Semua Bab Andai Semua Berbeda: Bab 121 - Bab 130
237 Bab
120. Dia Sudah Pergi
Mata Dio terbelalak begitu medengar Arnon menyebut nama yang sama dengan yang dia katakan. Arnon melepas kacamata hitam dan topi yang ada di kepalanya. Seketika wajah Dio memerah. "Arnon?!" ucapnya terkejut. "Ya. Jadi kamu memang bekerja sama dengan Arnella Hendrawan, ibuku, untuk merusak kebahagiaanku dan istriku." Arnon berdiri sedikit mencondongkan badan ke arah Dio. Pandangan geram jelas terlihat di wajah Arnon. "Woww ... Aku hanya pria yang suka duit." Dio mengangkat kedua tangannya. "Kamu ..." Arnon mengangkat kepalan tangan ke arah muka Dio. "Hei, kalau kamu mau marah padaku, kamu salah alamat." Dio berdiri dan menantang Arnon. Keduanya berhadapan dan saling menatap tajam. Riko ikut berdiri. Dia harus bersiap jika kedua pria ini akhirnya makin panas, dia harus mencegah terjadi perkelahian di ruangan itu. "Kamu tanya saja sama mama kamu, kenapa dia tega melakukan ini padamu? Aku tidak ada urusan denganmu. Bisnisku dengan
Baca selengkapnya
121. Aku Menyesal Menjadi Anakmu!
Dengan langkah tergesa-gesa Arnon masuk rumah besar itu. Rumah yang lama tidak lagi dia injakkan kaki di sana. Rumah yang buatnya hanya penuh kenangan pahit. Kali ini dia datang juga karena rasa pedih dan marah."Nyonya Arnella!" Dengan suara lantang Arnon memanggil mamanya. Dia berdiri di ruang tengah, melihat ke arah kamar Arnella yang ada di lantai atas.Dua pembantu yang sedang membersihkan ruangan itu sangat terkejut. Tiba-tiba muncul Arnon dan meledak seperti itu."Maaf, Tuan Muda ..." Salah satu dari pembantu itu memberanikan diri mendekat pada Arnon."Mana nyonyamu?! Aku ingin bertemu dengannya." Arnon berkata ketus dengan rasa geram."Maaf, nyony baru saja masuk kamar dan beristirahat." Pembantu itu sedikit takut berbicara."Bagus sekali. Keadaan sudah seperti ini dia bisa tidur nyenyak," kata Arnon gusar.Arnon kembali mengangkat wajah melihat ke lantai atas."Nyonya Arnella!!" Lebih keras Arnon berteriak.Pemb
Baca selengkapnya
122. Masa Kelam yang Mengubah Seorang Arnella
Pelayan itu maju beberapa langkah, mendekat pada Arnella. Dia berjongkok di sisi sofa sambil memandang pada Arnella yang masih menangis."Apa aku salah kalau aku ingin putraku mendapat yang lebih baik? Aku tidak mau dia dihina orang seperti yang aku alami. Aku tidak mau." Dengan tangis belum reda, suara sedikit bergetar Arnella menuangkan rasa sedihnya.Pelayan itu tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memandang pada Arnella yang terlihat begitu terpukul karena Arnon."Aku bantu Nyonya ke kamar, Nyonya istirahat saja di dalam." Pelayan itu memberanikan diri membujuk Arnella."Wati, kalau kamu jadi aku ... kamu pasti mau yang terbaik buat anakmu, kan?" Arnella mengusap pipinya."Iya, tentu, Nyonya." Wati menjawab sambil menganggukkan kepala."Kenapa Arnon justru membenci aku sekarang?" Dengan ucapan itu, Arnella kembali melepas tangisnya.Wati tidak menjawab. Dia sedikit memaksa membantu Arnella berdiri dan memapahnya menuju ke kamar
Baca selengkapnya
123. Jangan Pernah Temui Aku
