Cintya mengunci kamar, lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dipejamkan matanya sejenak, mencoba mengurai masalah yang menghampirinya. Bisikan untuk segera mengakhiri rumah tangganya, kian berembus kencang. Baginya, kesalahan Bara cukup fatal. Ditambah, dengan pengakuan umi yang memperkuat keinginannya untuk segera pisah. Namun, janin di rahimnya masih jadi penghalang. "Apa ini juga campur tangan Allah, agar aku mempertahankan rumah tangga dengannya?" gumam Cintya semakin bingung. Diremasnya rambut yang sudah mulai acak-acakan. Kepalanya juga pusing, memikirkan nasib pernikahannya ke depan. Perutnya terasa semakin tidak nyaman. Darah yang keluar juga semakin banyak. Cintya lantas beranjak ke kamar mandi. Karena bukan pertama kali, dia tidak terlalu panik. Tok tok tokPintu diketuk, saat Cintya baru saja keluar kamar mandi. Cintya sedang malas bertemu siapapun. Dia memilih tidak membukakan pintu. Namun, ketukannya semakin keras, membuat Cintya terpaksa membukakan pintu. ClekPintu
Bara kembali memukul gagang setir yang tak bersalah. Percuma juga mengejar Cintya, yang berjalan semakin menjauh. Bara akhirnya memutuskan meninggalkan kampus, tempat istrinya bekerja. Bara teringat, kalau ia akan mengunjungi pembangunan sarang walet di desa Tinading. Mobil belok kanan, menuju arah Tambun. Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Sampai di perempatan Tambun, Bara belok kiri. Bara menurunkan kecepatan kendaraannya, karena jalanan lumayan macet. Barulah setelah melewati SPBU, jalanan mulai lengang. Bara kembali menambah kecepatan. Mobil melaju kencang. DrrtPonselnya bergetar. Diliriknya sekilas, ternyata Aisya. Bara mengabaikannya. Emosinya belum stabil. Dia takut akan melampiaskannya pada Aisya. Jadi, dia memilih mengabaikan panggilan Aisya. Bara terus fokus mengemudi. Namun, Aisya terus memanggil. "Iya," jawab Bara saat ponselnya terhubung dengan Aisya. "Aku masih di jalan, nanti lagi ya."TutBara memutuskan panggilan secara sepihak. Pasti Aisya di sana sedang
Bara terus melajukan mobilnya tanpa arah. Dirinya bingung mau ke mana. Jadilah dia menyetir asal. Cuaca di luar juga begitu panas, sepanas hatinya sekarang. Berkali-kali Bara memukul setir mobil penuh emosi. Dari tadi pagi, ada saja yang membuatnya marah. Mulai dari Cintya, mandornya, hingga Aisya. CiitMobilnya mengerem mendadak. Hampir saja dia menabrak pejalan kaki yang tiba-tiba muncul. Suasana mendadak ramai. Beberapa orang berkerumun di sekitar kejadian. Ada yang menggedor pintu mobil, meminta Bara segera turun. Bara membuka pintu mobil. Sudah banyak orang yang berkerumun. "Tanggung jawab, Pak," geram sesebapak yang sedang berkerumun. "Iya, harus tanggung jawab," sahut yang lainnya kompak.Riuh rendah mulai terdengar. Bara mencoba menyibak kerumunan warga. "Lihat itu, sampai berdarah!" Pikiran Bara mulai tak enak. Separah itukah korbannya? Perasaan tadi tidak sampai menabrak. "Masukkan ke mobil, biar saya yang bertanggung jawab pengobatannya," ujar Bara spontan. Dia sada
Tidak biasanya Bara pulang sampai selarut ini. Minimal dia akan memberi kabar, kalau pulang telat. Cintya kembali menuruni anak tangga. Dia teringat, kalau pintu depan belum tertutup. Saat melewati kamar Aisya, tiba-tiba Cintya ingin masuk, tapi ragu. Berkali-kali ia meyakinkan diri. ClekAkhirnya Cintya memasuki kamar, di mana madunya tidur. Dengan langkah pelan, dia memindai isi kamar. Berkali-kali ia menguatkan hati, saat melihat ranjang. Ia dibayang-bayangi rasa cemburu, saat suaminya dan Aisya bergumul di atas ranjang itu. Namun, dia segera menepis jauh-jauh rasa cemburu. Tujuannya ke sini, hanya mencari tahu keberadaan suaminya. Dia kembali menelfon nomor Bara. "Pantas saja enggak diangkat." Cintya menemukan ponsel Bara tergantung di saku baju dan baju itu menggantung di kursi.Dia membawa ponsel Bara keluar kamar. Dijatuhkan bobotnya di sofa empuk, depan televisi. Cintya berbaring, karena capek mondar-mandir enggak jelas dari tadi. Cintya membuka ponsel suaminya, yang tak
