Maaf ya kemarin enggak up, ada kesalahan teknis hehe. Sekarang sebagai ganti, 4 bab~
***"Dan."Adara yang sejak tadi diam membisu—sibuk dengan pikiran dia masing-masing, akhirnya bersuara. Menoleh, dia memandang Danendra yang nampak fokus mengemudi.Acara makan siang selesai, Danendra langsung mengantar Felicya kembali ke butik setelah sebelumnya—tentu saja mendakwa gadis itu dengan sebuah hukuman yang tak main-main atas apa yang dia lakukan pada Adara.Danendra memang pria baik—bahkan bisa dibilang sangat baik karena hatinya yang lembut. Namun, tentu saja semua itu tak membuat ketegasannya hilang.Sebaik apapun Danendra, darah Alexander yang tegas tetap mengalir di tubuhnya dan semua anggota keluarga Alexander selalu memberikan hukuman setimpal untuk para pembuat kesalahan—termasuk yang dilakukan Danendra pada Felicya."Ya, Sayang. Kenapa?" tanya Danendra—masih fokus pada jalanan siang hari ini."Yang kamu lakuin ke Feli, apa itu enggak berlebihan?" tanya Adara. Meskipun senang karena Danendra bersikap tegas, tetap saja Adara merasa tak enak karena hukuman yang dibe
***"Jadi nanti malam kamu harus pergi dari apartemen Danendra?"Felicya mengangguk pelan ketika sebuah pertanyaan tersebut dilontarkan Teresa dari seberang sana. Diusir dari apartemen oleh Danendra, Felicya tentu saja tak tinggal diam.Hanya punya Teresa sebagai harapan, Felicya langsung menghubungi perempuan itu untuk mengadu dan tentunya dia langsung berperan menjadi korban untuk menarik perhatian Teresa."Iya, Tante. Nanti malam Danendra bilang aku harus pergi, sama Mbak Siti juga," ungkap Felicya.Tak mengungkapkan unit apartemen yang disewakan Danendra untuknya, Felicya hanya membahas tentang pengusiran yang dilakukan mantan pacarnya sebagai bentuk hukuman atas perbuatan yang sudah dia lakukan pada Adara."Keterlaluan," ucap Teresa yang membuat Felicya mengukir senyumannya. "Harusnya Danendra enggak sampai melakukan itu sama kamu. Harusnya dia paham kondisi kamu.""Iya, Tante. Feli tahu kok, Feli salah," kata Felicya. "Tapi kan Feli juga udah minta maaf, Tan. Feli nyesel juga la
***"Dan."Danendra yang sedang mengeluarkan barang belanjaaan dari bagasi seketika menoleh ketika Adara menghampirinya."Kenapa, Ra?""Degdegan.""Hah?"Adara menyimpan telapak tangannya di dada. "Jantung aku degdegan, Danendra," ucapnya. "Ngobrol sama Mama Teresa aja udah buat aku keringat dingin, apalagi sama Papa Adam."Danendra terkekeh. "Sebegitu takutnya kamu sama Papa aku?" tanyanya dan Adara mengangguk sebagai jawaban. "Papa aku enggak nyeremin kok, Ra.""Tapi wajahnya-""Garang?" potong Danendra. "Tenang aja, wajah Papa aku emang gitu, tapi baik kok. Percaya deh sama aku, lagian Papa aku masih makan nasi, jadi enggak usah takut.""Dih, kamu tuh.""Boleh minta tolong?""Apa?""Bawain ini," pinta Danendra sambil memberikan kresek putih berisi dua buah cake.Setelah mendapat telepon dari kedua orang tuanya yang akan datang ke apartemen, Danendra dan Adara memang sengaja mampir ke supermarket karena stok makanan di apartemen menipis.Tak pandai membuat makanan, tentu saja Adara
***"I love you, Ra."Di akhir penyatuan mereka, sebuah ungkapan cinta kembali dilontarkan Danendra untuk Adara dan tentu saja ungkapan tersebut membuat Adara tak bisa menahan lagi senyumannya."I love you too, Dan."Menyudahi semuanya secara perlahan, Danendra menyingkir dari atas tubuh Adara setelah hampir setengah jam kegiatan mereka berlangsung. Menetralisirkan napas, dia memandang langit-langit kamar sambil mengukir senyum."Capek juga ya," ucap Danendra—masih dengan napas yang memburu."Buru-buru banget sih," celetuk Adara.Danendra tersenyum lalu mengubah posisi tidurnya menjadi miring—menghadap Adara. Tersenyum, dia menopang kepalanya sambil memandangi sang istri."Belum puas, ya?"Sadar Danendra sedang memandangnya, Adara ikut mengubah posisi tidurnya sehingga kini dia dan Danendra saling memandang dengan jarak yang dekat."Belum puas apa?" tanya Adara."Itu," kata Danendra sambil menaik turunkan alisnya. "Lanjut nanti malam deh.""Ck, kamu