Share

Bab 6

Tanaya menjawab, "Bagaimana denganmu? Kenapa kamu selalu mengiakan permintaanku?"

Kenapa Henry jelas-jelas tahu bahwa Tanaya memiliki niat terselubung, tetapi dia masih terus mengalah?

Di kehidupan lampau, Tanaya mengira ancamannya berpengaruh, mengira rencananya dengan Keluarga Mauel berhasil. Sebenarnya bukan begitu.

Henry terdiam. Rahangnya mengeras.

Tanaya memalingkan wajah lalu dia berkata, "Perban mudah terbuka di bagian sini. Aku akan melilit seluruh pinggangmu. Duduk yang tegak."

Henry melakukan apa yang dikatakan Tanaya tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita itu.

Henry mendambakan kelembutan seperti ini. Dia mendambakan bagaimana Tanaya mengkhawatirkannya.

Biarpun Henry tahu bahwa semua ini palsu, dia tetap tenggelam di dalamnya.

Tanaya tidak berpikir banyak. Dia menarik perban yang panjang, kemudian melingkari pinggang Henry. Namun, dia butuh dua tangan untuk menarik ujung perban sehingga dia mendekat.

Sekujur tubuh Henry menegang. Saat ini Tanaya baru menyadari bahwa posisi mereka terlalu intim. Rasanya seperti dia sedang memeluk Henry.

Lantas, wajah Tanaya memanas. Dia menjadi gugup dan tidak berani bergerak sembarangan.

Wajah Tanaya hampir menyentuh pinggang Henry.

Tenggorokan Tanaya tercekat, jantungnya berdebar kencang. Dia selalu tahu bahwa tubuh Henry sangat bagus. Proporsional.

Kendati Tanaya tidak pernah memperhatikannya di kehidupan lampau, dia bisa merasakannya dengan jelas.

Sekarang ... otot pria itu ada di depannya ....

Dengan kemeja terbuka memperlihatkan delapan kotak otot yang kencang serta garis V. Celana hitam panjang menggantung malas di pinggangnya, seksi dan menawan.

"Bagus?" tanya Henry dengan suara rendah sembari menatap Tanaya.

Tanaya tersadar lalu refleks memandang Henry. Ketika melihat tatapan geli di mata pria itu, Tanaya segera memalingkan wajahnya. Wajahnya terbakar, rasa panas menyebar dari telinga hingga lehernya.

Tanaya buru-buru menarik perban dari belakang pinggang Henry, kemudian dia menjawab dengan terbata-bata, "Lu ... lumayan."

"Hanya lumayan?"

Melihat telinga Tanaya yang memerah, Henry bertanya lagi dengan suara pelan.

Tanaya tidak bisa berkata-kata. Matanya berkabut, dia bagaikan mawar yang indah.

Panas sekali.

Perban sudah dililit yang kedua kali. Seketika Tanaya bimbang harus meneruskannya atau berhenti.

Sesaat kemudian, dia memejamkan mata dan membulatkan tekad. Tanaya mendekat lagi, lalu memutarkan perban ke belakang pinggang Henry sambil menahan napas.

Tahan sebentar!

Aroma pria itu sangat wangi. Namun, saat ini tertutup oleh bau darah dan alkohol. Jika berada di dekatnya masih tercium.

Tanaya baru sadar. Biarpun setelahnya Tanaya masih membenci Henry di kehidupan lampau, dia sudah terbiasa dengan keberadaan pria ini.

Sepertinya hanya aroma Henry yang bisa membuatnya tenang.

Sayangnya, saat itu Tanaya dibutakan oleh dendam. Dia menganggap Henry sebagai penyelamat, tetapi dia tidak pernah menghargai pria itu.

Memikirkan hal ini, Tanaya merasa sedih.

Dia benar-benar gagal.

Beberapa menit kemudian, dia mengingat simpul pada perban. "Sudah."

