Semua Bab The Hot chef and me: Bab 51 - Bab 60
72 Bab
51. Semua sia-sia
Maden duduk di kursi seorang diri, menunggu seseorang yang sudah ia buat janji bertemu di lokasi itu. Suara pintu terbuka terdengar, tiga orang masuk, namun hanya satu yang duduk berhadapan dengannya dan satu meja. Tatapannya begitu penuh kesal, selain karena Maden yang duduk di hadapannya, namun, karena gerak wanita itu tak bisa bebas.“Baju ini menyiksaku, Maden, kau… bisa kan, membantuku keluar dari tempat sialan ini!” bentak Camile dengan tampilan tak lagi seperti Camile tiga bulan lalu, saat ia sudah merancang semua rencana busuk untuk mendapatkan Drew, juga memisahkan Jena dari pria itu.“Camile, apa ini akhir dari semuanya?” tanya Maden yang tampak masih waras dibandingkan Camile yang memang, sudah dua minggu berada di rumah sakit jiwa itu. Selain berita pernikahannya yang hancur dan batal dengan Drew, juga, karena perusahaan keluarganya hancur dengan sekali serangan berita dari Toby – ayah Drew – yang tak terima jika a
Baca selengkapnya
52. Hai baby
  Hari berganti minggu, hingga bulan, kini, Jena sudah berada di Boston selama lima bulan. Ia juga mampu menyewa apartemen sederhana dengan dua kamar, sesuai janjinya kepada Victor yang begitu menjaganya. “Kak, kita ke dokter jam berapa? Aku tak sabar ingin melihat keponakanku.” Victor baru saja keluar kamar setelah mengerjakan tugas sekolahnya di hari sabtu. “Jam sebelas. Bersiapkan Vic, aku juga akan bersiap.” Jena merapikan pakaian yang baru saja ia setrika di sudut ruangan. Victor mengangguk, ia masuk kembali ke kamarnya, berganti memakai celana jeans karena sebelumnya ia hanya memakai kaos dan celana pendek. Jena menatap pantulan dirinya di cermin, perutnya sudah membuncit, ia mengusap pelan, tersara ada yang bergerak di dalam perutnya. Jena tersenyum. “Sedang apa kau di dalam sana, sayang, empat bulan lagi kita akan bertemu, kuat ya, kita berjuang bersama,” ucapnya. Ia termenung, mendadak pikiran jika anaknya tak akan memil
Baca selengkapnya
53. About him
“Kau yakin, tidak ingin mengetahui kabar Drew?” wanita berkaca mata dengan rambut pirang itu menatap Jena yang duduk di hadapannya pada satu kafe yang ada di dekat apartemen tempat tinggal Jena.“Tidak, aku pikir sudah selesai semua, Abie.” Jena tersenyum ke wanita yang merupakan salah satu orang kepercayaan Drew untuk mengelola restorannya di New York saat itu. Abie yang sudah melahirkan dan kini mewarnai rambutnya menjadi pirang, sempat membuat Jena bingung karena perubahan penampilan itu.“Drew, dia di Barcelona, Jen, dan ia bekerja di dapur salah satu temannya. Tidak lagi menjadi koki hebat dan panas abad ini. Ia menanggalkan semuanya semenjak…, yeah, kau tahu sendiri, bukan.”Jena mengangguk. Ia menatap Victor yang duduk di luar kafe, sesekali menatap ke arahnya untuk sekedar mengawasi.“Apa dia…” tunjuk Abie. Jena terkekeh.“Adik angkatku, Abie, dia bukan… mmm. Siapapu
