas memandang anak-anak yang lain.Brughh!!!!“Papa!” jerit Alana dengan tubuhnya yang tersungkur dan terjatuh dalam kerikil.Brughh!!!!“Papa!” jerit Alana.Tubuhnya tersungkur dan terjatuh dalam kerikil. “Hahahhah, maaf ... enggak liat!” ejek Haidan. Ia mendorong Alana hingga terjatuh. “Nangis nih pasti! Dasar cengeng,” ejeknya lagi. Mendengar itu, jiwa kecil Alana langsung bertekad untuk menjadi anak yang kuat. Alana teringat dengan anak lelaki itu. Yang dimana, Anak lelaki itu tidak mau berteman dengan anak yang lemah seperti Alana. Alana berdiri tak peduli pada luka yang Haidan beri. Alana berjalan dengan kepalan di tangannya. Raut wajah Alana penuh dengan kemurkaan.Anak kecil dengan tubuh yang mungil, berambut panjang dan berponi itu, kini menjalankan aksinya. “Sini kamu!” Tonjokkan dari tangan mungilnya berhasil mendarat di daerah hidung Haidan.Buggggg“Makanya! Ini balasan dari Alana! Kalo kamu ganggu Alana lagi, Alana jedotin palanya! Alana bakalan bawa batu yang besar, sebesar badan kamu!” Seraya menunjuk-nunjuk Haidan. “Nangis! Nangis kamu! Sana! Padahal Alana juga pelan,” seru Alana.Haidan
“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan. Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya. “Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu. “Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana. “Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat. “Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima. “Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana. Masih dengan bujukann
"Gimana Bim?? Lolos nggak?" Harapan yang berbinar terlihat dari mata cantik Alana.Alana telah diterima di perguruan tinggi yang Ia tuju. Sekarang, Alana sedang menunggu kabar baik dari Bima yang mengikuti Tes Kepolisian Bima terdiam menatap Alana."Yahh?? Nggak ya?" Alana menepuk-nepuk pundak Bima seraya memeluknya. "Jangan nyerah, Bim! Ayo berjuang lagi!"Raut wajah Bima berubah seketika menjadi ceria. "Panggil gue Pakpol sekarang!"Mendengar itu, suara hening kini berubah. Alana menutup mulutnya. "Omg... proud of you! Bima yang wangi!" seru Alana seraya memeluk tubuh Bima."Makacii banyakk ... eh, wangi doang? Gantengnya nggak?!!""Iya ganteng ... tapi banyakan wanginya.""Hahahah sialan emang orang cantik ini. Mau apa?" Bima mendongakkan kepalanya. "Apanya?""Gue kan lagi seneng ... jadi lo harus ikut ngerasain ... mau transfer atau cash?"****4 tahun kemudian ...Video call berlangsung."Bima, kangenn bangettt. Ayo ketemu!! Minggu gue wisuda!! Harus dateng yaaa.""Gue juga pel
"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe. "Kalo Bima berusaha jujur dan terbuka, ini semua nggak akan terjadi, Bim. Gue takut—" (ucap Alana terpotong Bima). "Takut apa? Takut gue pacaran sama yang lain? Egois banget. Lo itu aneh." Bima masih menatap Alana. Alana menatap Bima. Bima mengangkat satu alisnya seraya menatap tajam. "Gue takut kalo emang pikiran gue beneran terjadi ... kalo selama ini lo nggak pernah serius sama gue!" "Alasannya? Bisa, lo jelasin itu semua?" "Karena gue kurang worth it, untuk semua itu, Bim. Lo nggak akan paham." "Gue pernah ngatain lo kaya gitu?" "Kalo lo sayang sama gue, lo nggak akan pernah biarin gue tersiksa sama semuanya." Alana hendak pergi, namun Bima menahannya. "Lo gini terus, lo pikir nggak buat gue bertanya-tanya? Duduk!" "Lo selalu gantungin hubungan kita, lo pikir pikiran gue aman-aman aja? Gue capek Bim. Gue capek selalu hidup dalam ketakutan." "Dan itu nggak ter
Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya. Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku me
Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. “Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!" Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.” Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12
Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Secara langsung, mengotopsi jenazah. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya seraya batuk-batuk. "Rumah s
Setelah berpikir dan memilih tempat tinggal. Malam itu, Alana memilih tinggal di Apartemen. Alana sudah memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan lepas tanggung jawab. Hanya saja, di dalam posisinya, Alana selalu berkelahi dengan pikirannya. Tidak mudah jika harus bersama-sama lagi. Alana berdiam diri seraya melihat lampu kota yang sangat indah di Rooftop, seraya meminum Americano kesukaannya. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana melihat siapa yang meneleponnya. "Dia lagi." Alana lalu mengangkat teleponnya. "Apa?" tanya Alana. "Nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim. Enggak mood gue, lanjut aja," jawab Alana. "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa."Enggak," kekeh Alana. "Mau di beliin apa?" "Enggak, Bim." "Gue beliin laptop baru, ayo dong," pinta Bima lagi. "Enggak, Bimaa. Sama crush lo aja sana. Gue lagi mau sendiri." "Gitu banget, ayo dong cantikku," pinta Bima lagi.Bima terus