Saat berbicara, alkohol tidak sengaja tersenggol dan jatuh ke lantai. Tanaya hendak memungutnya, alhasil rambutnya tersangkut di kancing sabuk Henry.

"Aduh!"

Rasa sakit membuat Tanaya terkesiap. Dia pun hendak membuka sabut Henry.

Tatapan Henry menggelap. Tangannya menahan tangan Tanaya yang menyentuh sembarangan, jakunnya naik turun. Dia berkata dengan sedikit marah, "Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan, Tanaya!"

Tanaya terisak. "Rambutku ...."

Kebetulan saat ini terdengar bunyi kunci bersandi kemudian diikuti suara pria. "Paman, untuk proyek Kota Lumina, kamu nggak benar-benar ...."

Sebelum ucapan itu diselesaikan, Romeo Bastin melihat adegan di depannya dengan syok.

Pamannya yang selalu dingin dan terkendali sedang duduk di sofa dengan kemeja terbuka setengah. Sedangkan di depannya berlutut seorang wanita bertubuh ramping dan berkulit putih.

Sial!

Romeo terhibur. Dia melangkah keluar sambil berujar dengan ambigu, "Kalian lanjutkan saja."

Ekspresi Henry langsung menjadi muram, sementara Tanaya tampak bingung.

Beberapa detik kemudian, Tanaya baru mengerti. Wajahnya langsung merona. "Bukan ... bukan begitu."

Dia ingin menjelaskan sehingga makin buru-buru menarik rambutnya. Namun, posisinya tidak bagus dan pandangannya dihalangi rambut. Selain itu, Romeo sudah pergi. Tanaya agak sulit menjelaskan.

Henry lebih tenang. Dia mencondongkan tubuhnya, lalu dengan nada menggoda dan suara serak, dia bertanya, "Begitu gimana?"

Napas hangat Henry menerpa puncak kepala Tanaya. Tanaya ingin menghindar, tetapi dia tidak bisa bergerak.

Matanya memerah lalu dia berkata, "Jangan bergerak. Sakit ...."

Suara wanita itu lembut dan terdengar jujur, tidak dingin dan munafik seperti biasanya.

"Tolong ... bantu lepaskan rambutku."

Tanaya berkata dengan gagap. Dia tidak berani menyentuh sabut Henry lagi, takut terbakar oleh api.

Henry menatap Tanaya selama beberapa detik, kemudian melepaskan rambut Tanaya yang tersangkut di sabuknya.

Melalui helaian rambut, Tanaya bisa melihat jari ramping Henry yang melepaskan rambutnya dengan pelan. Tanaya sama sekali tidak merasakan sakit.

Belasan detik kemudian, suara pria itu terdengar. "Sudah."

Tanaya menghela napas, lalu berdiri dari lantai.

Tadi dia berlutut di karpet agar lebih mudah menangani luka Henry. Namun, karena berlutut terlalu lama, dia merasa kakinya kesemutan ketika berdiri. Tanaya terhuyung ke samping.

Henry mengernyit lalu mengulurkan tangan untuk menahannya.

Tanaya terdiam beberapa detik. Setelah berdiri stabil, perhatiannya tertarik oleh tangan yang menggenggam pergelangan tangannya.

Tangan itu sangat bagus. Jarinya ramping, kukunya yang terdapat lunula juga rapi.

Dia bisa merasakan dinginnya ujung jari Henry.

Tanaya pun teringat Henry yang kehilangan salah satu lengannya, kemudian mati di depan makamnya pada kehidupan lampau.

Tanaya tidak bergerak, Henry juga demikian.

Beberapa detik kemudian, Tanaya tersadar lalu menarik lengannya kembali. "Terima kasih."

Henry hanya diam. Dia membelai jari-jarinya. Sentuhan lembut tadi membuat dia enggan melepaskannya.

"Aku ... aku pergi dulu. Jangan serahkan proyek Kota Lumina kepada Keluarga Mauel."

Tanaya memandang pria itu sembari berkata dengan sungguh-sungguh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status