Baca selengkapnya
54. Pukulan telak.
“Kembalilah orang gila! Jena dan anakmu membutuhkan dirimu, Drew! Bedebah! Bajingan tengik! Tidak punya hati!” Hannah memukul lengan kakaknya bertubi-tubi layaknya samsak tinju. Ia baru tiba di Barcelona lima jam lalu, setelah mendapat alamat tempat tinggal Drew yang Hannah nilai seperti kandang kucing peliharaannya alias kecil. Hannah segera memaki kakaknya yang begitu berantakan.“Anak itu anakmu Drew! Maden sudah mengakui kesalahannya. Dan, Camile masuk rumah sakit jiwa karena depresinya! Kau masih mau mengelak, hah! Apa kau mau aku seret dengan kasar!” kedua mata wanita berambut pirang panjang sebahu itu melotot menatap Drew yang diam menerima pukulan adiknya.“Kau masih tidak percaya, huh!” kini Hannah kembali murka. Drew diam, bergeming menatap adiknya yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya yang duduk di atas ranjang.“Abie bertemu Jena di Boston, ia tingga di sana dan bekerja di Luigi’s Pizza sebagai k
Baca selengkapnya
55. Drew & Victor
Victor berjalan ke arah Luigi’s pizza, dari kejauhan ia me,ihat sosok Drew yang taka sing baginya, ia sudah mencari via internet sosok Drew. Dan, kini, langkah kaki Victor berjalan cepat ke arah pria itu.“Kau! Untuk apa kau ke sini! Mau kau apakan Kakakku, hah!” tangan Victor sudah meremas leher kaos yang kenakan Drew, kepalan tangan Victor bahkan sudah terangkat ke udara. Jena berlari, menahan tangan itu dan memeluk Victor.“Hei… Vic, sudah. Abaikan pria itu. Aku tidak mau adikku memukul orang lain. Sudah… ayo ke dalam, kau belum makan siang, bukan, Paman Luigi membuatkan kita makan siang. Ayo…” ajak Jena tanpa menatap ke arah Drew barang sekilas.“Pergi! Kakakku tidak butuh lelaki yang tidak percaya kepadanya.” Maki Victor dengan sangat emosi.Drew diam, ia menatap sendu. Jena dan Victor berjalan melalui pintu samping, wanita itu jelas menangkan emosi Victor.Victor? Hm, aku rasa
Baca selengkapnya
56. Philipe
Jena keluar dari unit apartemennya seorang diri, tak bersama Victor karena hari itu, Victor sudah libur sekolah karena sebentar lagi natal. Dari kejauhan, Drew sudah menatap wanitanya itu. Ia kali ini lebih merasa percaya diri setelah Victor memberikan kode atau cara supaya bisa mendekati Jena sebagai permulaan. Langkah kaki Drew mengayun menyusul Jena lebih dekat, tak peduli ia akan dipukul atau ditampar, kali ini rasa percaya dirinya meningkat begitu tajam.“Selamat pagi, cantik,” sapaan Drew membuat Jena terperanjat dengan tangan kanan memegang dada kirinya. Ia menoleh ke belakang, tatapan keduanya bertemu. Drew tersenyum tampan, Jena membuat pandangan lalu kembali mengarah ke depan, ia melangkah sedikit cepat. Dengan cepat, tangan Drew menarik pergelangan tangan Jena.“Jangan bahayakan putraku di dalam sana, dia akan terluka jika cara berjalanmu seperti itu, Jena,” ucapnya. Jena menepis genggaman tangan Drew pada pergelangan tangannya kasar
Baca selengkapnya
57. Memohon
Tak mudah meminta maaf setelah rasa sakit hati yang dirasakan Jena akibat ucapan yang terlontar dari bibir Drew. Jena menangis terisak sembari membekap mulutnya, ia tak mau jika rekan kerjanya, bahkan, Luigi mendengar tangisnya. Mendadak perutnya nyeri, ia berusaha tenang, tak baik emosinya jika terus tertekan. Dokter sudah pernah menjelaskan hal itu.Setengah jam sudah ia menenangkan diri di dalam kamar mandi, namun, rasa nyeri itu tak kunjung hilang. Jena beranjak, perut dan pinggangnya mendadak terasa nyeri. Ia lalu segera membuka pintu, berjalan perlahan sembari memegangi perutnya.“Ya Tuhan Jena!” pekik Marisol yang baru saja datang dan masuk melalui pintu belakang.“Perutku…,” lirih Jena sembari meringis.“Ayo kita ke dokter, Jen, Paman Luigi, bisa pinjam mobilmu?!” panik Marisol.“Ya, tentu! Ini kuncinya.” Luigi menyerahkan kunci mobil.“Jena… Jena, mari Paman bantu m