Dengan tergesa Arnon masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera melihat Fea. Di saat seperti ini dia harus sesering mungkin di sisi istrinya. Hati Fea sangat sedih karena harus kehilangan bayinya. Kondisi fisiknya pun tidak bisa dengan cepat pulih. Di dalam kamar, Fea berbaring. Dia memejamkan mata tetapi tidak sedang tidur. Fea memaksa diri agar terlelap sehingga lupa sejenak semua kepedihannya. Sayangnya, tidur pun begitu sulit. Dan yang membuat Fea semakin sedih, dia baru mendengar kabar Rania melahirkan bayinya, seorang anak perempuan yang mungil dan cantik. Dada Fea terasa sesak jika mengingat itu. Seharusnya beberapa bulan lagi dia juga akan menggendong bayinya. Kenyataan bicara lain. Fea tidak bisa menjaga buah hatinya dan terpaksa harus kehilangan di awal-awal kehamilan. Sakit sekali rasanya. "Sayang ..." Arnon mengecup kepala Fea. Dia tahu Fea belum tidur. Fea membuka matanya. Dengan tatapan sayu dia memandang Arnon. Perlahan dia bangun, duduk di
Baca selengkapnya
124. Orang Tua Adalah Orang Tua
Perjalanan Fea dan Arnon berlanjut. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan situasi yang mengganjal karena kedatangan Arnella. Arnon bertingkah seceria mungkin selama perjalanan. Dia terus mengajak Fea bercanda, tidak memberi dia kesempatan bertanya apapun tentang Arnella.Fea tahu, Arnon menghindar dari masalah yang dia hadapi dengan mamanya. Fea juga tidak mau memaksa Arnon bicara. Lebih baik dia menikmati perjalanan itu sambil mencari waktu yang tepat dia bisa mengajak Arnon bicara. Bagaimanapun orang tua adalah orang tua. Seorang anak harus menghormati orang tuanya. Itu yang Fea mau Arnon mengerti.Tiba di kediaman Lukman, pria itu dengan senyum lebar menyambut Arnon dan Fea. Pelukan hangat hadir menyapa keduanya, membuat suasana hati yang sedikit terganggu menjadi lebih nyaman."Akhirnya, Fea ... senang sekali bisa menyambut kamu di rumahku. Sherlita sudah menunggu, tidak sabar." Lukman menoleh pada wanita yang usianya tidak begitu jauh dengan Fea.Sherl
Baca selengkapnya
125. Kenyataan Tak Mungkin Diubah
Mata Arnon yang sedikit sipit itu melebar, memandang Fea yang berdiri tegak mematung, dengan wajah tegang. Dengan cepat Arnon menghampiri Fea dan meraih kedua tangannya. "Aku tidak salah dengar, Ar? Semua yang terjadi karena Nyonya Arnella?" Senyum Fea yang tadinya cerah lenyap sudah. Dia meminta penjelasan pembicaraan yang dia dengar antara Arnon dan Lukman adalah benar. "Sayang, ga usah dipikir, ya? Kita jalan, yuk. Ke taman belakang, ke makam Tante Lovina." Arnon tidak mau memperpanjang karena Fea akan kembali bersusah hati. Lebih baik Arnon alihkan saja pada hal yang lain. "Arnon!" Fea menolak beranjak. Dia ingin Arnon tidak menghindar lagi. "Katakan saja semua padaku." Lukman masih tetap di posisinya. Dia memperhatikan Fea dan Arnon dengan rasa gundah. Kebahagiaan keduanya selalu saja ada yang mengganggu. Yang menyedihkan, justru dari orang terdekat yang seharusnya mendukung mereka. "Sayang ..." Arnon makin erat menggenggam tangan Fea. "B
Baca selengkapnya
126. Galau Sang Nyonya Berkepanjangan
Wati memanggil Arnella yang ada di dalam kamarnya. Makan malam sudah siap tetapi Arnella belum juga ke ruang makan. Di dalam kamar Arnella duduk termenung menatap keluar jendela yang menghadap gerbang rumah besar itu. Wajah sendu belum pergi darinya. Sejak Arnon datang dan marah besar hari itu, Arnella tidak bisa tersenyum. Matanya kuyuh, wajahnya tidak menyiratkan aura gembira yang biasanya terlihat. Bahkan ketika Ardiansyah pulang juga tidak terlalu berarti untuknya. Padahal Arnella selalu bersemangat jika suaminya datang dan mau tinggal beberapa hari bersamanya."Nyonya, makan malam ...""Aku tidak lapar, Wati. Kalian saja yang makan." Dengan cepat Arnella menyahut."Tapi, Nyonya ..." Wati menjadi gundah. Tidak seperti biasanya Arnella menunjukkan sikap kuat dan tegar menghadapi apapun. Dia selalu bisa berdiri dan mencari cara mengatasi kemelut yang harus dia selesaikan."Sedikit saja. Saya antar ke sini saja, jika Nyonya tidak ingin kelua
