Sebuah gelas meluncur begitu saja dari tangan Madya dan pecah berserakan. Entah apa yang terlintas namun sesaat, ia teringat Marren. Hatinya berdegup kencang tiba-tiba dan perasaan nya menjadi tidak enak.
"Oh, Tuhan!" pekik Madya dengan terkejut, lalu menatap jari telunjuk yang berdarah akibat tergores pecahan gelas.''Ada apa ini? Kenapa perasaan Saya tiba-tiba tidak enak begini. Jantung Saya berdebar sangat kencang. Marren? Oh Tuhan semoga tidak terjadi hal buruk pada Marren! Kenapa tiba-tiba Saya teringat padanya? Baru kemarin dia menelepon Saya ingin bertemu."Gumam Madya seolah berkata pada dirinya sendiri dan bergegas memunguti pecahan gelas yang berukuran besar untuk dibuangnya ke tempat sampah."Nyonya, apa yang terjadi? Apa yang Anda lakukan? Jangan! Biar saya saja. Nanti tangan Nyonya terluka," sergah seorang wanita dengan usia jauh lebih muda dari Madya yang merupakan asisten rumah tangganya."Oh! Tangan Nyonya berdarah. MaSementara itu, Arsan dengan gelisah berjalan maju mundur di depan ruang operasi. Hampir tiga jam telah berlalu sejak Marren ada dalam ruangan itu bersama beberapa dokter dan perawat termasuk Dokter Brian. Bi Aira datang tergopoh-gopoh dari kamar mandi untuk membersihkan bajunya yang bersimbah darah Marren dan duduk dengan napas terengah. Melihat itu Arsan merasa tidak tega. Apalagi melihat wanita paruh baya itu memakai pakaian yang basah. "Bi, sebaiknya Bibi pulang saja lebih dulu, nanti kembali kemari berdua dengan Haura dan bawa perlengkapan untuk Nyonya sekalian. Saya kasihan jika Bibi harus mondar-mandir sendirian untuk mengurusi Nyonya. Saya akan terus menjaga di sini, Bibi pulang, ya," ucap Arsan dengan nada sopan. "Ya, tapi baju Tuan Muda juga penuh noda darah milik Nyonya?" sahut Bi Aira dengan wajah sedih."Kalau begitu biar saya baju ganti buat Tuan Muda sekalian, ya?" ''Oh astaga! Saya bahkan tidak menyadarinya. Y
''Ren... Sayang, kamu sudah sadar?" Arsan bergegas mendekati Marren. Sementara Brian meninggalkan Arsan dengan kode tatap matanya. "Eeemm.... Ini di... mana?" Marren mengerjap-kerjapkan kelopak matanya dengan berat seraya memandang ke sekeliling ruangan. "Oh, ini... Di rumah sakit. Sudah, kamu istirahat saja ya, jangan bertanya macam-macam dulu. Ada Saya di sini, Saya tidak akan ke mana-mana," Arsan membelai puncak kepala Marren dan mengecup keningnya dalam-dalam. Marren menggumam dengan malas, lalu ia menatap wajah Arsan dengan tatapan bingung, apalagi melihat kemeja Arsan yang terdapat bercak-bercak kotor. Marren paling tahu jika Arsan sangat membenci keadaan kotor dan tidak rapi. Pria itu selalu tampil sempurna dan menawan. Tapi kali ini...? ''Ada... apa... denganmu, Arsan? Kamu terlihat... sangat... kusut, marah... dan kenapa dengan kemejamu? Sepertinya basah? Yah, walau warnanya abu-abu gelap tapi sepertinya itu noda k
"Mommy? Apa maksud Mommy?" ulang Marren dengan nada memohon dan tatapan bingung kepada Madya yang kini mendapat tatapan tajam dari Arsan.Wanita paruh baya yang masih menyisakan pendar kecantikan di wajahnya itu membelalak menatap Arsan yang seolah menyalahkannya. Madya membekap mulutnya karena segera menyadari kesalahannya. "Tidak, bukan! Maksud Mommy, Mommy sangat khawatir! Apa yang sudah terjadi padamu, Sayang? Mommy sangat terkejut saat sampai di rumah, orang rumah bilang kamu terpeleset dan jatuh dari tangga. Mommy sangat panik dan ikut bersama Haura kemari...!" papar Madya dengan panik berusaha mengalihkan arah pembicaraan kepada Marren. Walau Arsan sempat mengernyit, ia menatap penuh kelegaan pada Haura dan Bi Aira yang berdiri di ujung ruangan seolah mengucapkan terima kasih atas kebohongan mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kedua wanita yang terpaut umur seperti ibu dan anak itu membalas tatapan Arsan seraya mengangguk tegas dan senyum mengembang. ''Mommy benar-
Malam itu, atas pemberitahuan Madya tentang kedatangan Arland siang sebelumnya membuat sang menantu tampak muram dan menahan gusar. Namun, setidaknya ia bisa menghadapi cercaan Marren nantinya atas keguguran yang mati-matian ia rahasiakan dari sang Istri sendiri. Akan tetapi, perkiraan Arsan meleset, Marren lebih banyak terdiam dan memasang wajah dingin saat ia berada di sampingnya. ''Ada apa sih? Dari tadi kamu diam saja? Mau menonton film? Atau mau saya ambilkan cemilan?'' Ujar Arsan yang telah berganti baju dengan piyama tidur dan duduk di tepian ranjang menatap Marren yang duduk bersandarkan bantal tinggi. Marren menggeleng perlahan dan membuang muka. Wanita itu beringsut merebahkan dirinya di atas pembaringan dengan membelakangi Arsan. Melihat itu Arsan segera merebahkan diri, meraih Marren untuk menghadapnya dan memangku kepala Marren di atas pahanya yang kekar. ''Tolong jangan seperti ini, sejak seharian kamu sudah seperti ini. Apa kamu tahu Mommy sangat sedih saat mencer