Baca selengkapnya
58. Aku mengkhawatirkanmu
Suara desisnya wajan terdengar dari dapur kecil apartemen itu, Jena sempat terlelap hingga wangi bawang putih dan rosemary tercium menggugah dirinya. Ia berpikir, apa yang sedang dilakukan lelaki itu di dapur, memasak apa dengan keharuman seperti itu. Bukannya mual, justru Jena merasakan air liurnya hampir menetes.“Apa yang Ayahmu lakukan, nak, hah… Ibu tidak bisa beranjak dari ranjang ini.” gerutu Jena. Suara desisan itu kini teredam dengan suara pisau beradu dengan talenan. “Ayahmu sedang mencacah apa? Berisik sekali,” gumam Jena. Ia hanya bisa mendengkus, di tatapnya jendela kamar, langit sudah berubah senja, ia lapar, sejak pulang dari klinik, ia hanya memakan biskuit, kini ditambah dengan harum masakan Drew, perutnya semakin bergejolak.“Apa kau membutuhkan sesuatu, Jen?” terdengar suara Drew dari ambang pintu, hanya lirikan yang bisa Jena tunjukkan. “Oh, sepertinya tidak. Baiklah, aku akan ke dap—“
Baca selengkapnya
59. Pagi yang berbeda
Siapa yang tidak tergiur dengan aroma masakan dengan bahan segar di pagi hari. Kedua mata Jena terbuka saat mencium aroma roti bakar, keju, dan ayam panggang. Ia membuka kedua matanya perlahan, tampak Victor duduk melantai sembari menatap Jena.“Kak, aku seperti mimpi, tempat ini seperti restoran mahal. Kau harus segera ke kamar mandi, dan kita sarapan bersama. Aku akan panggilkan Drew supaya membopongmu ke kamar mandi.” Victor beranjak cepat, tak butuh waktu lama, Drew yang mengenakan kaos hitam pres body juga celana pendek santai warna cokelat muda, bergegas masuk ke dalam kamar. Jena masih dengan muka bantalnya menatap Drew.“Pagi,” sapa Drew. Jena memalingkan wajah. Tak gentar, Drew membopong wanita itu ke kamar mandi, seperti kemarin, ia mendudukan Jena di atas kloset begitu hati-hati.“Selalu cantik,” gumam Drew. Ia tersenyum menatap Jena, lalu bergegas keluar kamar mandi. Sedangkan Jena merutuki dirinya sendiri.
Baca selengkapnya
60. Berteman?
Jena masih menatap Drew setelah pria tersebut mengucapkan kalimat ajakan untuk berbicara dari hati ke hati. Tendangan dari dalam perut jena seolah menyetujui usul si penanam benih. Jena hanya bisa menganggguk pelan. Drew sumringah, ia beranjak, bertanya ingin berbicara di kamar, atau di luar. Jena menjawab di luar kamar, sofa ruang TV multifungsi karena juga menjadi ruang tamu, kadang ruang makan, dirasa pas.“Aku akan jalan perlahan, jangan membopongku lagi,” tolak jena sembari berdiri perlahan.“Setidaknya biarkan aku menggandeng tanganmu, Jen.” Jen— panggilan itu kembali diucapkan Drew tanpa beban, ia tak ragu atau kaku menyebut panggilan itu.“Dan setidaknya biarkan aku merasa tidak seperti orang tak bisa berjalan. Aku bisa, Drew,” tatap Jena tegas. Tangan Drew terangkat ke udara, ia melepaskan gandengan tangannya. Menuruti wanita hamil, seolah hukum wajib bagi setiap pria yang bertanggung jawab atas manusia baru yan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status