"Cintya!" Suara Bara memenuhi semua penjuru rumahnya. Namun, Cintya tak peduli. Dia terus melenggang, meninggalkan Bara yang sedang kesal. Umi Khofsoh dan mbah Yah, yang sedang di dapur, sontak menoleh, mendengar keributan dari atas. Namun, mbah Yah berpura-pura tak mendengar. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya. Begitupun dengan umi. Sebisa mungkin dia terlihat tenang, di hadapan mbah Yah, padahal hatinya sedang bergemuruh hebat.Bara mengejar Cintya yang terus berjalan keluar. Emosinya semakin membuncah, karena Cintya mengabaikannya."Mau ke mana?" Cintya tetap tak menjawab."Lepas!" Cintya berontak, saat Bara mencekal tangannya. Semakin dia berontak, Bara semakin erat mencengkeram tangannya. "Kamu tidak boleh keluar rumah, tanpa seizinku!" Bara menatap tajam Cintya. Cintya memutar bola mata malas. "Aku suamimu. Berhak melarang!" ujar Bara jumawa."Baiklah. Aku izin keluar!" sahutnya malas. Bara menggeleng, tanda tak mengizinkan istrinya pergi. "Aku sudah izin, tapi Kamu yang
Beberapa hari, Bara tak pulang ke rumah. Sudah dipastikan, dia pulang ke rumah Aisya. Selama itu pula, Bara tak memberikan kabar sama sekali. "Umi jadi mau menginap di vila?" tanya Cintya sore itu. "Enggak nunggu Bara?"Cintya tersenyum miris. "Dia sedang sibuk dengan Aisya, Mi. Kita ke sana berdua saja," usul Cintya. Umi Khofsoh ragu. Dia termenung agak lama. "Kalau enggak bisa, enggak apa-apa, kok, Mi," ujar Cintya dengan nada kecewa. Dia sudah tak sabar untuk menemui pak Udin. Dia ingin mengetahui semua tentang Aisya. Umi Khofsoh menangkap kekecewaan dalam wajah anak menantunya. Dia merasa tidak enak. Dulu, dia yang memintanya diajak ke vila. Namun, saat kesempatan itu datang, justru dia tolak. "Umi siap-siap dulu, ya. Apa saja yang mau dibawa?" tanya umi Khofsoh semangat. Dia tak tega mematahkan hati Cintya. Selama ini, Cintya tak pernah mengecewakannya. Senyum Cintya langsung merekah. Terpancar jelas, binar bahagia dari wajahnya. "Beneran, Mi?" Cintya memastikan. Umi Kh
"Pak Udin tidak bisa mengelak lagi." Cintya berkata serius. Tanpa diminta, pak Udin justru memulai pembicaraan tentang Aisya. Padahal, dia sedang menyiapkan siasat, agar pak Udin mau cerita. Sekarang Cintya tak perlu bersusah payah memancing pak Udin. "Saya ambilkan gula dulu, Bu. Tadi belum ada gulanya," kilahnya mencoba menghindar."Enggak usah, Pak. Rasanya lebih enak kalau tanpa gula."Cras!Tangan pak Udin tergores parang, saat dia membelah durian. Darah segar mengalir dari luka, yang sepertinya cukup dalam."Ya Allah," pekik umi Khofsoh, saat melihat darah yang keluar cukup banyak. "Bapak lebih rela melukai tangan, daripada harus jujur sama saya," cibir Cintya, karena dia tahu, pak Udin hanya mengulur waktu. "Saya bersihkan luka dulu!" Pak Udin mencoba pergi. "Ada kran di situ, Pak. Bersihkan di situ saja. Saya juga belum selesai bicara," tegas Cintya. Dia merasa kesal, karena pak Udin selalu menghindar, saat ditanya tentang Aisya. "Ada kotak obat juga, di dalam mobil."Pak
Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Langitpun berubah menjadi gelap. Nan jauh di sana, lautan juga mulai tak kelihatan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid di kampung sebelah. Cintya lantas mengajak umi masuk. "Kita sholat berjama'ah, Nduk!" ajak umi Khofsoh, agar hati Cintya menjadi tenang. Mereka berdua bergantian mengambil air wudhu. Setelah itu, Cintya menggelar dua sajadah. Umi yang bertindak sebagai imam. "Umi mau makan apa?" tanya Cintya sambil melipat mukena. "Terserah Kamu saja!" Cintya lantas mengambil ponselnya. Dia lupa, ternyata dari tadi ponselnya mati. Itu karena dia merasa kesal kepada Bara, karena tak memberinya kabar. "Lupa kalau tadi ponselku mati, Mi," ujar Cintya sambil menunggu layar benda pipihnya menyala. Umi berjalan ke teras. Dia memperhatikan sekeliling, yang tampak sunyi. Hanya deburan ombak yang terdengar. Suasana sungguh syahdu. Cocok sekali, bagi orang yang ingin meninggalkan hiruk pikuk kota. Dalam hati, ia kagum pada Cintya dan Bara