Baca selengkapnya
127. Arnon Tidak Melunak
Agak aneh rasanya Wati menghubungi Arnon. Apakah ada sesuatu? Fea menajamkan pendengaran, ingin tahu apa yang akan Wati katakan. "Ada apa, Mbak?" tanya Fea. Dia mendekati ranjang besar di tengah kamar itu dan duduk di tepinya. "Fea, Nyonya Arnella. Dia sakit." Suara Wati sedikit gemetar. Masih ada rasa takut jika Fea akan menolak bicara setelah yang Arnella lakukan padanya. "Nyonya sakit?" Fea mengulang perkataan Wati. Kenapa dia Arnella sakit harus merepotkan Arnon. Keluarga Hendrawan punya dokter handal, dokter kelas satu di kota itu. Arnella pasti akan dapat perawatan terbaik. "Fea, Nyonya ... dia kena stroke. Dia terlalu sedih ..." "Apa, Mbak?" Fea menyahut tidak menunggu Wati selesai bicara. "Ya, setelah Tuan Muda ngamuk ke rumah siang itu, nyonya sangat sedih. Dan berhari-hari tidak ada keinginan makan. Dia makin lemah, lalu ..." "Sayang! Aku pakai kaos yang mana, nih?!" Terdengar Arnon bicara dengan keras. Dia sudah kelu
Baca selengkapnya
128. Jangan Sebut Wanita Itu!
Panas rasanya telinga Arnon mendengar yang Fea katakan. Mengapa Fea bicara soal Arnella? Fea jelas tahu kalau Arnon tidak mau peduli dengan wanita itu lagi. Arnon melangkah menjauh, dia membuka pintu menuju ke balkon kamar.  Fea memandang Arnon dengan rasa sangat tidak nyaman. Ini yang dia tidak mau, bertengkar dengan Arnon. Hubungan mereka baru pulih setelah masa berat yang mereka lalui karena Arnella. Arnon begitu senang melihat istrinya bisa lebar tersenyum bahkan tertawa lagi. Lalu tiba-tiba harus bersitegang dan itu gara-gara orang yang sama, Arnella.  "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" batin Fea bergejolak. Buatnya ini juga bukan hal mudah. Setiap ingat Arnella, yang muncul di pikiran Fea, wanita itu tidak suka dengannya, dia berusaha menghancurkan pernikahannya dengan Arnon.  Perlahan, Fea bangkit, berjalan mendekati Arnon yang berdiri menatap perbukitan di kegelapan, karena hari memang sudah malam.  Fea memeluk pinggang Arnon
Baca selengkapnya
129. Kita di Kubu yang Sama
Arnella memandang nanar keluar kamar. Dia mengarahkan pandangan pada gerbang utama. Dia berharap mobil Arnon akan muncul, putranya akan datang melihat dia. Ingin sekali Arnella kembali bertemu Arnon dan mengucapkan maaf. Dia tidak mau Arnon meninggalkan dia seperti itu. "Nyonya ..." Suara Wati yang masuk ke dalam ruangan itu seolah tidak dia dengar. Pikiran Arnella terbawa pada hari saat Arnon meninggalkannya di depan rumah. Dengan marah, tetapi tangannya menggandeng Fea mesra, Arnon pergi. Hati Arnella begitu pahit rasanya. Arnon lebih cinta wanita itu, bukan dirinya, ibu yang melahirkannya. "Arnon ... pulang ..." ucapnya lirih dengan mata basah. Kemudian ingatannya beralih pada sore harinya, saat Arnella menghadiri acara keluarga salah satu rekan sosialitanya. Tidak dia sangka, Ardan ada di sana. Entah apa urusan anak sulung Ardiansyah itu. Yang jelas, ucapan pria angkuh itu menusuk Arnella. "Aku harus berterima kasih padamu, Istri ketiga Tu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
24
DMCA.com Protection Status