***"Dan, sarapannya udah jadi nih. Makan yuk.""Sebentar, Sayang."Mematikan kompor, Adara berbalik badan lalu mengukir senyum ketika Danendra datang ke dapur sambil membenarkan dasi.Hari ini adalah hari jumat sekaligus hari terakhir Danendra pergi ke Surabaya—menggantikan Danish di kantor. Hampir seminggu bekerja di sana, Danendra pulang pergu Jakarta-Surabaya setiap hari.Ya, terlalu khawatir dengan keadaan Adara, Danendra batal menitipkan istrinya untuk dijaga sang Mama selama seminggu dia bekerja di Surabaya.Bukan tak percaya pada sang Mama, Danendra lebih khawatir pada Adara ketika di luar. Jika dirinya tinggal di Surabaya, Danendra tak akan bisa memastikan Adara aman sampai kantor karena tak bisa mengantar istrinya itu."Bisa enggak?" tanya Adara."Apanya?""Itu pake dasi, kok kaya susah gitu," kata Adara. Berjalan mendekat, dia berdiri di depan Danendra. "Sini aku pasangin."Danendra refleks melepaskan tangannya dari dasi lalu mengulum senyum ketika tangan Adara mulai memben
***"Ini tinggal dikoreksi sedikit ya, Pak.""Iya, sedikit aja. Nanti kasihin lagi laporannya ke Danish senin.""Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu ya.""Iya, silakan."Manajer keuangan yang baru saja memberikan laporan beranjak lalu pergi, Danendra menyandarkan tubuhnya di kursi kerja.Menoleh ke arah jam dinding, dia mengukir senyum melihat waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang."Waktunya ngingatin Adara makan siang," kata Danendra.Mengubah posisi duduknya menjadi tegap, Danendra mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel dari laci meja.Berniat menghubungi Adara seperti biasa, senyuman kembali terukir di bibir Danendra ketika panggilan lebih dulu masuk dari Adara."Tumben telepon duluan," gumam Danendra. Bukan panggilan biasa, Adara sepertinya ingin melakukan panggilan video dan tentu saja—tanpa pikir panjang, Danendra langsung menjawab panggilan tersebut."Halo, Sayang," sapa Danendra."Hai." Tersenyum merekah, Adara menyapa Danendra sambil melambaikan tangan. "Kage
"Gimana, udah puas?"Felicya mengulum senyuman ketika pertanyaan itu diucapkan seorang pria dari seberang sana. Memainkan kertas kosong, dia akhirnya menjawab."Bagus," puji Felicya setelah beberapa detik lalu dia menerima sebuah foto yang dikirimkan Raga.Foto Adara terduduk di pinggir jalan. Sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan lagi bagi Felicya selain kabar yang diberikan Raga tentang dia yang berhasil menjalankan tugasnya.Sesuai perintah, Raga tak sampai menabrak Adara. Dia hanya menyerempet perempuan itu sampai terjatuh di trotoar dan sepertinya semua itu cukup membuat Adara mengalami pendarahan."Bayarannya," pinta Raga. "Kirim sekarang juga.""Oke, santai," ucap Felicya. "Ditunggu.""Tapi, Ga. Adara jatuhnya kenceng, kan?""Menurut kamu?" tanya Raga. "Coba aja kamu diserempet motor, jatuhnya kenceng apa enggak?""Kenceng mungkin.""Kalau enggak kenceng, dia enggak akan sampe jatuh, Fel. Mikir pake otak. Jangan dengkul.""Ish, santai aja kali.""Enggak bisa santai kalau b
***"Ekhem."Hampir tiga jam pingsan, Adara perlahan membuka matanya. Silau. Kesan pertama yang dia rasakan sekarang adalah silau, karena yang pertama dilihatnya adalah lampu ruangan yang memiliki ukuran tak kecil."Aku di man-" Ucapan Adara terhenti ketika ingatannya kembali pada kejadian tadi—saat sebuah motor tiba-tiba saja menyerempetnya hingga terjatuh di trotoar dan mengalami pendarahan."Bayiku."Adara berniat untuk meraba perutnya. Namun, semua itu tak bisa dilakukan ketika dia merasa sebuah tangan menggenggam tangan kanannya yang sulit digerakkan."Danendra," gumam Adara ketika dia melihat Danendra tertidur persis di sampingnya sambil memegang tangan. "Kapan dia ke sini?"Untuk beberapa detik memandangi Danendra, Adara kembali teringat akan nasib bayi yang dia kandung. Pendarahan di usia kehamilan muda. Bukankah itu terlalu beresiko."Dan," panggil Danendra sambil menggerakkan