"Bangun, Nduk!" Umi Khofsoh membangunkan Cintya yang sedang tidur pulas. Sebenarnya ia tak tega, tapi karena matahari hampir terbit, mau tak mau Cintya harus bangun. "Sholat Subuh dulu, Nduk." Umi Khofsoh melipat mukena dan sajadah yang baru saja digunakan. Setelah mengenakan kerudung, umi berjalan keluar. Mendengar umi membuka pintu, Cintya mengulet. Matanya masih berat, untuk dibuka. Dia duduk di tepi ranjang, dengan mata masih terpejam. Hampir lima menit, dalam posisi seperti itu, akhirnya Cintya memaksa membuka matanya. Dia berjalan mendekati meja rias. Betapa kaget, ternyata matanya begitu bengkak. Pasti karena dia menangis terlalu lama semalam. Namun setidaknya, hatinya merasa lega. Cintya bergegas mandi, agar umi tidak melihat mata bengkaknya. Lama sekali ia berada dalam guyuran shower. Setelah memastikan bengkaknya berkurang, dia segera membalut tubuhnya dengan handuk. Cintya segera mengenakan pakaian dan melakukan kewajibannya. Buru-buru ia memoles tipis wajahnya dan me
Akhir-akhir ini, Bara lebih sering menghabiskan waktu bersama Aisya. Lambat laun, Cintya terbiasa tanpa kehadirannya. Seminggu sekali, dia pulang menemui istri pertamanya. Itupun tak lama. Pernah umi menasihatinya, agar bisa membagi waktu dengan adil, tapi sepertinya Bara abai. "Nduk, lagi apa?" Umi Khofsoh mengagetkan Cintya yang tengah melamun, di atas ayunan. Bahkan, Cintya sampai menjingkat, karena saking kagetnya. "Cari udara segar, Mi," sahutnya sambil menurunkan kaki. Umi lantas duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. "Umi sudah menghitung, acara empat bulananmu. Mau dibuat acara apa?"Cintya diam. Dia mengusap perutnya yang mulai membuncit. Bayi di dalam perutnya tidak bersalah. Dia berhak mendapatkan kasih sayang darinya. "Buat acara di pesantren khusus anak yatim piatu saja, Mi. Mereka lebih membutuhkan," ujar Cintya. Dia teringat akan ustadz yang ia datangi lalu. Di pesantren itu, ada ratusan anak yang kurang beruntung. "Boleh, biar dapat berkah." Umi Khofsoh mengangguk
Umi Khofsoh dan mbah Yah saling berpandangan. Dalam hati, mereka berdua menyesalkan tindakan Bara. Seharusnya ini momen yang ditunggu-tunggu setelah sekian tahun lamanya. Cintya melirik jam tangannya. Acara akan diadakan jam empat. Masih ada waktu setengah jam lagi. "Kita berangkat sekarang saja. Lebih baik menunggu, daripada ditunggu," usul Cintya. Dia yang terbiasa tepat waktu, tak mau membuat orang lain menunggu. "Kamu bisa bawa mobil sendiri?" Umi Khofsoh tampak khawatir. Biar bagaimanapun, dia tak ingin Cintya kenapa-kenapa. "Bisa, Mi." Mereka bertiga berjalan keluar. Cintya lantas menuju garasi, di mana mobilnya terparkir. Setelah semua keluar, mbah Yah segera mengunci pintu. Mbah Yah dan umi menunggu Cintya yang masih memanaskan mesin mobil. Setelah mobil siap, dia menyuruh umi dan mbah Yah segera naik. "Hati-hati, Nduk!" pesan umi, saat Cintya mulai menginjak pedal gas. "Nggih, Mi." Sebenarnya, tanpa disuruh pun, Cintya akan hati-hati. Tak mungkin ia membahayakan nyawa