"Sayang, ada umi dan Cintya di sini," bisik Bara. Aisya sudah tak mampu berucap. Dia begitu lemah. Nafasnya berat. Umi Khofsoh mendekat. Diletakkan tangannya di atas kening Aisya. Mulutnya merapal do'a, agar sang menantu cepat sembuh. "Sudah makan?" tanya Bara lembut. Dia memeriksa makanan yang diberikan dari pihak rumah sakit. Aisya hanya menggeleng. "Makan dulu, ya!" bujuk Bara. Lagi-lagi, Aisya menggeleng. Cintya memperhatikan Bara yang begitu lembut memperlakukan Aisya. Ada sedikit nyeri di hatinya, tapi ia segera menepisnya. Andai dia yang sakit, pasti Bara juga memperlakukan hal yang sama. KrietPintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar, dengan wajah segar. Dari wajahnya, umi Khofsoh tahu, kalau itu ibunya Aisya. Terlihat dari garis wajahnya yang begitu mirip. "Oh, ada tamu? Maaf saya tidak dengar," ujarnya ramah. Lalu, menyalami Cintya dan umi Khofsoh. Mereka berdua menerima uluran tangan ibu Aisya, seraya tersenyum ramah. Ibu Aisya memandangi kedua t
Dua malam dirawat, kondisi Aisya mulai membaik. Dua hari itu pula, Bara tak pulang sama sekali. Waktunya ia habiskan untuk menemani Aisya, bergantian dengan ibu mertuanya. Aisya juga sudah mulai mau makan, meski hanya sedikit. Setidaknya ada asupan tenaga yang masuk. "Umi, apa dulu pernah berniat cerai dari abah?" tanya Cintya, saat mereka tengah membersihkan taman. Cintya memangkas tangkai bunga yang layu. Sementara umi Khofsoh mencabut rumput liar.Mendengar pertanyaan menantunya, umi Khofsoh menghentikan aktifitasnya. Dia menatap lekat Cintya. Dia lantas membersihkan tangan, lalu duduk di ayunan. Cintya juga menghampiri umi. Dia mengusap peluh yang menetes di dahi, dengan punggung tangan. "Apa sudah menyerah, Nduk?" Umi Khofsoh justru balik bertanya. Cintya menunduk dalam. Jemari tangannya bertaut satu sama lain. Entah kenapa, dia justru deg-degan. "Umi dulu mengetahui abah menikah lagi, saat Bara sudah dalam kandungan. Belum lama dari kelahiran Bara, abah sudah meninggal. All
Bara berjalan ke teras. Dihempaskan bokongnya di kursi kayu, sambil terus menatap pintu gerbang. Berharap, sang istri segera datang. Berkali-kali ia mengembuskan nafas gusar, karena Cintya tak kunjung datang. Lebih dari lima belas menit menunggu, Bara memutuskan ke dalam. Tepat saat dia berdiri, mobil Cintya memasuki halaman. Bukannya senang, Bara justru semakin kesal. "Jam berapa ini?" bentak Bara saat Cintya baru saja memijakkan kaki di halaman. "Kapan datang, Mas?" "Aku tanya, sekarang jam berapa?" tanya Bara penuh penekanan. Cintya lantas mengambil ponsel yang ia masukkan dalam tas kecil. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. "Sudah tahu kan, ini jam berapa? Kenapa baru pulang?" Bara menatap tak suka. "Aku habis dari pesta temanku, Mas. Kamu jangan berlebihan!" Cintya malas berdebat. Dia juga lelah. "Sampai selarut ini?" Bara masih belum puas. Dia terus mencerca pertanyaan kepada istrinya. Bip bipCintya mematikan alarm dari remot
"Kamu ke kampus jam berapa?" tanya Bara, sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. "Jam sepuluhan." "Oh." Cintya melirik Bara sekilas. Wajahnya tampak lebih segar daripada kemarin. "Mau ke rumah sakit, lagi?" "Iya. Mungkin nanti sore sudah dibolehkan pulang," ujarnya sambil meletakkan handuk di sandaran kursi. "Apa Kamu buru-buru?" tanya Cintya ragu. "Kenapa?" Cintya diam sejenak. Dia ragu, untuk melanjutkan obrolannya. "Ah tidak, kapan-kapan saja kita bicarakan!" ujar Cintya sambil berlalu. Tak dinyana, Bara mencekal lengannya. Ditatapnya manik mata Cintya. Cintya reflek mengalihkan pandangan, karena dia tak sanggup harus bertatapan dengan Bara. "Ada apa? Bicaralah!" Bara mendudukkan Cintya di tepi ranjang. "Pergilah! Mungkin Aisya sudah menunggumu!" Cintya seolah menghindar. Bara menggeleng. Dia memaksa Cintya untuk bicara. "Aisya lebih membutuhkanmu, daripada aku," ujar Cintya dengan seulas senyum yang dipaksa. Bara menggenggam tangan Cintya