Bu Santi sebenarnya tidak tega melihat Rindu berderai air mata seperti itu, kecewa pada Gibran karena tidak mau mengantarnya. Hanya saja, Bu Santi pun tidak bisa memaksa Gibran. Kondisi Gibran pun saat ini sedang tidak baik-baik saja."Sudah, Rin. Kamu pesan taksi lagi aja, terus ke rumah sakit. Kondisi Gibran saat ini juga sedang tidak baik-baik saja." Bu Santi berusaha menengahi."Sedang enggak baik-baik aja Ibu bilang?" hardik Rindu. "Dia sehat begini, Bu! Alasannya aja enggak mau antar aku urusin Mama! Kamu marah sama Mama karena dia yang palsuin identitas itu? Iya?" bentak Rindu pada Gibran karena merasa begitu marah. "Asal kamu tau, Mas. Mama lakuin itu demi kebaikan kita! Demi masa depan kita! Demi status anak kita!"Kepala Gibran semakin pusing mendengar omelan Rindu. Sepulang dari penjara, sebenarnya kondisinya tidak baik-baik saja. Tubuhnya seperti orang masuk angin karena memang di dalam sel tidak senyaman di kamar tidur."Iya, Sayang aku tahu." Gibran berusaha menenangkan
"Istighfar, Nak, istighfar ...." Bu Santi mengelus lengan putranya. Ia sangat takut kalau Gibran sampai kehilangan kewarasannya karena memikirkan Dewi. "Tapi, tadi Gibran liat Dewi masak sama Ibu!" Gibran masih sangat yakin dengan apa yang tadi dilihatnya."Tidak ada Dewi di sini, Bran! Dewi tidak di sini!" tegas Bu Santi tak ingin membohongi putranya. Ketika Bu Santi membentaknya seperti itu, Gibran tertegun dan dadanya kembali teramat nyeri. Ia kembali menyadari kalau Dewi telah pergi. Bergegas Gibran keluar dari rumah ibunya. Ia kemudian mengunjungi rumahnya dengan Dewi. Ia ingin memastikan lagi kalau pernikahannya dengan Dewi benar-benar sedang berada di ujung tanduk dan tidak ada harapan untuk diperbaiki. Begitu melihat kondisi rumahnya masih sama dengan saat terakhir ia lihat, baru Gibran tersadar kalau Dewi memang tidak ada di rumah ibunya. "Aku harus nyari kamu kemana, Wi?" gumam Gibran sembari memandangi pagar rumahnya. Ingin sekali Gibran melihat sesuatu yang berubah
Gibran dan Bu Santi sangat terkejut saat di rumahnya kedatangan dua orang polisi. Mereka pikir, Gibran akan kembali ditangkap karena Asih sakit. Namun, kabar yang tak pernah mereka pikir, justru yang mereka dengar."Apa? Mama Asih meninggal?" Gibran mengulangi perkataan salah seorang polisi yang mendatanginya itu."Betul, Pak. Bu Rindu yang meminta kami untuk menyampaikan kabar ini kepada Pak Gibran.""I-iya, Pak. Makasih," ucap Gibran yang masih diliputi rasa tidak percaya."Kalau gitu, kami tunggu Bapak di rumah sakit untuk mengurus semuanya.""Ba-baik, Pak."Selepas kedua polisi itu pergi, Gibran tertegun. Ia benar-benar tidak percaya kalau sakit yang diderita mama mertuanya sampai separah itu hingga membawanya pada sebuah ajal. Gibran memang tidak tahu perihal Asih mengidap HIV AIDS. Yang ia tahu hanya kondisi Asih yang tidak terlalu sehat selama ini.Tiba-tiba Gibran terbayang wajah Rindu. Istrinya itu pasti saat ini sedang sangat berduka. Dan Rindu sendirian.Ribuan anak panah y
"Rin, maaf .... Kami tidak bisa melawan kehendak warga," ucap suami kakak Asih, lelaki yang biasa Rindu panggil dengan sebutan Pakde. "Terus aku harus makamin Mama dimana, Pakde? Pesan Mama, dia ingin dimakamkan di sini," ucap Rindu sembari terisak-isak. "Gimana lagi, aku tidak berani menentang warga. Apalagi selama ini, mamamu cukup menjadi buah bibir warga karena pekerjaannya. Dan sekarang ditambah dengan meninggal dalam kondisi seperti ini. Aku juga tidak tega, Rin. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Pakde Rindu dengan penuh penyesalan. Rindu terisak-isak tanpa tahu harus berbuat apa. "Buat makamin Mama di tempat lain, tentu aku butuh uang yang enggak sedikit. Sementara aku udah enggak punya apa-apa, Pakde ...." Tangis Rindu semakin pecah. Gibran yang berada di sisi Rindu juga ikut bingung dengan situasi ini. Sisa uang dari penjualan mobil Rindu sudah digunakan untuk melunasi biaya rumah sakit Asih. Untuk membayar pemakaman di tempat lain, ia sudah tidak punya