"Oh! Kakak! Tunggu, Kak. Laura mohon dengarkan Laura, Kak," ucap Laura dengan wajah terkejut, karena mendapati wajah Marren yang basah oleh air mata. '' Laura, bagus kamu datang! Sekarang jelaskan apa yang terjadi!" Arsan menyahut dari dalam dan menarik tangan Marren untuk menghalangi kepergiannya. "Lepas! Saya tidak butuh penjelasan apa pun, dengan kedatangan dia kemari saja sudah menjelaskan semuanya!" Sentak Marren memaksa untuk keluar ruangan yang masih terhalangi oleh keberadaan Laura. Akan tetapi Arsan yang tidak ingin melihat kepergian Marren dalam keadaan marah, segera memeluk pinggang Marren dan memaksa menggendongnya ke dalam, Marren memberontak dalam gendongan Arsan. "Laura, masuk dan tutup pintunya!" perintah Arsan pada gadis cantik itu yang langsung patuh dan mengabaikan segala usaha perlawanan dan teriakan Marren.''Kakak! Kakak Marren pleaseee! Dengarkan Saya!" ucap Laura memelas pada Marren yang berdiri dengan meronta tidak karuan. ''Sayang, ayolah. Jika Saya yan
Akhirnya malam itu Liam datang untuk menjemput Laura yang awalnya tidak ingin pulang karena takut akan hukuman dari orang tuanya, namun berkat bujukan Arsan yang ingin 'mengusir' Laura dengan cepat dari apartemen. Walau harus menyaksikan drama kedua remaja yang sedang di mabuk asmara itu akhirnya kini mereka meninggalkan apartemen dengan perasaan riang setelah memastikan Arsan ada di pihak mereka dengan catatan mereka harus berjanji untuk tidak melewati batas dalam berpacaran sebelum menikah. "Ingat pesan kakak, terutama kamu Liam. Sebagai Pria kamu harus bisa lebih tegas dan bersikap dewasa. Jaga Laura dengan segala upayamu sebagai Pria sejati," ujar Arsan menasihati kedua sejoli itu yang disambut dengan anggukan oleh Liam."lya, Kak Arsan. Liam akan berjanji untuk selalu menjaga Laura," sahut Liam dengan tatapan bersungguh-sungguh. ''Kau yakin? Apa kau bisa mendaki gunung yang tinggi dan berapi dalam semalam?" tanya Arsan menguji. ''Maksud, Kak Arsan?" tanya Liam dan Laura ham
Marren menatap lembaran-lembaran kertas yang telah koyak dan hancur berantakan tersebar di lantai. Hatinya terasa tidak karuan. Bahkan ia duduk untuk meraih semua kertas-kertas berharga yang telah koyak itu. Harusnya ia merasa senang, bahagia dan terbebaskan dari semua ikatan perjanjian pernikahan yang tidak lazim itu. Akan tetapi ia malah menangis. "Bagi Saya itu hanya kertas. Saya tidak pernah membutuhkannya! Kakek yang membuat semua ini. Tapi bagi Saya, itu semua tidak penting! Saya hanya menginginkanmu! Tapi setelah Saya memikirkannya, Saya membutuhkannya untuk membuatmu terus terikat pada Saya. Dan sekarang, Saya sudah merobek semua berkas itu. Jadi, apalagi yang harus Saya lakukan untuk membuatmu percaya, Marren?" Ujar arsan lirih, menghela napas dengan nada lelah. "Saya selalu ingin percaya padamu Arsan, tapi setiap kali Saya mulai percaya, Saya selalu menemukan fakta kamu dengan perempuan lain? Lalu Saya harus bagaimana? Sedangkan di sisi lain kamu selalu mengurung Saya?
''Itu, koleksi kakek. Dia bilang itu mainan. Sekarang kamu lihat sendiri kan, bagaimana mungkin Saya membawa orang lain masuk ke ruangan ini? Apalagi perempuan panggilan? Yang benar saja," Ujar Arsan menggelengkan kepalanya seraya menghela napas dengan berat dan menatap wajah Marren yang menunduk menghindari tatapan mata suaminya. Marren terlihat salah tingkah, malu dan gugup bercampur menjadi satu. Entah apa pun itu perasaannya semakin tidak karuan dan ia merasakan debaran dalam jantungnya semakin kencang. "Maafkan saya, saya... Harusnya saya tidak percaya ucapannya, tapi, sebenarnya saya tidak percaya, hanya saja aku selalu menemukanmu dengan perempuan lain. Ya sudah Saya bisa apa. Jadi Saya hanya akan bekerja sesuai porsi saya saja. Dan kalau kamu tidak mengatakannya pada saya, bagi Saya, saya tidak berhak tahu. Ya sudah..." sahut Marren terbata-bata seraya beranjak meninggalkan ruangan itu.Namun baru selangkah ia hendak pergi, Arsan segera menarik Marren dan memeluknya dari be