tangannya yang digenggam sang suami. "Danendra."Terganggu, Danendra membuka matanya perlahan lalu m
***"Dua suap lagi, Ra.""Kenyang, Dan.""Dua lagi, Ra. Buka mulutnya ya."Adara menggeleng lalu mendorong sendok yang dipegang Danendra agar menjauh dari mulutnya."Enggak mau, kenyang."Danendra menghela napas lalu memilih pasrah untuk tak lagi menyuapkan bakso untuk Adara. Padahal, siang ini perempuan itu sendiri yang meminta bakso, tapi nyatanya baru beberapa suap, Adara sudah tak mau memakan makanan itu lagi."Minum," kata Danendra sambil menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotan."Makasih.""Hm."Weekend di rumah sakit. Begitulah yang sedang dilakukan Adara juga Danendra, sekarang. Rencana mereka untuk menghabiskan hari sabtu sambil menonton film terpaksa harus batal karena Adara yang harus tinggal beberapa hari ke depan di rumah sakit untuk menjalani observasi."Dan.""Ya?""Maaf ya," kata Adara tiba-tiba."Maaf apa?" "Gara-gara aku, nonton film kita enggak jadi," ucap Adara. "Harusnya hari ini kita kan nonton film terus aku pijatin kamu sesuai janji.""Enggak apa-a
***"Mana pelakunya?"Sampai di kantor polisi setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Danendra pada petugas kepolisian yang ada di sana."Ada apa, Pak Danendra?" tanya seorang polisi yang datang menghampiri. Meskipun, jarang sekali berurusan dengan pihak kepolisian, nyatanya wajah Danendra begitu familiar karena siapapun akan tahu siapa dia, putra tengah Adam Manuel Alexander."Saya mau cari pelaku yang sudah menyerempet istri saya," kata Danendra. "Di mana dia?""Sebentar."Polisi tersebut pergi lalu beberapa menit kemudian kembali menghampiri Danendra."Sebelah sini, Pak.""Oke."Danendra mengikuti polisi tersebut melangkah ke sebuah ruangan pemeriksaan. Tak ada siapa-siapa lagi, perhatian Danendra langsung tertuju pada seorang pria yang duduk di depan seorang polisi."Kamu pelakunya?" tanya Danendra—membuat pria yang duduk membelakangi Danendra itu lantas menoleh.Belum sempat menjawab,
***"Tante kenapa tampar aku?"Pertanyaan tersebut langsung terucap dari mulut Felicya setelah beberapa menit lalu telapak tangan Teresa mendarat sempurna di pipi kirinya.Tak hanya memerah, pipi Felicya yang putih pun kini terasa panas bahkan perih karena memang tamparan yang diberikan Teresa tidaklah pelan.Saking kerasnya tamparan dari Teresa, Danendra yang berdiri di belakang sang mama pun langsung dibuat terkejut, karena dia tak menyangka Teresa akan berbuat sekasar itu pada gadis yang selama ini menjadi kesayangannya.Marahnya orang baik memang tak bisa diremehkan, begitupun dengan Teresa. Selama ini, dia selalu bersikap baik pada Felicya karena dk matanya gadis itu adalah gadis yang baik.Namun, hari ini keyakinan Teresa dipatahkan oleh sebuah fakta yang diberikan Danendra.Felicya adalah dalang dari peristiwa yang terjadi pada Adara kemarin. Mendapat informasi yang konkrit dari Raga, Danendra langsung menemui sang mama dan mengajaknya untuk menemu
***"Iya enggak apa-apa, Ma. Dara ngerti kok.""Sekali lagi maaf ya, Sayang.""Iya Mama," ucap Adara sekali lagi.Pukul empat sore, Arsya yang sejak tadi menunggui Adara akhirnya berpamitan karena memang dia harus pergi bersama Damar untuk menghadiri acara penting.Sendirian di kamar rawat—karena Danendra yang belum kembali, Adara mendapat telepon dari Monica—sang mama yang meminta maaf karena tak bisa datang menjenguk.Selain keras, nyatanya Ginanjar juga seorang pria yang terbilang sangat posessive. Sangat mencintai Monica, istrinya. Ginanjar tak pernah mengizinkan perempuan itu berlama-lama di luar.Bahkan kini—ketika tahu Adara dirawat di rumah sakit, Ginanjar tak mengizinkan Monica untuk menginap dan menjaga putrinya.Alasan rumah tangga mereka tetap utuh? Tentu saja karena Monica tak mau melihat Adara menjadi anak broken home.Mengabaikan rasa sakit dan tak nyaman dengan pernikahannya bersam Ginanjar, Monica bertahan demi Adara."Ya udah