Gibran menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu tidak siap-siap buat nyari kerjaan, Bran?" tanya Bu Santi dengan hati-hati. "Rindu masih sakit, Bu." "Rindu biar Ibu yang urus tidak apa-apa, Bran." Gibran menoleh dan menatap ibunya. Padahal saat ada Dewi, selalu Dewi yang mengurus ibunya. Tidak pernah sekali pun Dewi merepotkan ibunya. Dan sekarang semua menjadi kebalikannya. "Tapi Ibu baru aja sembuh juga. Gibran takut Ibu sakit lagi kalau nanti kecapean, Bu." "Tidak, Bran. Ibu masih kuat. Ibu juga sehat, kok." "Benar ibu enggak apa-apa kalau Gibran keluar?" "Iya, Bran. Enggak apa-apa." "Ya udah, Gibran mandi dulu, Bu." Bu Santi mengangguk. Meski di dadanya masih ada bongkahan besar yang belum ia keluarkan. Gibran beranjak dari sofa dan hendak melangkah ke belakang untuk mandi, namun, belum juga menjauh dari sofa, Bu Santi sudah memanggilnya lagi. "Iya, Bu? Ada apa?" tanya Gibran sembari menoleh. "Ehm, anu, Bran ...." Bu Santi ragu-ragu hendak menyampai
"Loh, Bran? Sepeda motor kamu mana?" tanya Bu Santi begitu melihat Gibran memasuki pekarangan rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan siang itu Bu Santi sedang menyapu teras. "Tadi aku keserempet mobil, Bu. Jadi motorku lagi diperbaiki di bengkel," dusta Gibran. Ia berusaha bersikap biasa saja. Terus berjalan dengan membawa dua kantong belanjaan cukup besar.Bu Santi justru yang sangat terkejut mendengar itu. Wanita berdaster hitam tersebut langsung membuang sapunya dan mengejar putranya yang sedang berjalan ke arahnya. "Ya ampun, terus kamu gimana? Apanya yang luka? serunya sembari meraba-raba badan Gibran."Aku enggak kenapa-napa, Bu. Motornya aja yang bagian depannya hancur.""Ya ampun, ada-ada aja, Bran. Tapi untung kamu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada yang lecet?""Enggak, Bu. Aku baik-baik aja." Dalam hati ingin sekali Gibran memeluk ibunya dan mengatakan yang sebenarnya, kalau motornya telah ia jual murah. Hanya saja ia tidak mau ibunya kepikiran."Syukurlah, kalau begitu." Bu Sa
Hari-hari selama proses persidangan Gibran semakin berubah menjadi sosok yang lebih pendiam. Sering sekali saat duduk di teras belakang rumah sendirian dia termenung. Kehancuran pernikahannya dengan Dewi benar-benar menjadi pukulan terbesar dalam hidupnya. Bahkan saat ayahnya meninggal pun, Gibran tidak seberduka itu. Namun, kehilangan Dewi dan anak yang ada dalam kandungan Dewi, benar-benar membuat Gibran berada di titik terendah.Senyumnya, kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya untuk menenangkan hati Rindu. Gibran tidak ingin Rindu terus-menerus keluar masuk rumah sakit, terlebih kandungannya pun semakin besar. Gibran berusaha bersikap sebaik mungkin pada Rindu. Meski hatinya tak sejalan dengan apa yang dia lakukan dan katakan.Bibirnya menyebut Rindu dengan panggilan sayang, sementara hatinya dipenuhi kerinduan tak terbendung kepada Dewi. Tangannya menyentuh Rindu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi matanya melihat wajah Rindu dengan rupa Dewi. Bahkan ser
Kehamilan pertama tanpa didampingi seorang suami dan juga harus menghadapi peliknya sebuah perceraian, terlebih perceraian karena sebuah pengkhianatan, tentu bukan hal mudah bagi siapapun. Begitu juga bagi Dewi.Pedih, sakit, dan hancurnya dikhianati tidak akan semudah itu terobati. Meski segala tuntutan yang Dewi ajukan ke pengadilan dikabulkan oleh hakim, tetapi itu tidak cukup untuk menjadi penawar kesakitannya, penebus dosa bagi Gibran, Rindu, Asih, Bu Santi, dan Gina yang telah mengkhianatinya.Dewi masih tidak ikhlas dengan semua yang terjadi. Cintanya yang tulus untuk Gibran, kepercayaannya yang penuh ia berikan pada Gibran, kejujurannya dalam menjaga dirinya hanya untuk Gibran, dibalas dengan pengkhianatan. Gibran selingkuh dan menikahi adik tirinya, bahkan ketahui dan direstui oleh ibu dan adik Gibran yang selama ini ia tanggung biaya hidupnya.Adakah yang lebih memilukan dari ini?Puing-puing kepercayaan yang bertahun-tahun telah hancur lebur dalam hidup Dewi, tertatih-tatih