tuh ya. Nanti malam kan kamu jemput
***"Lama banget kalian mandinya, ngapain aja sih?"Keluar dari kamar dengan wajah yang segar, Danendra maupun Adara hanya bisa mengukir senyuman tipis ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Teresa yang sudah menunggu selama hampir dua puluh menit di ruang tamu."Enggak ngapa-ngapain, Ma. Mandi aja," kata Danendra.Menuntun Adara, dia mengajak istrinya itu duduk di sofa yang berhadapan dengan Adam juga Teresa. Berbeda dengan Teresa yang protes, Adam justru terlihat santai karena memang sambil menunggu, dia menonton sebuah film."Kaya enggak pernah muda aja kamu," kata Adam pada Teresa. "Pengantin baru biasalah, mandinya pake bumbu-bumbu cinta. Lihat aja rambut mereka basah.""Eh?" Adara refles menyentuh rambutnya yang memang masih basah, karena setelah mandi dia tak sempat menggunakan hairdryer untuk mengeringkan rambut."Ya tapi kan-""Sssst, enggak usah ngomentarin apa yang mereka lakuin, kita juga sering dulu," kata Adam. "Buktinya ada Danendra sama Danish kan, sekarang?""Apa sih,
***"Lho kok lurus sih, Dan? Kan harusnya masuk?"Felicya mengerutkan keningnya ketika Danendra terus mendorong kursi rodanya. Padahal, seharusnya dia berhenti persis di depan pintu unit apartemen yang baru saja mereka lewati."Kita belum sampai, Fel.""Maksudnya?" tanya Felicya tak paham.Danendra berhenti mendorong kursi roda lalu berdiri, sementara Felicya langsung menoleh ke arahnya."Maksud kamu apa?" tanya Felicya."Lupa tadi siang aku bilang apa?" tanya Danendra. "Sebagai hukuman atas apa yang kamu lakuin ke Adara, aku mau kamu pindah dari apartemen aku.""Kamu serius soal itu?" tanya Felicya.Teresa tak bisa dihubungi sejak sore tadi, Felicya menyangka perempuan itu berhasil membujuk Danendra untuk tak mengusirnya dan ketika Danendra datang untuk menjemput, keyakinan Felicya akan batalnya pengusiran semakin kuat.Namun, kini dia justru dibuat bingung dengan Danendra yang tak membawanya masuk ke apartemen milik pria itu."Kamu pikir aku becanda?" tanya Danendra. "Aku emang baik
***"Ra, are you okay?"Berdiri di depan pintu kamar mandi, raut kekhawatiran begitu nampak di wajah Danendra ketika kini di dalam kamar mandi sana, Adara terdengar muntah-muntah.Mengeluh tak enak badan sejak semalam, Danendra pikir Adara kelelahan. Namun, pagi ini dia dibuat khawatir karena istrinya itu tiba-tiba saja merasa mual lalu muntah-muntah."Sebentar, Dan."Beberapa menit menunggu, pintu kamar mandi terbuka dan yang dia lihat adalah wajah pucat Adara yang nampak begitu lemas setelah memuntahkan semua isi perutnya."Kamu baik-baik aja?" tanya Danendra khawatir."Perutku masih enggak enak sih," kata Adara sambil mengelus perutnya yang masih dibalut piyama satin."Ke dokter ya," ajak Danendra. "Aku takut kamu kenapa-kenapa.""Aku harus ngantor," kata Adara. "Kerjaanku lagi banyak.""No," jawab Danendra dengan segera. "Gak ada ngantor hari ini, kamu ke rumah sakit sama aku. Kita ke dokter.""Tapi Dan-""Tunggu," pinta Danendra.Berjalan menuju meja nakas, Danendra mengambil pon
***"Tahu gini aku naik taksi aja, sama-sama duduk di belakang."Omelan itu akhirnya dilontarkan Felicya ketika dia, Danendra, juga Adara sedang berada dalam perjalanan menuju butik.Adara ikut bersama Danendra, tentu saja yang mengalah untuk duduk di belakang adalah Felicya karena Danendra akan selalu mengutamakan Adara.Sebaik apapun sikapnya pada Felicya, bagi Danendra istri adalah yang utama dan tentunya di atas segalanya. Sedarurat apapun itu, dia tak akan pernah menomor duakan Adara karena kenyamanan perempuan itu paling penting baginya.Apalagi sekarang Adara sedang tak baik-baik saja."Mau turun?" tanya Danendra tanpa menoleh, sementara Adara hanya duduk bersandar sambil menikmati rasa pusing juga mual yang masih ada."Maksud kamu?" tanya Felicya."Barusan kan kamu bilang mendingan naik taksi aja daripada sama aku, tapi duduk di belakang," ucap Danendra. "Kali aja mau turun?""Kamu tega emangnya nurunin aku di jalan?""Daripada kamu enggak nyaman, kan?""Ish." Memeluk kedua ta